IDEOLOGI

Begitu Cintanya Megawati Pada Partai Komunis China

By Asyari Usman Medan, FNN - Pada 1 Juli 2021 baru lalu, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri secara khusus menyampaikan ucapan selamat ulang tahun (ultah) ke-100 (satu abad) Partai Komunis China (PKC). Banyak pujian. Terutama untuk Xi Jinping, sekretaris jenderal partai yang juga merangkap sebagai presiden RRC. Ada beberapa hal yang perlu kita cermati. Pertama, ucapan ultah dari Bu Mega menunjukkan begitu cintanya beliau kepada PKC. Ini sangat menarik. Bu Mega peduli sekali dengan mereka. Apa sebabnya? Bisa jadi Bu Mega merasa ideologi komunis itu cocok dengan perjuangan PDIP. Sebagai contoh, PKC tidak memberikan ruang hidup bagi ketuhanan. Kalau pun ada masjid di Beijing, itu lebih banyak untuk keperluan diplomasi internasional, khususnya dengan negara-negara berpenduduk muslim. Bu Mega dan PDIP pun begitu. Beliau melihat Pancasila yang mengutamakan Ketuhanan Yang Maha Esa harus direvisi. Bu Mega berusaha mengubah Pancasila menjadi Trisila, kemudian Ekasila (gotong-royong). Bu Mega menginginkan agar konsep ketuhanan dihapus, sebagaimana PKC berusaha melenyapkan agama dari rakyat Uigur di Provinsi Xinjiang. Untuk pelenyapan itu, Presiden Xi melakukan pembantaian (genosida) terhadap warga Uigur yang melaksanakan ibadah agama Islam. Sedangkan untuk jangka panjang, pemerintah RRC menerapkan kebijakan yang akan menjauhkan generasi muda Uigur dari Islam. Ini sedang berjalan. Simbol-simbol Islam dihancurkan, termasuk masjid-masjid. Bu Mega tahu itu. Dia tidak berkomentar apa pun. Mungkin saja dia setuju dengan tindakan biadab Xi Jinping. Hal kedua yang menarik untuk dicermati adalah bahwa ucapan khusus ultah seabad PKC itu merupakan kode dari Bu Mega tentang atusiasme PDIP memberikan ruang seluas-luasnya kepada RRC untuk mengolah dan mengelola Indonesia. Pesan ini bukan sesuatu yang baru. Sekadar menekankan kembali agar RRC tidak ragu-ragu masuk ke Indonesia secara besar-besaran. Ketiga, ucapan ultah yang direkam dalam bahasa Indonesia itu merupakan pesan kepada ‘die-hard’ komunis di sini bahwa Bu Mega dan PDIP akan melindungi mereka. Siap mengawal misi mereka. Keempat, ada kata-kata “semoga persahabatan antara 1.4 miliar rakyat China dan 271 juta rakyat Indonesia” akan tetap abadi. Bu Mega tidak etis mengatakan ini. Hanya warga PDIP dan sisa-sisa PKI yang mendambakan perahatan erat dengan China komunis. Hubungan dagang tentu tidak masalah. Karena perdagangan murni tidak harus membukakan pintu kepada RRC untuk menancapkan pengaruh politik mereka di bumi Indonesia. Jadi, Bu Mega seharusnya berhati-hati. Kecuali dia dan PDIP memang bertekad keras untuk menjadikan Indonesia sebagai provinsi RRC. Ucapan ultah itu menunjukkan begitu cintanya Bu Mega kepada PKC. Bertolak belakang dengan kegelisahan rakyat, khususnya umat Islam, terhadap semakin kuatnya cengkeraman RRC di negara ini.[] Penulis wartawan senior FNN.co.id

Ingat, Mereka Mau Hapus Pancasila

by Asyari Usman Medan, FNN - Alhamdulillah, hari ini kita masih punya Pancasila yang dimaksudkan untuk menjaga NKRI. Juga menjaga spirit keberagamaan dan keberagaman bangsa. Tapi, harap diingat, banyak yang akhir-akhir ini tidak suka Pancasila. Mereka merasa tak cocok dengan Pancasila. Di antara yang tak suka dan tak cocok dengan Pancasila, ada yang sangat serius. Dan cukup kuat. Mereka telah dengan terang-terangan mencoba untuk mengganti Pancasila dengan Trisila dan kemudian mau mereka jadikan Ekasila alias “gotong royong”. Tapi, gagal total sejauh ini. Siapakah mereka? Mereka itu adalah kekuatan politik besar. Motifnya? Mereka tak suka dengan sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Mereka menggagas ketuhanan yang berkebudayaan. Elaborasinya? Tentu bisa Anda cerna. Misalnya, konsep Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah Tauhid Islam. Terus? Silakan bahas sendiri saja. Tapi, apakah kekuatan politik besar itu masih akan mencoba untuk mengganti Pancasila? Jawabannya: apakah ideologi bisa sirna begitu saja? Tidak akan. Mengubah strategi, iya. Mereka akan diam untuk sementara. Sambil melakukan berbagai langkah sosial dan politik yang bertujuan agar publik tidak merasa perlu sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan penerapannya. Kita syukuri dan kita pertahankan Pancasila yang berintikan Tauhid itu. Selamat Hari Pancasila, 1 Juni. Waspadai mereka yang ingin menghapuskan dasar negara ini. Penulis Wartawan Senior FNN.co.id

