Miris! Dalam KUHP Baru Menghina Pemerintah atau Lembaga Negara Diancam Pidana Penjara Paling Lama 18 Bulan: Pembungkaman Suara Rakyat?

Pierre Suteki, Dosen Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo

Hingga sekarang sebenarnya masih relevan bagi kita untuk mendiskusikan sistem mana yang terbaik untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Oleh: Pierre Suteki, Dosen Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo

DPR telah menyetujui RKUHP yang diajukan oleh Pemerintah pada tanggal 5 Desember 2022. Dalam KUHP Baru banyak sekali perubahan atas KUHP warisan Belanda. Namun, masih mempertahankan pasal penghinaan kepada pemerintah atau lembaga negara dengan ancaman pidana selama 18 bulan penjara.

Pasal 240 ayat (1) menyebutkan: Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terkait dengan penghinaan pemerintah atau lembaga negara negara menjadi polemik. Menghina DPR, Polri dan Kejaksaan diancam 18 bulan penjara. Pasal-pasal terkait dengan penghinaan terhadap lembaga negara dan penguasa umum dalam KUHP akan berpotensi menjadi masalah.

Pertanyaan awal yang harus diajukan adalah: benarkah kita ini menerapkan sistem pemetintahan Demokrasi Kaffah atau hanya Pseudo Democracy?

Dalam upaya membangun demokrasi itu, perlu dilakukan revisi besar-besaran terhadap KUHPidana dan peraturan perundang-undangan yang lain, terutama pasal pasal yang bisa dipakai untuk memenjarakan wartawan, demonstran, penceramah, dan pembicara dalam diskusi, serta aktivis advokasi.

Dengan menggunakan pasal-pasal itu, yang sekarang berlaku, putusan hakim dapat membungkam: kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan kebebasan menyampaikan pendapat.

Pasal-pasal tersebut ketinggalan zaman (outdates laws) di dalamnya termasuk mengenai ketentuan pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan, kabar bohong, dan penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, serta pejabat Negara.

Seiring dengan berkembangnya nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia saat ini tampaknya kalangan yang disebutkan di atas menghendaki sebuah kebebasan berekspresi, sehingga tumbuh dan berkembang.

Pula kualitas kontrol yang dihasilkan terhadap semua proses dan hasil pembangunan. Dengan fungsi itulah selayaknya kebebasan berekspresi tidak lagi terbelenggu dengan ancaman delik dalam KUHPidana.

Kata ”penghinaan” pembuktiannya bisa dilakukan dengan ukuran subjektif, sehingga dapat disalahgunakan untuk kepentingan penguasa yang antikritik. Di KUHP sekarang, Pencemaran nama baik diatur di dalam Pasal 310 - Pasal 321 KUHP yang dikenal dengan istilah penghinaan. 

R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 225) dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, menerangkan bahwa, “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang ini biasanya merasa “malu”.

“Kehormatan” yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksual atau kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.

Dalam KUHP Baru, hukuman akan diperberat bila penghinaan menyebabkan kerusuhan.

“Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV,” demikian bunyi Pasal 240 ayat 1.

Di ayat 3 ditegaskan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.

Hukuman akan diperberat lagi bila penghinaan itu dilakukan menggunakan sosial media dengan ancaman 2 tahun penjara. Pasal 241 ayat 1 berbunyi:

“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.

“Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina,” demikian bunyi Pasal 350 ayat 2.

Sesuai dengan penjelasan Pasal 240, yang dimaksud dengan “menghina” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan atau citra pemerintah atau lembaga negara, termasuk menista atau memfitnah. Menghina berbeda dengan kritik yang merupakan hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa atau menyampaikan pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah atau lembaga negara.

Dalam negara demokratis, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan pemerintah atau lembaga negara. Pada dasarnya, kritik dalam ketentuan ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.

Lalu apa yang dimaksud pemerintah atau lembaga negara? Yang dimaksud dengan “pemerintah” adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Adapun yang dimaksud dengan “lembaga negara”: Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Jadi, berdasarkan penjelasan Pasal 240 ini, penghinaan ini hanya meliputi: Presiden, MPR, DPR, DPD, MA dan MK. Selain instansi ini tidak termasuk penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara yang dimaksud.

Terkait dengan potensi penggunaan pasal penghinaan kepada pejabat untuk kepentingan pejabat yang antikritik memang sangat besar.

Kita punya pengalaman adanya kecenderungan pemerintah itu mengabaikan kritik publik menunjukkan pola berulang mengenai proses legislasi yang “ugal-ugalan”. Misalnya, pemerintah mengesahkan sejumlah UU kontroversial di tengah kritik publik, seperti UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Omnibus Law UU Cipta Kerja, UU Ibu Kota Negara, serta revisi UU P3 dan demo untuk mengkritik itu menimbulkan banyak korban akibat represi APH.

Ada kemungkinan besar, pasal-pasal dalam KUHP Baru tersebut berpotensi membahayakan rakyat, atau bisa menjadi alat bagi kekuasaan untuk berlaku otoriter dan represif.

