Berhala Jokowinomics Produk Prabowo-Luhut

Oleh Smith Alhadar - Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

BEBERAPA hari lalu, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, membuat pernyataan mengejutkan, bahwa 100% program pembangunan pemerintahan Jokowi (Jokowinomics) berasal dari Prabowo Subianto.

Tak heran, Prabowo menegaskan, kalau terpilih menjadi presiden, ia akan melanjutkan 99,99% Jokowinomics. Melihat kapasitas Jokowi, memang mustahil ia punya visi tentang Indonesia masa depan. Itu terlihat dari 60 janji omong kosongnya dalam kampanye pilpres 2014 dan 2019.

Janji-janji itu memang dirancang untuk mengelabui rakyat dan hanya diniatkan untuk menegaskan adanya unsur kebaruan pada dirinya dibandingkan lawannya. Tetapi bgm kita menjelaskan Jokowinomics berasal dari Prabowo, sementara yg menjalankannya adalah Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan? 

Pertama-tama kita hrs ingat bhw ketika Hashim melemparkan pernyataan kontroversial di atas, tdk ada bantahan dari Luhut maupun Jokowi. Hubungan antara Luhut dan Prabowo terkait Jokowinomics berdasarkan kenyataan bhw keduanya adalah anak kandung Orde Baru dan bersahabat karib sejak masih aktif di militer. Luhut adalah atasan Prabowo.

Prabowo dan Hashim adalah putera begawan ekonomi UI, Soemitro Djojohadikusumo, yang juga merupakan salah satu arsitek ekonomi Orba. Dus, masuk akal kalau Jokowinomics -- yang merupakan reinkarnasi developmentalism Orba -- berasal dari Prabowo yg di-share oleh Luhut.

Jokowinomics, yang menjadi jargon model pembangunan ala Jokowi seringkali dipamerkan sbg prestasi nasional untuk memenangkan hati konstituen melalui gedung pencakar langit, jembatan penghubung, dan transportasi umum modern.

Pendekatan teknokratik dan pragmatis ini disebut oleh dunia akademisi sebagai bentuk 'new developmentalism'. Agenda pembangunan materialistis dengan Jokowinomics ternyata kemudian terlalu sempit untuk menjawab tantangan pemenuhan hak-hak sipil warga negara.

Ledakan pembangunan infrastruktur dibarengi dgn dikeluarkannya UU yg represif, pelemahan beberapa institusi penopang keadilan, hingga pembatasan kebebasan pers menjadi kontradiksi dlm pembangunan yang seharusnya menyejahterakan  dan memerdekakan masyarakat sipil, serta mencapai pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan sebgmna konsep 'development as freedom' yang ditawarkan Amartya Sen (Cheryl Pangestu, Universitas Parahyangan).

Konsep 'pembangunan sebagai kebebasan' dari Amartya Sen inilah yang nampaknya dianut dan diimplementasikan Anies Baswedan ketika memimpin Jakarta.

Kendati telah terbukti tdk memadai untuk pembangunan berkelanjutan, Jokowinomics hendak dipertahankan atau dilanjutkan presiden pengganti Jokowi. Setelah menemui jalan buntu dlm upaya memperpanjang masa jabatan presiden, Jokowi menyerah.

Pada 25 Maret, Menko Polhukam Mahfud MD memastikan pilpres akan diselenggarakan sesuai jadwal, karena tertunda sehari pun akan melanggar konstitusi. Jokowi 3 periode pun tdk mungkin diwujudkan krn hrs mengamandemen konstitusi. Sementara 2/3 anggota DPR menentangnya.

Namun, blm tentu pilpres berjalan jurdil dan transparan. Pertama, upaya menjegal Anies dari arena pilpres msh diusahakan. KPK masih mencari jalan untuk menjerat Anies dlm kasus Formula-E.

Tetapi pemerintah menyadari upaya ini pun kian sulit direalisasikan krn, selain tak punya bukti, 3 parpol yg tergabung dlm Koalisi Perubahan untuk Persatuan telah secara resmi mengusung Anies sbg  capres mereka.