Early Warning Bencana Ideologi

By Prof Daniel Mohammad Rosyid Solo, FNN - Pada saat ummat manusia disibukkan oleh berbagai bencana akibat perubahan iklim dan pemanasan global serta kebangkrutan ekonomi akibat pandemisasi covid-19, Republik ini menghadapi bencana ideologi atas Pancasila melalui berbagai malpraktek administrasi publik. Ancaman terakhir itu terjadi segera setelah serangkaian amandemen ugal-ugalan atas UUD1945 menjadi konstitusi palsu UUD2002. Kepalsuan ini membuka jalan bagi konstruksi hukum dan tafsirnya yang mengabdi bagi kepentingan elite, bukan kepentingan publik. Bencana ideologi ini disusupkan melalui perombakan atas rancangan dasar batang tubuh UUD1945 yang semula berdasarkan Pancasila, menjadi rancangan sekuler liberal kapitalistik. Setelah dipaksa mengikuti aturan keuangan ribawi IMF sejak 1949, berbagai UU yang muncul kemudian sejak reformasi menyediakan semua peluang bagi agenda nekolimik. Ini adalah agenda kaum sekuler radikal segera setelah Soeharto dijatuhkan saat sedang bermesraan dengan kelompok Islam. Situasi ini tidak dikehendaki oleh kaum sekuler nasionalis garis keras yang sebelumnya menjadi tulang punggung Orde Baru dukungan AS, sekaligus tidak dikehendaki oleh kaum sekuler kiri radikal yang sabar menunggu kesempatan come back sejak kegagalannya di akhir Orde Lama. Kesempatan come back ini makin terbuka sejak 5 tahun terakhir ini bersamaan dengan AS yang makin inward looking di bawah Trump dan kebangkitan China sebagai raksasa ekonomi global baru mengisi kekosongan kepemimpinan global yg ditinggal AS. Pada saat China memantapkan diri sebagai manufacturer of the world, maka sejak 10 tahun terakhir lebih, industri nasional di berbagai kawasan-kawasan industri praktis telah menjadi satelit industri China. Industri nasional hanya sekedar memberi merek lokal sementara produksinya tetap di China. Sejak peluncuran inisiatif One Belt One Road, China mendeklarasikan ambisinya sebagai negara adidaya baru. Bersamaan dengan OBOR itu, gelombang investasi China masuk ke Indonesia melalui skema turn key projects di sektor mineral, energi dan batu bara serta infrastruktur seperti jalan tol, pembangkit listrik, kereta api cepat, pelabuhan dan bandara. Investasi China ini diikuti oleh impor peralatan dan bahan baku China, serta gelombang tenaga kerja asal China dari jenjang direksi, manajer, supervisor hingga tenaga kerja kasar. Kesempatan kerja bagi tenaga kerja lokal tidak terlalu berarti. Dampak lokal dan nasional investasi China ini hanya pada pendapatan pajak dan retribusi bagi Pemerintah, namun dampak ekonomi lokalnya sangat terbatas, sementara dampak lingkungannya serius. Berbagai kawasan investasi China itu kini berkembang menjadi kantong-kantong tertutup dan eksklusif yang beroperasi layaknya negara dalam negara. Saat gelombang kedatangan TKA China berlangsung hampir tanpa jeda lewat bandara dan pelabuhan di seluruh Indonesia, bahkan selama pandemi covid-19 ini, maka perkembangan ini perlu diwaspadai sebagai ancaman atas kedaulatan Republik. Kaum sekuler kiri radikal menunggangi kebangkitan China sebagai adidaya baru dan pandemisasi Covid-19 untuk mengambil keuntungan politik : menyusupkan ideologi kiri radikal pada berbagai UU sekaligus menyudutkan Islam melalui berbagai semburan islamophobik. Pada saat oposisi di DPR melemah, DPD nyaris tak terdengar suaranya, kontrol media nyaris tidak ada, dan kampus diam seribu bahasa, sikap otoriter anti-kritik makin menonjol akhir-akhir ini, bahkan kriminalisasi ulama. Republik ini sedang tergelincir ke totaliterianism ala imperium Romawi di bawah Nero. Kaum muslim sebagai pewaris amanah ulama negarawan pendiri Republik ini tidak mungkin membiarkan ancaman bencana ideologi yang menggerogoti Pancasila dan Republik ini terjadi di depan matanya. Muslim, terutama muslim muda, bersama komponen patriot bangsa lainnya harus segera bangkit menyiapkan diri secara fisik dan mental untuk bergerak mencegah bencana ideologi ini. Mereka harus menjadi generasi petarung, bukan generasi sarung.