Terkait dengan adanya pasal yang mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat, perlu ditekankan bahwa persoalan utamanya itu penghinaan kepada pejabat negara, bukan hanya Presiden dan Wapres.

Nah, soal penghinaan ini yang harus dibuat clear dulu bahwa ia beda dengan kritikan. Selain itu rakyat pun juga harus dididik untuk tahu etika ketika memberikan kritik kepada pejabat negara. Saya kira di negara yang beradab, negara Islam pun tidak boleh dibiarkan tindakan penghinaan kepada pejabat negara, tapi kritik boleh.

Hanya persoalannya beda tipis itu yang seringkali terjadi sehingga pejabat dengan perangkatnya bertindak represif terhadap rakyat yang mengkritiknya. Maka, sudah tepat jika soal penghinaan kepada pejabat ini ditempatkan sebagai Delik Aduan dan pidananya bisa berupa penjara atau denda kategori tertentu. Namun, lebih baik lagi kalau soal penghinaan ini digeser menjadi hukum perdata, bukan hukum pidana. Ganti kerugian bisa menjadi pilihan yang tepat, bukan penjara.

Jika kita cermati, ada banyak hal yang perlu diakomodir dan ditolak dari RKUHP ini, termasuk yang sekarang hangat dibicarakan adanya potensi semua bisa kena hukuman akibat menyuarakan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu harus ada jaminan dari pembentuk UU bahwa KUHP ini tidak dipakai sebagai alat Represi dan pembungkaman suara kebenaran dan keadilan rakyat. Banyak substansi yang menurut saya sebuah kemajuan.

Adanya berbagai polemik dan kelemahan sistem hukum di negeri ini, hal tersebut dapat menjadi momentum bagi masyarakat untuk berbenah dan menelaah kembali sistem politik kenegaraan dan sistem  yang diadopsi dan dijalankan selama ini. Ada pendapat berbagai kalangan yang menyatakan bahwa sistem demokrasi yang dijalankan di negeri ini justru telah menjauhkan keadilan dan kesejahteraan umum.

Hingga sekarang sebenarnya masih relevan bagi kita untuk mendiskusikan sistem mana yang terbaik untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Ada prinsip yang bisa dipegang bagaimana hubungan antara lingkungan dengan penghuninya. Ibaratnya: Ikan tinggal di air. Bukan di padang pasir. Misalnya kita bicara kapan umat Islam yang mayoritas di negeri ini bisa hidup dalam kedamaian sejati? Secara fitrah dan hakikat, umat Islam hanya akan bahagia dan sejahtera jika tinggal dalam naungan sistem Islam.

Jika kita yakin bahwa sistem yang kita anut sekarang buruk dampaknya bagi penghuninya mestinya sudah saatnya umat mengkaji ulang penerapan sistem buruk tersebut. Kemudian menggantinya dengan sistem yang membawa kebaikan.

Yaitu sistem Islam yang memberi jaminan keadilan dan kesejahteraan, serta memberi kebebasan sepanjang berada dalam koridor syariat-Nya. Sistem pemerintahan Islam sejatinya tegak di atas landasan akidah dan standar hukum syara’.

Prinsip ini dipegang teguh baik oleh penguasa maupun rakyatnya. Di antara keduanya, tak ada yang merasa lebih istimewa. Satu sama lain justru akan saling mengontrol, karena paradigma penyelenggaraan kekuasaan adalah dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Rabb Pencipta alam semesta, bukan untuk mengejar kepentingan dunia.

Bagaimana dengan sistem demokrasi? Standar sistem ini tidak jelas, karena hanya didasarkan pada konsensus rakyat yang seringkali diwakili oleh orang-orang yang tidak mencerminkan kehendak rakyat sendiri, melainkan lebih pertimbangkan kemauan partai, fraksi bahkan oligarki yang mendukungnya.

Munculnya negara Nation State dengan Demokrasinya hingga sekarang belum mampu membawa dunia menjadi lebih baik, masih jauh dari segala krisisis multidimensional. Bahkan Nation State makin menjauhkan kita dari keadilan dan kesejahteraan umum. Solusinya bagaimana? Islam menawarkan solusi penerapan syariat Islam dalam naungan sistem pemerintahan Islam yang melindungi semua kaum beragama tanpa kecuali.

Demokrasi bukan harga mati, masih terbuka untuk dievaluasi bahkan diganti. Jika belum memungkinkan untuk mengganti sistem, harus ada perbaikan dalam pengaturan tentang penghinaan terhadap pejabat dengan bercermin kepada negara lain.

Harus diakui pula memang di beberapa Negara, sebut saja contohnya : Togo, Afrika Barat, Kroasia, Ghana, Uganda, Timor Lorosae, dan Nederland, mereka telah melakukan penghapusan ketentuan hukum mengenai penghinaan ini dari ketentuan pidana menjadi ketentuan perdata, sehingga konsekuensinya hanya memberlakukan sanksi denda saja.

Pergeseran ini didorong oleh sebuah pendapat yang menyatakan bahwa “denda akan mendorong kebebasan berekspresi, yang dalam masyarakat pada saat ini sedang dikembangkan.

Tabik!

Semarang, Kamis, 8 Desember 2022. (*)

361

Related Post