Kedua, membatasi ruang gerak Anies. Kendati tak ada UU Pemilu yang dilanggarnya, Bawaslu tak henti mempermasalahkan kegiatan sosialisasi Anies di berbagai daerah. Ketiga, kampanye bahaya politik identitas. Badan Intelijen Negara (BIN) ikut bermain dlm hal ini. Ketua PP Nasdem Effendy Choiri mengaku menerima laporan tentang adanya operasi intelijen yang mengganggu safari Anies untuk melakukan provokasi terhadap masyarakat lewat spanduk (Kompas Tv, 24/3/2023).

Keempat, kalaupun nanti Anies ikut kontestasi pilpres, tak ada jaminan hajat nasional itu akan berjalan fair. Ada indikasi KPU bekerja sesuai arahan pemerintah. Selain isu KPU Pusat mengintervensi KPUD dlm menetapkan parpol mana yang lolos dan mana yang tidak lolos verifikasi, juga dilaporkan hasil pilpres telah ditetapkan KPU.

Info ini datang dari Hasnaeni Moein yg mengaku telah memberikan gratifikasi tubuhnya kpd Ketua KPU Hasyim Asy'ari agar parpol yang dipimpinnya lolos verifikasi. Lebih jauh, wanita emas ini mengaku mendapat info dari Hasyim bahwa KPU telah mengatur Ganjar Pranowo dan Erick Thohir sebagai pemenang pilpres.

Upaya menjegal Anies tak bisa dilepaskan dari visi pembangunannya yang berbeda dengan Jokowinomics. Otomatis semua legacy ekonomi dan politik Jokowi yang tak sejalan dengan visinya mungkin akan direvisi.

Tetapi yang lebih mengkhawatirkan Jokowi -- dan menteri-menteri kepercayaannya -- adalah keselamatan diri dan kekuarganya terkait KKN, pelanggaran konstitusional, dan mungkin juga sejumlah masalah serius dari hasil perselingkuhannya dengan oligarki.

Tentu saja tak ada niat Anies untuk mencelakakan Jokowi. Ia tdk melihat Jokowi sebagai sasaran balas dendam. Tetapi memang ketika Anies mewujudkan visi dan misinya yang berdasarkan pada semangat reformasi, mau tak mau akan beririsan dgn legacy dan kepentingan keluarga Jokowi. Juga konco-konconya.

Karena itulah kita menyaksikan kepanikan Jokowi dan Luhut dalam mengatur siapa yang akan mnjdi presiden berikut berhubung peluang Ganjar, jagoan Jokowi, menjadi capres kian kecil. Ini terindikasi dari pernyataan Megawati yang blak-blakan mengatakan beliau tahu persis ada capres yang menimbun kekayaan lewat korupsi.

Ganjar pernah berurusan dgn hukum terkait megakorupsi E-KTP, yang hari ini berita itu bermunculan kembali. Selain itu, kita tahu Megawati  tak menghendaki Ganjar  diusung PDI-P sebagai capres.

Dus, masuk akal kalau Jokowi kini mengandalkan Prabowo. Kalau Ganjar tak ikut kontestasi pilpres, memang hanya Prabowo yang menjadi kompetitor Anies. Pakar komunikasi politik UI, Effendi Gazali, menilai Prabowo orang yang akan menjamin keamanan Jokowi dan keluarganya, serta kelanjutan IKN.

Ia mendasarkan analisisnya pd sikap Kepala BIN Budi Gunawan yang menyebut aura Jokowi kini seakan pindah ke Prabowo. Pernyataan ini berkaitan dengan arah dan waktu BG punya banyak info dan beliau dekat dengan Megawati. Lalu, adanya pertemuan di Istana antara Megawati dan Jokowi.

Selain itu, kata Gazali, BG dinilai sangat tahu sosok Prabowo. Dia juga  memahami betul narasi besar tentang keindonesiaan perlu sambung-menyambung.

Menilik sistem ekonomi ekstraktif yang dijalankan pemerintahan Jokowi yang berada dalam kendali Luhut memang sangat mirip dengan developmentalism Orba. Penekanan pada stabilitas politik membuat pemerintah kurang menghargai demokrasi, HAM, dan kritisisme. Pertumbuhan ekonomi mengandalkan  oligarki untuk menciptakan lapangan kerja.

Untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi, investasi asing sangat diandalkan sampai-sampai pemerintah membuat konsesi-konsesi besar bagi investor, termasuk melelang BUMN-BUMN, untuk menciptakan lapangan kerja, transfer teknologi, dan percepatan industrialisasi.

Pemerataan dikaitkan dengan pembangunan infrastruktur di mana akses ekonomi bagi rakyat makin besar dan diharapkan daya saing produk dlm negeri meningkat.

Namun, ternyata, Jokowinomics melahirkan banyak masalah. Misalnya, selain yang sudah disebutkan di atas, Jokowinomics juga melahirkan pelanggaran HAM, KKN, dan lembaga legislatif serta yudikatif telah terkooptasi oleh eksekutif yang dikendalikan oligarki. Sementara keadilan sosial tdk tercipta. Bahkan, pengangguran dan kemiskinan meluas. Yg menjadi lbh kaya justru oligarki.

Sekali lagi, Jokowinomics ini juga yg menjadi komitmen Prabowo untuk dilanjutkan. Dan hal ini cukup membuat Luhut bahagia. Kalaupun Ganjar atau bakal capres lain pendukung status quo yg nanti berkuasa, itu pun akan membuat Luhut happy karena ada jaminan keberlanjutan Jokowinomics yang dijalankannya selama ini. 

Ada dua alasan mengapa para bakal capres ini akan melanjutkan program pembangunan Jokowi. Pertama, mereka tak punya visi tentang Indonesia masa depan. Kedua, Jokowinomics -- yg tak lain merupakan reinkarnasi Orba -- telah menjadi berhala.

Dalam rilis hasil survey Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada 13-18 Maret lalu, secara mengejutkan menunjukkan kepuasaan terhadap kinerja pemerintahan Jokowi mengalami peningkatan. Ada 73% responden yang menyatakan puas, sementara yg tdk puas 26%.

Yang puas beralasan Jokowi membangun infrastruktur dan "membagi-bagi" uang pada rakyat kecil. Yang tidak puas mendasarkan pada kenaikan harga bahan-bahan pokok. Sementara elektabilitas Prabowo meningkat signifikan setelah adanya endorsement dari Jokowi pada pencapresannya.

Data ini -- kalau memang dapat diandalkan -- menunjukkan tidak ada korelasi antara Jokowimomics dengan ekses yang ditimbulkannya dan apa yang dikesankan Jokowi kepada rakyat banyak. Toh, menurut hasil survey itu juga, rakyat menyukai Jokowi karena "kebaikan" dan "kesederhanaannya".

Bertahannya kepuasan pada kinerja pemerintahan Jokowi -- padahal banyak anomali yang merugikan rakyat, bangsa, dan negara  -- disumbangkan juga oleh sikap para cerdik pandai die hard Jokowi yang selalu merasionalisasi apapun kebijakannya yang, dengan begitu, menyiapkan infrastruktur politik bagi keberlangsungan berhala Jokowinomics.

Rakyat dirayu dan dihipnotis untuk menjadi pemuja Jokowinomics yg bercirikan imoralitas dan antiintelektualisme. Berani sumpah sesungguhnya tidak ada kelebihan apapun dari Jokowi dalam konteks kapasitasnya sebagai presiden.

Kalau nanti Prabowo (atau Ganjar) terpilih, maka Jokowinomics sebagai kekuatan destruktif akan terus menggelinding untuk menggilas apa saja yang ada di depannya. Luhut akan ikut serta di dalamnya sebagai cofounder Jokowinomics bersama Prabowo. Kalau demikian, reformasi 1998 menjadi hal yg sia-sia.

Nubuat bahwa RI akan menjadi negara dengan besaran ekonomi terbesar ke-4 dunia pada 2045, bertepatan dengan perayaan 100 rahun RI, pun sangat mungkin cuma mimpi.

Tangsel, 27 Maret 2023

560

Related Post