Ini Contoh Kekejaman Partai Komunis Ketika Berkuasa

By Asyari Usman Medan, FNN - Seram, mencekam dan sangat mengerikan. Berikut ini contoh kalau partai komunis berkuasa. Sadis, brutal. Dan tidak ada yang berani membawa mereka ke pengadilan. Itu yang terjadi selama 30 tahun di negara bagian West Bengal (Benggala Barat) di India timur. Partai Komunis India-Maois (Communist Party of India-Maoist) disingkat CPI-M pada 1977 berhasil merebut kekuasaan di West Bengal yang berbatasan dengan Bangladesh itu. Menurut catatan majalah Swarajya, ada ribuan kali pembunuhan sadis yang dilakukan oleh CPI-M. Sebelum berkuasa pun mereka tunjukkan kesadisan. Begitu berkuasa, mereka jadikan kekejaman itu sebagai kultur institusional pemerintahan. Kalau ada kelompok yang coba-coba muncul beroposisi, selesai dalam sekejap. Dari sekian ribu pembunuhan oleh CPI-M yang tidak terdokumentasikan, ada 5 tindakan sadis yang tak akan pernah terlupakan. Inilah 5 peristiwa kejam yang sama sekali di luar akal sehat. 1. Pembunuhan di Sainbari (Maret 1970), sebelum CPI-M berkuasa. Ini awal mula pembunuhan yang menjadi instrumen politik CPI-M. Para kader partai membunuh dua tokoh Partai Kongres dari keluarga Sain. Begitu sadisnya pembunuhan ini, para pelaku memaksa ibu dari dua bersadara tsb untuk memakan nasi yang disirami dengan darah kedua anaknya yang dibunuh itu. Si Ibu langsung mengalami gangguan jiwa berat sampai dia meninggal 10 tahun kemudian. 2. Pembantaian Marichjhapi (Januari 1979). Pemerintah front kiri yang dipimpin Partai Jyoti Basu membiarkan para pengungsi Hindu dari Bangladesh kelaparan. Kemudian mereka menembak mati para pengungsi itu. Kam pengungsi dibakar. Kepada mereka ditembakkan gas air mata ketika para kader CPI-M dan polisi setempat harus membubarkan pengungsi tsb. Ada 60,000 orang warga Hindu Bangladesh yang melarikan diri ke kawasan Sunderban di Benggala Barat. Para pengungsi berusaha melarikan diri dengan perahu. Tapi, banyak yang akhirnya jatuh ke laut dan kemudian dimangsa buaya. Bayi, anak-anak, para lansia 70-80 tahun banyak yang tewas dalam pembantaian ini. Hingga sekarang tidak diketahui berapa jumlah yang dibunuh. Pembantaian ini dilakukan karena CPI-I memutuskan untuk mengusir para pengungsi itu. 3. Para biksu Ananda Marga yang dibakar hidup-hidup (April 1982). Ananda Marga adalah kelompok yang melepaskan diri dari ajaran Hindu yang dianggap eksploitatif seperti sistem kasta, tahyul, dll. Suatu hari, mereka berkumpul di pinggiran selatan kota Kolkata (Calcutta) untuk acara pendidikan. Tiba-tiba saja para kader CPI-M yang dipimpin langsung oleh para pejabat kota menyerbu dan membakar mereka hidup-hidup. CPI-M melakukan tindakan bidab dan sadis ini karena takut Ananda Marga akan muncul sebagai kekuatan besar yang bisa mengancam partai komunis. Sejumlah taksi yang membawa anggota Marga dicegat. Penumpang taksi disirami bensi dan dibakar langsung di tempat. Setidaknya 17 anggota Marga tewas dan banyak lainnya luka-luka parah. Tak satu pun pentolan CPI-M yang diproses hukum sampai hari ini. 4. Pembantaian Nanoor (Juli 2000). Para kader CPI-M dan pejabat setempat membunuh 11 buruh tani Muslim yang tak punya lahan. Ini dilakukan hanya gara-gara warga Muslim ini mendukung partai oposisi dan mempersoalkan batas tanah. Orang-orang yang menyaksikan pembunuhan itu pun ikut diserang oleh para anggota CPI-M. Para saksi pembantaian juga mau dihabisi dengan tujuan agar para pelaku tidak bisa dilacak dan pengadilan atas diri mereka tak bisa dilaksanakan. Setelah lima tahun berlalu, kasus pembunuhan sadis ini belum juga selesai. Sebanyak 79 kader Marxist CPI-M masih menunggu sidang. Kader CPI-M melakukan teror ala geng sepedamotor di kawasan Nanoor untuk membungkam kemunculan partai lain. Pola yang mereka lakukan adalah menggertak wanita, membakar gubuk mereka, memukuli atau membacok yang laki-laki. Mereka juga membakar gabah yang baru dipanen. Tak jarang penduduk harus mengungsi. 5. Pembantaian Nandigram (Maret 2007). Berawal ketika pemerintah CPI-M mencoba merampas tanah pertanian seluas 4 hektar untuk perusahaan asing di Nandigram, Kabupaten Purba Medinipur. Para petani membentuk persatuan untuk melawan merampasan tanah tsb. Mula-mula geng sepedamotor CPI-M menyerang. Mereka mambakar gubuk para petani. Setelah itu para kader komunis itu melepaskan tembakan beruntun yang menyebabkan 14 orang petani tewas. Jumlah sesungguhnya tidak akan pernah diketahui. Warga melihat tumpukan mayat para petani yang dibuang begitu saja. Pembunuhan sadis seperti yang diuraikan di atas dilakukan oleh CPI-M di mana saja mereka memegang pemerintahan. CPI-M melakukan pembunuhan kejam terhadap siapa pun yang berbicara atau bekerja untuk memperkuat India atau perjuangan nasionalis. Jadi, pengalaman India ini cukup bagi kita untuk melihat watak kaum komunis pada umumnya. Sekali lagi, mereka itu sadis dan tidak punya perikemanusiaan. Tidak punya hati sedikit pun. Binatang mungkin lebih manusiawi bari kaum komunis. Artinya, penyiksaan para jenderal di Lubang Buaya pada 1965 bukanlah hal yang luar biasa bagi PKI. Cukup mengherankan mengapa Hilmar Farid sangat “passionate” mempresentasikan PKI sebagai orang baik. Boleh juga ditanyakan langsung ke Hilmar mengapa dia sangat mencintai PKI.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Ingat, Di Mana Pun Juga Partai Komunis Pasti Sadis

