Karena Watak Megawati dan Ambisi Jokowi, Ganjar Kehilangan Wataknya Sebagai Calon Presiden
Jakarta, FNN - Seperti sudah kita bersama bahwa sudah sejak beberapa waktu terakhir hubungan Presiden Jokowi dengan Megawati Soekarno Putri, ketua Umum PDIP, sudah retak dan tidak harmonis lagi. Keretakan itu tampak di berbagai kesempatan dan tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Publik melihat gelagat keduanya dan memaknainya sebagai perceraian politik. Persoalannya antara lain soal dukung mendukung figur yang akan diusung sebagai capres 2024. Dan kini, semakin jelas perseteruan keduanya karena watak Megawati yang ingin mendominasi dan ambisi Presiden Jokowi yang tak mungkin berhenti untuk ikut cawe-cawe.
Menanggapi keadaan tersebut, Rocky Gerung dalam diskusi di Kanal You Tube Rocky Gerung Official edis Jumat (30/6/23) mengatakan, “Saya kira memang itu akhirnya, rumus terakhir adalah relasi antara PDIP dan Jokowi, atau lebih khusus lagi antara watak Ibu Mega dan ambisi Pak Jokowi. Ambisi Pak Jokowi tidak tertahankan karena dia nggak mungkin lagi berhenti untuk cawe-cawe. Sebaliknya, watak Ibu Mega adalah memastikan bahwa apa yang sudah dia pilih itu nggak bisa diganggu gugat.”
Di dalam persamaan itu atau dalam equation itu, lanjut Rocky, kita coba melihat derivat-derivatnya. Yang pertama adalah kecemasan Ganjar sendiri sebagai personal, bukan PDIP yang cemas. Ganjar cemas karena dia diberi semacam keleluasaan untuk mondar-mandir ke daerah dan sebagainya, tetapi tidak pernah mendapat sambutan yang otentik.
“Jadi, sebagai pribadi tentu Saudara Ganjar ini menganggap bahwa dia akhirnya menjadi mainan. Kan itu merusak mental Ganjar dan relawannya. Di mana-mana kita lihat dinaikin poster tentang Ganjar, di belakangnya ada foto Megawati segala macam, tapi nggak ada gairah yang menganggap bahwa ini serius. Jadi, walaupun di seluruh Indonesia ada poster Bapak Ganjar, tapi di belakang poster itu tidak ada semacam energi. Jadi, kelihatan itu poster sebagai poster aja, sebagai baliho aja,” ujar Rocky.
Padahal, lanjut Rocky, yang kita inginkan adalah Ganjar sendiri turun dari poster itu, lalu menyapa rakyat. Yang kita inginkan adalah Ganjar datang dari segala arah ke seluruh Indonesia, lalu mengatakan bahwa dia memang pantas untuk menentukan sendiri sikap politiknya, bukan tergantung pada relasi tadi, pada ketegangan antara watak Megawati dan ambisi Presiden Jokowi.
Meski saat ini elektabilitas Ganjar didongkrak habis-habisan oleh lembaga survei, tetapi publik tahu bahwa ada kekhawatiran luar biasa karena watak Megawati yang terus ingin mendominasi atau bahkan mengendalikan Ganjar. Hal ini bisa membuat partai-partai lain berpikir ulang untuk mendukung Ganjar. Keadaan seperti ini tentu merugikan Ganjar.
“Tetapi, katakanlah elektabilitas Ganjar naik, tidak ada soal sebetulnya. Kan itu gampang diturunkan lagi atau dinaikkan bahkan berkali kali dengan menambahkan ">sebagai presiden, tapi sebagai orang yang disuruh Megawati,” ungkap Rocky dalam diskusi yang dipandu oleh Hersubeno Arief, wartawan senior FNN.
Hal itulah yang menyebabkan orang mempertanyakan apa gunanya ada debat presiden tentang komposisi kabinet, tentang siapa yang mau duduk di kabinet, toh akhirnya Megawati sendiri yang akan menentukan komposisi kabinet.
“Jadi Ganjar dipilih oleh rakyat, tapi yang menentukan kabinetnya adalah Megawati. Padahal, PDIP itu nggak sampai 20% suaranya. Bagaimana kalau seseorang terpilih sama seperti Pak Jokowi, terpilih tapi kemudian dijadikan petugas partai oleh PDIP. Padahal, Pak Jokowi dipilih oleh 51% orang Indonesia, sedangkan PDIP cuma 19%. Hal yang sama akan diberlakukan pada Ganjar. Kasus Pak Jokowi sudah terjadi, sedangkan kasus Ganjar kini sedang berlangsung,” ungkap Rocky.
Rocky bukan sedang mengkritik Megawati, tetapi model semacam itu tidak akan membesarkan demokrasi, karena calon presiden dikerangkeng oleh partai, oleh ketua partai. Padahal Indonesia menganut sistem presidensial. Lain halnya kalau menganut sistem parlementer, misalnya, sehingga perdana menteri menentukan kabinetnya. Indonesia menganut sistem presidensial dan pemilihan langsung. Itu artinya, presiden mesti mendapat legitimasi dari rakyat Indonesia, bukan sekadar kemenangannya itu diabdikan buat partai.
Rocky mengingatkan bahwa dalam sistem presidensial dan pemilihan langsung, presiden adalah milik seluruh rakyat yang memilihnya, bukan sekadar milik partai yang mengusungnya. Partai-partai yang mengusungnya tetap terkendali oleh 20%.
“Jadi, sekali lagi kita mau terangkan kepada publik, Ganjar akhirnya kehilangan watak dia sebagai calon presiden. Dia sekadar calon dari Megawati untuk kepentingan PDIP, bukan untuk kepentingan pemilu dan demokrasi,” ujar Rocky.(ida)