Pembinaan Erick & STY, Sepak Bola, bukan

Oleh Sabpri Piliang | Wartawan Senior 

     BELAJARLAH bersabar! Seperti kesabaran Jepang, hingga menjadi seperti sekarang. Tak ada yang "instant", tak ada jalan pintas.
     Ketua Umum PSSI Erick Thohir, sudah "on the right track". Pilihan terhadap pelatih Shin Tae Yong (STY) berada di jalur yang tepat. STY bukan "pemain sulap", dengan "simsalabim". Lalu, 'jadilah'!
       Tidak mudah bagi STY, menyulap menjadi kebiasaan-kebiasaan baik. Dalam pembinaan sepak bola nasional.  Tidak gampang pula mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang telah "mendaging" terlalu lama.
     Fase-fase awal melatih Timnas Indonesia, STY telah memberitahu kepada pemain. Kemajuan sepak bola Indonesia, dimulai dari kepatuhan terhadap regulasi.
     Beberapa pemain, dipulangkan terlalu dini, hanya karena terlambat datang. Atau tidak datang saat dibutuhkan, dan menolak bergabung dengan Timnas. Jangan harap, mantan pelatih Timnas Korea Selatan ini memanggilnya kembali, setelah itu.
      Pemain muda seperti Ramai Rumakiek (22 tahun) dan Elkan Baggot (22 tahun), adalah dua pemain yang tidak pernah lagi dipanggil STY. Tidak berprestasi?
     Rumakiek (Persipura), dengan kinerja bagus di lini serang, lalu Elkan Baggot (Ipswich Town) di garis pertahanan. Adalah "valuable".
     Saya yakin STY menilai keduanya. Memiliki masa depan dan berbakat. Ada faktor non-teknis yang membuat dia kekeh, bahwa pembangunan sepak bola Indonesia, harus dimulai dari hal sepele. Seperti yang dilihatnya pada Rumakiek dan Baggot.
     Pelatih sekelas Shin Tae Yong, memiliki prinsip kebebasan yang tak bisa "diganggu". Bahasa mudahnya, tak mau di-intervensi, menyangkut pemilihan pemain dan hal-hal prinsip untuk mencapai kemenangan.
     Secara harfiah, saya suka dengan Ramai Rumakiek. Lini  serang dan daya dobrak Timnas sangat hidup. Semasa dia memperkuat Timnas Indonesia di beberapa "matchday". Begitu juga Baggot, penetrasi serang dan bertahannya sama-sama bagus.
     Mustahil bagi pelatih (andai bukan Shin Tae Yong), untuk tidak memanggil Rumakiek dan Baggot. Sama mustahilnya, seperti pelatih Daniel Pasarella yang tidak memanggil gelandang bertahan elegan Argentina,  Fernando Redondo.
      Fernando Carlos Redondo Neri (Fernando Redondo) salah satu pemain bintang yang berkontribusi secara ofensif, dan kreatif. Ikut merasakan  atmoshfer  "World Cup" 1994, memenangkan Piala Konfederasi  FIFA (1992), dan Copa America (1993). Di tangan Daniel Pasarella tak ada kompromi. Regulasi harga mati!
       Sekalipun semasa menjadi kapten Timnas Argentina (1978), "starting eleven"-nya berambut sebahu seperti: Mario Kempes, Leopoldo Luque, Alberto Tarantini, Ubaldo Fillol. Daniel Pasarella meminta anggota Timnas Piala Dunia Argentina (1998) di Perancis, tak bermbut panjang, dan tak memakai anting.
     Fernando Redondo menolak regulasi itu. Daniel Pasarella serta merta mencoret Redondo, dan sekaligus mengakhiri kariernya di sepak bola Argentina.
      Shin Tae Yong, juga Ketua Umum PSSI Erick Thohir punya tenggat, punya 'schedule', atau "deadline". Namun, tentu juga tidak 'instant'.
     Pola lateral (horisontal) rekrutmen naturalisasi pemain saat ini, juga punya tenggat. Pasti ada masanya untuk direduksi. 
    Kapan? Semua ada tenggat, saat mana pembinaan berjenjang, terencana, dan fundamental, seperti yang  dilakukan Jepang. Bisa kita lakukan di sini. 
     Pola naturalisasi, saat ini sudah tepat. Kita membutuhkannya sebagai pemacu prestasi. Hingga satu titik (tenggat), Erick Thohir dan Shin Tae Yong berhasil mengangkat prestasi monumental. Lolos ke Piala Dunia 2026, misalnya. Atau finalis Piala Asia. 
     Pada "Summer" 1830, Victor Hugo (pengarang Perancis). Merasa mustahil memenuhi tenggat penerbitan buku, seperti yang dia dijanjikan. Namun, naskah buku barunya terbengkalai. 
    Berpikir positif dan yakin dengan kemampuan Hugo. Penerbit menambahkan tenggat penerbitannya hingga 1831.
      Melihat "track record" kepengarangann Victor Hugo, beranalogi ke "coach" Shin Tae Yong (STY), dan pengalaman empirik Ketua Umum PSSI selama lima tahun di Inter Milan. Kita yakin,  Timnas Indonesia sudah berada di tangan yang tepat, dengan program yang tepat.
     Victor Hugo membuktikan. Shin Tae Yong membuktikan. Bekerja keras, disiplin, dan tegakan regulasi adalah kunci sukses. 
     Menulis tanpa kenal waktu (habis-habisan), selama "Autmn" (musim gugur), Victor Hugo menebus keterlambatannya.
      Buku baru ber-"banner", "The Hunchback of Notre Dame", terbit persis dua minggu lebih cepat dari yang ditargetkan "publisher" (penerbit). Hugo "mengalahkan" segala "barrier" yang berat, dan segala kendala teknis dan non-teknis.
        Seandainya, 20 Maret 2025 Timnas Indonesia mengalahkan Australia yang lebih berat. Lalu menjungkalkan China dan Bahrain (home).  Ini bagus.
      Berarti, tenggat tak sampai enam tahun (potong wabah Korona dua tahun), Shin Tae Yong dan Erick Thohir berhasil membawa Timnas Indonesia. Lebih cepat ke pentas dunia, Piala Dunia 2026.
      Disiplin dan tegakkan regulasi. Adalah kunci sukses sepak bola Indonesia. ***(*)..

112

Related Post