By Asyari Usman Medan, FNN - Hilmar Farid (HF), yang saat ini duduk sebagai Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, menggambarkan (2011) bahwa PKI (Partai Komunis Indonesia) adalah korban rekayasa. Bukan dia saja yang mengatakan begitu. Banyak lagi simpatisan PKI yang mencoba membingkai (mem-framing) argumentasi bahwa peristiwa kejam 30 September 1965 adalah rekayasa. Framing itu dibuat begitu rupa seolah orang-orang PKI bukan manusia sadis, bukan orang kejam. Bahwa para anggota PKI, menurut HF, tidak melakukan penyiksaan sadis terhadap para jenderal AD dalam penculikan dinihari 1 Oktober 1965 itu. Inilah yang sekarang sedang dipropagandakan oleh kelompok pro-komunis di Indonesia. Inilah yang persis dilakukan Hilmar semasa dia belum menjadi Dirjen. Dan inilah yang terus dia lakukan dalam bentuk lain ketika duduk sebagai Dirjenbud sejak 2015. Rakyat Indonesia, terutama kaum muslimin, harus kritis jika menerima propaganda ini. Kaum muslimin harus bekerja keras untuk menceritakan kepada anak-cucu tentang kesadisan dan kebrutalan PKI. Mengapa kerja keras? Karena sekarang ini ada indikasi bahwa sebagian generasi muda tak percaya PKI melakukan kekejaman yang sangat brutal. Kita tidak punya banyak waktu. Sisa-sisa PKI dan simpatisan mereka seperti HF bekerja keras untuk menyusupkan materi pendidikan menengah dan tinggi yang menjelaskan dengan halus bahwa PKI atau bentuk komunisme lainnya bukan sesuatu yang harus dimusuhi. Harap diingat, partai komunis di mana pun juga pasti mengandalkan kesadisan, kekejaman, dan kebrutalan untuk merebut kekuasaan. Ini sudah terjadi di RRC, Kamboja, Vietnam, India, sejumlah negara Afrika, dsb. Di India, sebagai contoh terkini, kesadisan CPI-M (Communist Party India-Maoist atau Partai Komunis India-Maois) berlangsung di 171 kabupaten (distrik) di 13 provinsi (negara bagian). Dan ini belum lama berlalu. Ini bukan cerita 50 tahun atau 30 tahun lalu. Kesadisan CPM itu berlangsung antara 2010 hingga 2017. Sekitar 2,500 warga sipil dan 930 petugas keamanan (polisi dan tentara) dibunuh oleh kaum Komunis-Maois (sumber majalah online India, “Outlook”, edisi 5 Oktober 2017). Di dalam sejarah internasional, komunis-Maois (China) memang terkenal dengan kesadisannya. Di India, PM Manmohan Singh mengatakan CPI-M adalah ancaman keamanan internal terbesar bagi India. Pada 2009, pemerintah India menyatakan CPI-M sebagai organisasi teroris. India adalah negara yang sangat demokratis. Gerakan komunis sudah berusia 100 tahun. Tidak dilarang. Fakta bahwa pemerintah harus mendeklarasikan CPI-M sebagai teroris, menunjukkan bahwa kesadisan dan kebrutalan mereka sudah melampaui batas. Dan memang begitu adanya. Mereka melakukan penculikan dan pembunuhan semena-mena. Kesadisan CPI-M yang paling spektakuler di India terjadi di Negara Bagian Benggala Barat (West Bengal). Di provinsi ini, CPI-M yang berkuasa. Sepanjang 30 tahun kekuasaan mereka di negara bagian ini, tindak kekerasan adalah cara yang selalu mereka kedepankan. Oposisi tidak boleh muncul. Padahal, CPI-M itu sendiri lahir berkat sistem demokrasi murni yang dianut India. Di West Bengal ini, CPM-I “pintar” berwajah dua. Di satu pihak, mereka membuat jaringan intelektual (cendekiawan) partai sebagai pajangan untuk mengelabui kesadisan dan kebrutalan. Tetapi, di belakang layar Partai Komunis di sini menggunakan pembunuhan sebagai instumen politik. Mereka lakukan itu dengan sangat rapi, seolah bukan pekerjaan mereka. Yang selalu menjadi sasaran tindak kekerasan CPI-M adalah rakyat kecil, nelayan, petani, pedagang asongan, dll, yang mereka paksa menjadi anggota partai. Intinya, kaum komunis akan selalu kejam. Komunis-Maois di tempat lain juga sama. Pol Pot membunuh hampir 2 juta rakyat Kamboja antara April 1975 sampai Januari 1979. Hampir seperempat dari 7.8 juta rakyat negara itu dibunuh oleh Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot. Dia memaksa Kamboja menjadi komunis. Di tanah asalnya sendiri yaitu RRC, Mao Tse Tung (yang kemudian memunculkan sebutan “Maois”) juga merebut kekuasaan lewat Revolusi Kebudayaan (1966-1976) yang bercirikan kekerasan. Maois melancarkan gerakan menghabisi kelas menengah dan simbol-simbol kekayaan.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Perpres Produksi Miras, Presiden Jokowi Mikir Apa Tidak Ya?

