Timang-timang Anakku Gibran, Kampanye Jokowi
Oleh Laksma TNI Pur Ir Fitri Hadi S, M.A.P. | Analis Kebijakan Publik
Timang timang anakku sayang, buah hati ayahanda seorang, implementasinya bisa bermacam macam apalagi bila menyangkut anak Presiden atau “Timang-timang anakku Gibran”, maka ini bisa menggoyangkan seluruh anggota kabinet Jokowi. Mengapa tidak, sejak awal Jokowi sudah mengatakan akan cawe cawe pada Pemilu 2024 ini. Timang timang anakku Gibran , melanggangkan Gibran sebagai calon wakil presiden dengan mengorbankan pamannya Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman karena melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan. sehingga, MKMK memberhentikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan Ketua MK.
Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Walau dianggap naiknya Gibran menjadi calon wakil presiden sebagai produk KKN, tapi jalan terus, Prabowo dan partai partai koalisinya mengabaikan semua cemooh dan tanggapan negatif atas segala keputusannya. Partai partai besar seperti Gerindra, Golkar, PAN, Partai Demokrat yang menjadi koalisinya seperti tidak punya kader lain Sehinga mengiyakan keinginan Jokowi untuk menjadikan anaknya Gibran sebagai wakil presiden. Sesuai UU Gibran belum cukup umur untuk dicalonkan sebagai wakil presiden. Pertimbangan penunjukan Gibran sebagai cawapres pasangan no 2 bagi Prabowo dimungkinkan oleh pengalaman kekalahan Prabowo pada 2 (dua) kali pemilu sebelumnya yaitu 2014 dan 2019.
Pada dua kali kontestasi presiden tersebut selalu diikuti dengan gugatan pemilu curang, terutama pada pemilu tahun 2019 yang banyak menelan korban jiwa manusia. Di sini Publik dan bahkan Prabowo menyakini kekalahannya selama ini adalah akibat kecurangan maka musuh besarnya dalam pemilu adalah kecurangan. Belajar dari pengalaman tersebut Prabowo tentu tidak mau kembali dicurangi, apalagi pemilu 2024 ini ada upaya untuk melanggangkan kekuasaan Jokowi.
Dalam bebagai kesempatan Jokowi sering menunjukkan keberpihakannya pada salah satu calon Presiden namun Jokowi belum secara tegas menunjukan pada siapa Jokowi berpihak. hal inilah kemungkinan yang tidak disukai oleh Prabowo, bila Jokowi tidak berpihak kepadanya maka kemungkinannya adalah Prabowo akan kembali kalah akibat kecurangan. Keadan ini membuat Prabowo merasa tidak aman, merasa tidak percaya diri (inferiority), takut, cemas (anxiety) dan lainnya pada pengalaman buruknya dalam mengikuti pemilu presiden. Prabowo dihantui akan terulang kembali kecurangan pada dirinya, Prabowo kuatir gagal lagi.
Di sisi lain hubungan Jokowi dengan PDIP semakin memburuk akibat PDIP tidak menginginkan Presiden 3 periode atau perpanjangan masa jabatan presiden dengan alasan melanggar konstitusi. Momentum ini dimanfaatkan, Gibran Rakabumi Raka kata kuncinya. Di satu sisi Gibran dapat menjadi boneka Jokowi karena Gibran adalah anaknya, jadilah timang-timang anakku Gibran dan gayungpun bersambut, dengan menggandeng Gibran sebagai calon wakil presiden maka Prabowo tidak akan dicurangi lagi, kalaupun terjadi kecurangan semuanya akan menguntungkan Prabowo karena kecurang tersebut demi memenangankan Gibran. Maka jadilah Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumi Raka sebagai pasangan calon no 2.
Semua upaya sudah dilakukan, termasuk pelanggaran etika naiknya Gibran sebagai calon wakil presiden mereka acuhkan, maka kemungkinannya kecuranganpun akan mereka jalankan. Menaruh harapan yang begitu besar terhadap Gibran dengan memanfaatkan nama besar bapaknya, akan mampu menaikan elektabilitas pasangan Prabowo Gibran di tengah issue negative yang melekat pada diri Prabowo seperti penggaran HAM, gagalnya Food Estate bahkan dianggap kejahatan terhadap lingkungan, pengadaan alut sista bekas yang lebih mahal dibanding negara lain. Namun kenyataannya hasil survey tidak menunjukkan naiknya elektabilitas pasangan no 2 tersebut bahkan sangat dimungkinkan akan mengerek turun hasil survei sebelumnya. Hal ini terjadi akibat blunder politik yang dilakukan Gibran saat debat cawapres Ahad 21 Januari yang lalu yang dinilai tidak beretika bahkan mengolok olok lawan debatnya.
Target menang 1 (satu) putaranpun mulai goyah. Tidak bergerak naiknya elektabilitas Prabowo Gibran untuk memperoleh angkat diatas 51% guna menang 1 putaran tampaknya dan dianggap para pengamat membuat Jokowi resah atau panik. Panik karena bagi mereka kemenangan Prabowo Gibran merupakan harga mati dan menyangkut keselamatannya pasca lengser sebagai presiden Jokowi.
Kini keadaannya semakin menegangkan dan membahayakan. Keinginan Jokowi untuk menjadikan anaknya sebagai wapres terindikasi dengan ketidak netralan dan cawe cawe Jokowi bahkan diduga Jokowi akan turun gunung ikut berkampanye dalam pemilu kali ini padahal dia bukan incumbent (petahana). Bila hal tersebut benar benar dilakukanya dan ditengah bermunculan laporan pemilu curang maka langkah yang dapat dikatakan langkah membabi buta ini dapat merusak demokrasi yang telah dibangun oleh pendahulu pendahulunya. Keberlangsungan demokrasi di Indonesia kini semakin di ujung tanduk. Reaksi negative masyarakat atas tindakan Jokowi ini bermunculan, Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah mendesak Presiden Jokowi mencabut pernyataannya soal Presiden boleh berpihak dan berkampanye di Pilpres. Pernyataan ini ditandatangani oleh Ketua MHH Muhammadiyah Trisno Raharjo dan Sekretaris Muhammad Alfian. "Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut semua pernyataannya yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan, terlebih soal pernyataan bahwa presiden boleh kampanye dan boleh berpihak," demikian keterangan tertulis MHH Muhammadiyah. MHH Muhammadiyah berpendapat bahwa presiden merupakan kepala negara yang menjadi pemimpin seluruh rakyat. Sehingga, ada tanggung jawab moral dan hukum dalam segala aspek kehidupan bernegara.
Timang timang anakku Gibran adalah cara memenang pemilu 2024, etika telah dilanggar, akankah sadar lalu surut melangkah atau terus berjalan? Bukan cuma hukum, tapi moral atau etika ukuranya dan keselamatan bangsa adalah taruhannya, tapi bila nafsu kekuasaan lebih mewarnai, maka segala cara adalah cara memenangkan kontestasi. Waspadalah, semua itu mungkin.
Probolinggo, Januari 2024