by Asyari Usman Medan, FNN - Baru sempat menyimak Perpres 10/2021 tentang legalisasi industri minuman keras (minuman beralkohol). Diteken oleh Presiden Jokowi pada 2 Februari 2021. Perpres ini adalah turunan dari UU No. 11/2020 tentang Cilaka (Cipta Lapangan Kerja). Salah satu pertanyaan adalah: apa yang ada dalam benak Presiden Jokowi ketika menandatangani Perpres Miras? Apakah Jokowi sudah mengkalkulasikan buruk-baiknya produksi miras di negeri ini yang bakal bisa dilakukan oleh usaha besar dan kecil? Apakah sudah beliau pikirkan pula dampak dari eceran miras yang bebas dilakukan meskipun hanya di Bali, NTT, Sulut dan Papua? Perpres 10/2021 memang membatasi produksi di keempat provinsi itu saja. Tetapi, apakah bisa dikontrol distribusi dan penjualannya? Pastilah akan dengan mudah diangkut ke luar dari empat provinsi itu. Presiden Jokowi mikir apa tidak ya? Indonesia ini sudah babak belur oleh peredaran Narkoba, terutama sabu-sabu. Lebih 4 juta orang rusak karena Narkoba. Sekarang dilegalkan pula produksi miras. Apa tidak semakin hancur bangsa dan negara ini? Kecenderungan penggunaan Narkoba kini sangat mengerikan. Semakin banyak anak-anak usia SD-SMP yang sudah ketagihan sabu-sabu. Kalau usia SMA, sudah tak terkatakan lagi. Jika tak mampu membeli, mereka pakai “lem kambing”. Atau benda-benda lain yang bisa membawa mereka ‘terbang’. Ditambah dengan miras, kira-kira bagaimana nanti kondisi generasi muda bangsa ini, Pak Jokowi? Anda pikirkan atau tidak, Perpres Miras yang Anda teken itu? Anda pusing mencari uang gara-gara utang yang begitu banyak. Sekarang, generasi muda bangsa ini yang Anda korbankan untuk medapatkan uang miras yang tak seberapa itu. Apakah Anda, Pak Jokowi, tidak tahu begitu banyak pengaruh buruk yang sudah sejak lama merusak generasi muda? Apakah Anda tidak tahu dekadensi moral yang meluas gara-gara pornografi, pornoaksi? Batalkanlah Perpres Miras itu, Pak. Jangan sampai produksi dan distrubisi miras menjadi murah-meriah dan dikerjakan oleh semua orang, usaha besar dan kecil. Ngeri itu Pak. Anda bukannya berusaha mengurangi masalah yang mendera bangsa dan negara ini, tapi malah memperburuk situasi. Jangan diikutkan para pembisik jahat itu, Pak Jokowi. Kata Prof Salim Said, Anda itu orang baik, Pak. Kita buktikan penilaian yang dahsyat ini. Jangan biarkan orang-orang di sekeliling Anda. Mereka menodorong Anda masuk jurang agar bangsa ini pun ikut juga masuk jurang.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Mimpi Partai Islam Ideologis

by DR. Masri Sitanggang Medan FNN - Nasib Umat Islam Indonesia terkait erat dengan kendali politik dan kekuasaan. Bila memiliki pengaruh kuat, umat islam bisa bernafas lega. Sayangnya, sejarah Indonesia lebih banyak diwarnai lemahnya pengaruh umat Islam terhadap kendali politik. Kekuasaan pun sering tak ramah (untuk menghindari kata phobi) terhadap Islam. Padahal, para penguasa negeri ini, sebagaimana rakyatnya, mayoritas beragama Islam. Presiden pun, sejak Indonesia menyatakan merdeka, belum pernah beragama selain Islam. Setidaknya, itulah yang tertulis di KTP mereka. Memang, ada masa-masa dimana Umat Islam bisa bernafas lega. Tetapi itu sebentar saja ketika awal-awal merdeka. Awal Soeharto berkuasa dan masa akhir kekuasaan Soharto. Di awal-awal merdeka, itu terjadi karena pejuang kemerdekaan bisa dibilang lebih 95 persen adalah muslim dan perjuangannya pun berspirit Islam. Jadi, pada masa itu, banyak pemimpin yang menentukan politik negara memiliki spirit Islam. Pada awal Suharto berkuasa, bisa dibilang Umat Islam adalah korban utama, sekaligus front terdepan dalam menumpas, PKI dan menghantarkan Soeharto ke kursi presiden. Pada akhir-akhir kekuasaannya, muncul kesadaran sang Prabu Orde Baru itu untuk lengser keprabon madeg pandhita. Turun tahta kemudian menjadi seorang pandhita (baca muslim yang baik). Bersamaan dengan itu, kemungkinan sekali muncul pula kesadaran Soeharto bahwa membangun Indonesia tidak mungkin mengabaikan umat Islam. Begitulah. Selebihnya, sedikit lega di awal reformasi dan akhirnya kini menukik ke titik nadir. Terpinggirkan. Apakah jumlah umat Islam di lingkaran kekuasaan dan pengambil kebijakan politik merosot dari tahun ke tahun sejak Indonesia merdeka? Sehingga umat Islam kian terpinggirkan? Bisa jadi iya. Tetapi Umat Islam tidak pernah punya data persentase pejabat negara berdasarkan agama. Apakah masih tetap proporsional dengan persentase pemeluk agama di Indonesia atau tidak? Berkaca pada partai politik sebagai representasi kelompok perjuangan ideologi yang menentukan kekuasaan, perolehan kursi di DPR oleh partai-partai Islam pada Pemilu 2019 sangat rendah. Bila PKB, PKS, PAN dan PPP bisa disebut milik umat Islam, maka perolehan kursi partai-partai itu hanya 29,7% dari total kursi yang tersedia. Turun 4 kursi dari pemilu 2014, atau berkurang 14,03 persen dari hasil pemilu tahun 1955. Pemilu tahun 1955 itu, total perolehan partai-partai Islam mencapai 43,73 persen. Kekuatan poltik di DPR jelas memperngaruhi perbandingan pejabat negara berdasarkan pemeluk agama. Artinya, untuk saat sekarang, diduga (sekali lagi karena belum ada data) jumlah pejabat Islam yang menduduki jabatan penting negara berkurang sejalan melemahnya kekuatan mereka di parlemen. Secara statistik, persentase umat Islam di DPR sebagai lembaga pertarungan ideologi, mungkin saja masih unggul. Tetapi persoalannya adalah, tokoh-tokoh Islam yang berasal dari partai-partai sekuler sudah memiliki beban ideologis partainya sendiri. Cilakanya, pada banyak hal, ideologi yang diemban partai sekuler itu berseberangan dengan Islam. Nada ini tentu saja seirama dengan pejabat-pejabat penting negara, terutama yang pengangkatannya kuat dipengaruhi kekuatan politik. Setidaknya, ditinjau dari aspek ideologis, kualitas keislaman mereka bisa dibilang lemah. Bukan saja lemah dibandingkan dengan nilai Islam ideal, tetapi juga lemah bila dibanding pendukung ideolog selain Islam. Sementara itu, partai-partai Islam pun kurang teguh berpegang pada ideologinya. Pertimbangan praktis-pragmatis sering lebih mengedepan dari pada pertimbangan ideologis. Salah satu pertimbangan praktis-pragmatis itu adalah demi “menyelamatkan” partai dari sasaran tembak. Artinya, partai partai Islam lebih mengutamakan wadah (partai) dari pada perjuangan ideologinya. Akhirnya, partai-partai Islam kehilangan militansinya sekaligus wibawanya dalam pertarungan politik. Akhirnya, keberadaan partai-partai Islam tak lebih sebagai pelengkap demokrasi. Karena itu masuk akal jika kemudian ada yang memimpikan lahirnya Partai Islam yang Ideologis. Sebuah partai massa kader yang benar-benar dilandaskan pada prinsip-prinsip Islam serta berjuang menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan diri orang per orang, keluarga, masyarakat dan berbangsa. Partai ini diharapkan tampil sebagai gerakan perlawanan terhadap ideologi yang bertentangan dengan Islam. Akankah mimpi ini bisa terwujud ? Waktulah yang bisa menjawabnya. Namun harus pula disadari bahwa sejumlah persoalan internal umat Islam masih menjadi kendala. Jumlah umat Islam yang begitu besar di Indonesia, ternyata minim dalam sumber daya untuk membangun partai Islam Ideologis. Kembali berkaca pada Pemilu 2019, dengan berpatokan pada persentase penduduk Muslim Indonesia yang 86% (data ini juga masih simpang siur antara 85% sampai dengan 87%), berarti ada lebih dari 56% dari 86% lebih umat islam memilih partai sekuler. Ini kenyataan yang bisa terbaca hari ini. Yang manarik, bahwa yang bersemangat untuk mendirikan partai Islam ideologis adalah mereka yang bukan dari latar belakang pendidikan agama Islam. Atau, kebanyakan malah kurang terdidik secara Islam. Mereka yang dibesarkan di lingkungan pendidikan Islam (atau boleh disebut ulama) cendrung pasip. Menunggu atau malah tak ingin terlibat sama sekali soal perjuangan politik. Pertanyaaannya adalah, bagaimana kualitas ideologi Islam yang diemban partai Islam Ideologis nantinya? Sebagai bandingan, para petarung partai-partai sekuler (terutama sosialis dan kumonis) –yang menjadi lawan tanding partai Islam Ideologis, mengunyah habis dan berpegang teguh pada kitab dasar ideologi mereka seperti Das Capital-nya Marx, Manifesto Komunis dan secara konsisten pula membangun kerangka berfikir seperti Madilog-nya Tan Malaka. Ini tentu saja, sangat mengakhawatirkan. Para petarung ideologis Islam maju ke gelanggang dengan minim penguasaan terhadap Kitab Pedomannya (alqur’an dan hadits, sebagai sumber nilai yang akan diperjuangkan). Pepatah Arab mengatakan “teko yang kosong tidak mungkin mengisi gelas”. Karenanya, para petarung partai Islam Ideologis yang kosong dari nilai-nilai qu’an dan sunnah, tidak mungkin akan mengalahkan (mengisi ) lawan. Malah sebaliknya, akan tersisi (larut) dengan ideologi lawan. Maka, kelahiran Partai Islam Ideologis hanya akan menambah bilangan partai saja. Mungkin akan ada yang membantah pandangan ini. Tetapi Muahmmad Ghazali dalam bukunya Islam, Arab dan Yahudi Zionis yang terbit di awal 1980-an telah menguraikan panjang lebar tentang bukti kekalahan negara-negara Arab dalam perang Arab-Israel yang beruntun sejak 1948-1967. Inti soalnya adalah, bahwa Arab turun ke gelanggang dengan semangat nasionalisme Arab. Bukan semangat nilai Islam yang dibawa arab ketika melawan Israel. Sementara Israel turun dengan keyakinan bahwa mereka sedang menjalankan missi suci agama merebut tanah yang diberkati. Tanah yang dijanjikan Tuhan untuk mereka. Ada sebahagian yang berkeyakinan, bahwa Islam dapat menang dan mencapai kejayaanannya tanpa harus mengisi diri dengan Al-qur’an dan sunnah. Mereka begitu percaya diri dengan teori-teori yang dibangun berdasar rasionalitas. Dalam banyak hal, nilai Islam harus disembunyikan dalam rangka berjuang menegakkan Islam. Lebih dari itu, mereka bahkan memandang ulama sebagai orang yang kurang punya kemampuan politik (untuk menghindari kata Sufahaau dalam QS 2: 13). Oleh karena itu, sering sekali parta-partai Isam menjadikan Ulama hanya sebagai pemanis, sebagai pajangan supaya partai terlihat Islami dan indah dipandang mata. Namun ulamanya tidak diberi peran yang menentukan. Fenomena inilah yang telah dilukiskan oleh Abul A’la Maududi dalam bukunya Penjajahan Peradaban (1986). Para sarjana Islam, kata Maududi, bersemangat membangun kembali kejayaan Islam. Tetapi dengan metode dan pemikiran rasionalitas yang dibangun oleh musuh-musuh Islam. Ini sama saja cerita bohong. Para sarjana ini, menurut Maududi, sesungguhnya tak lebih dari perpanjangan tangan para penjajah untuk melanggengkan penjajahan peradaban di dunia Islam. Fenomena menjadikan ulama hanya sebagai pajangan, boleh jadi menjadi salah satu alasan mengapa banyak ulama yang kemudian enggan untuk terlibat dalam urusan partai. Memang, sangatlah tak menyenangkan bila orang yang diberi predikat “warisatul anbiayai” ditempatkan di pinggiran oleh orang-orang yang seharusnya mendapat pencerahan nilai-nilai Islam. Sikap ini pernah juga terjadi pada Masyumi setelah Kongres 1949, yang mendapat kritik keras dari Nahdatul Ulama dan A. Hasan Persis. Sementara sebagian ulama lebih suka mengalah untuk menghindari konflik. Menjaga hati agar tetap ikhlas. Menghindari tuduhan “punya ambisi” ingin jabatan. Padahal, konflik itu sendiri adalah bagian dari pertarungan menegakkan kebenaran. Mengalah karena menghindari konflik dengan kebathilan pada hakekatnya membiarkan kebathilan terus berlangsung dan menumbuhkan konflik-konflik lanjutan. Dalam konteks bernegara misalnya, kita lihat peristiwa-peristiwa ini. Sehari sesudah merdeka, Piagam Jakarta yang telah digodok berhari-hari dan disahkan oleh BPUPK untuk dijadikan falsafah negara, dirubah dalam hitungan beberapa menit di luar sidang pada tanggal 18 Agustus 1945. Tokoh-tokoh Islam mengalah, tidak ngotot, konon “demi menjagja persatuan” karena ada ancaman dari Indonesia bagian Timur yang tidak akan ikut dalam republik jika Piagam Jakarta tidak diubah. Hilanglah kewajiban negara untuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rasakanlah dampaknya kini. Ketika Soekarno dan Hatta “menyerah” serta Jogja sebagai ibu kota Indonesia dikuasai sekutu, Syafruddin Prawiranegara memimpin Republik Indonesia dari pengasingan. Tokoh Islam sekaligus tokoh Mayumi ini menjadi Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia menyelamatkan eksistensi republik dari agresi meliter maupun diplomasi internasional. Namun setelah Soekarno dibebaskan, jabatan Presiden itu diserahkan lagi kepada orang yang sudah menyerah. Mungkin takut dikata sebagai punya ambisi jabatan. Masih banyak catatan “keikhlasan” (bisa disebut kelemahan) masa lalu yang membuat nasib umat sekarang seperti ini. Andaikan dua hal itu, soal Piagam Jakarta dan PDRI, waktu itu kita ngotot, mungkin sejarah repuiblik ini akan sangat berbeda. Sebagai bandingan, cerita tentang respon utusan Taliban, Gulbuddin Hekmatiyar atau Rasul Sayaf? terhadap nasehat Anwar Haryono ketika mereka berkunjung ke Markas Dewan Dakwah di Jalan Kramat Raya 45 pertengan 1990-an. Anwar Haryono menasehatkan para Taliban menerima proposal rekonsiliasi di bawah Presiden Rabbani untuk mengakhir konflik, dan demi persatuan rakyat Afghanistan. Yang penting merdeka dulu. Rabbani adalah Presiden Afghanistan dukungan Amerika Serikat. Utusan Taliban itu merespon lebih kurang begini, “kami tidak ingin mengulangi pengalaman Indonesia tentang Piagam Jakarta”. Maka, kita saksikan, mereka terus berjuang dan akhirnya menang dengan Islamnya. Amerika pun menyerah kepada para pejuang Taliban. Kita harus merubah sikap mental bila ingin mewujudkan mimpi Partai Islam Ideologis. Ulama harus betul diposisikan sebagai pemimpin dan panduan. Nilai-nilai Islam (argumentasi berdasar nash-nash alqur’an dan sunnah) senantiasa menjadi budaya dan landasan setiap aktivitas. Sikap mental petarung, termasuk merebut jabatan dalam rangka menegakkan yang haq untuk mewujudkan kemaslahatan. Menghindari jabatan itu jatuh kepada orang yang kita khawatirkan kemaslahatannya, harus menjadi karakter. Itulah militansi. Hadits tentang tidak dibolehkan meminta jabatan harus dipahami secara benar dengan membandingkannya dengan sejumlah hadits lain, diantaranya hadis dari Usman bin Abil ketika ia meminta kepada Rasul, “jadikanlah aku sebagai pemimpin kaumku”. Nabi mengabukan dengan menjawab, “kamu adalah pemimpin mereka (HR Ahmad no. 16270). Atau dengan kisah Nabi Yusuf yang minta jabatan, dengan diangkat menjadi bendaharawan negara (QS 12:55). Pemahaman saya, hadits-hadits ini akan mengarahkan pada berkesimpulan bahwa jabatan harus diberikan kepada yang amanah dan berkopetensi. Penulis adalah Sekjen Masyumi Reborn.

Butir- Butir P4, Cerita untuk Anak dan Cucu -1

By Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta, FNN - Selasa (05/01). Strategic Assessment : “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (Pasal 1, Tap MPR No.XVIII/MPR/1998). Masa pandemi Covid-19 membuat anak-anak belajar secara virtual. Implikasinya, mereka banyak bergaul dengan internet. Anak-anak menjadi luas wawasannya dan cerdas. Banyak materi yang tidak diajarkan oleh guru mereka ketahui, baik berita-berita di dunia maya maupun televisi. Orang tua dan eyang-eyang, banyak waktu ketemu anak dan cucu, bercerita macam-macam. Suatu saat, cucu kelas satu SMP bertanya. “Eyang,…. sekarang kok ada sikap radikal, intoleran dan tindakan semena-mena. Radikal dan intoleran itu kan jelek, ya Eyang. Eyang kakung : “Iya. Jelek banget. Mas Abie tahu dari mana? Jangan ditiru ya”. Cucu, Abie Putro: “Baca di internet. Seperti tidak ada dan tidak dihargainya Hak Azasi Manusia ya Eyang. Tindakan menyiksa dan membunuh seenaknya. KKN merajalela. Padahal, katanya kita punya Pancasila yang disarikan dari budi luhur bangsa? Tapi kok begini? Gimana nih Eyang?” Suka tidak suka, pertanyaan inilah yang mendorong saya menulis artikel ini. Artikel pertama di tahun 2021. Cerita untuk anak dan cucu, generasi yang buta masa lalu. Tentu saya akan cerita sejarah masa lalu. Cerita bagaimana PKI ingin mengganti Pancasila dengan komunisme. Pemberontakan PKI Madiun 1948 dan G.30.S/PKI 1965 bukti yang berbicara. Orde Baru (Orba) berusaha agar Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan Dasar Negara Republik Indonesia bisa dihayati dan diamalkan untuk menjaga kelestarian dan keampuhannya. Di sisi lain mencegah ideologi lain meracuni pikiran rakyat Indonesia. Ideologi yang sengaja disusupkan ke Indonesia oleh asing, atau nilai-nilai asing yang dibawa orang kita yang belajar atau tinggal lama di Eropa, Amerika, Asia, Australia, Timur Tengah dll. Maka diterbitkanlah Tap MPR tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), sebagai penuntun dan pegangan hidup dalam bermasyarakat dan bernegara bagi setiap WNI, penyelenggara Negara, lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan. Satu hal yang penting, P-4 ini bukan tafsir Pancasila dan juga tidak bermaksud menafsirkan Pancasila. ‘Strategic assessment’ di atas tidak bermaksud memakai Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 yang sudah memiliki sifat einmalig (final), dan telah dicabut serta selesai dilaksanakan sebagai dasar. Saya hanya ingin bilang kepada anak-anak dan cucu-cucu saya, bahwa ketika mencabut Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang P-4, kaum reformis juga menegaskan bahwa: a. Pancasila sebagai Dasar Negara. b. Pancasila yang dimaksud ada di dalam Pembukaan UUD 1945. c. Pancasila harus dilaksanakan secara konsisten dalam bernegara. Hari gini ngomong Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) emang terasa aneh. Bagaimana tidak? Barangnya sudah dicabut, dan materi muatannya udah dinyatakan tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara, tetapi masih berani ngomongin. Apa nggak takut mati dicap orang Orba tulen? Memang kalau ngomong P-4, jika ketemu generasi yang sejak awal menentang, pasti adu argumentasi dan bikin kedua belah pihak kupingnya panas. Lain hal, ketemu generasi yang hidupnya bisa memahami dan mengamalkan hasil penataran P-4 atau dari belajar sendiri, tentu akan membahagiakan, nostalgia yang manis. Persoalan lain jika ketemu generasi yang lahir tahun 1998 saat P-4 dicabut, berarti saat ini usia 22 tahun atau mahasiswa. Lahir setelah tahun 1998 atau saat dicabut masih orok atau anak-anak, mereka pasti buta tentang P-4. Sebab sekolah dan media tidak membahas, dan buku pelajaran miskin materi Pancasila atau P-4. Maka sangat mungkin terjadi adanya pertanyaan seperti cucu saya di atas. Karena P-4 secara politis sudah dicabut, maka 36 (tiga puluh enam) atau 45 (empat puluh lima) butir P-4 untuk saat ini tidak mungkin disosialisasikan lagi sebagai P-4. Namun, jika anak-anak dan cucu-cucuku bingung mencari pegangan hidup, eyang akan nunjukin; tuh, baca saja ketiga puluh enam atau keempat puluh lima butir P-4. Eyang tidak akan bilang, dan kalian juga tidak perlu bilang sedang membaca dan mempelajari butir-butir pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila. Sebab P-4 itu sudah dicabut. Eyang hanya bilang; jika kamu butuh pegangan hidup agar hidupmu tenang dan pengabdianmu kepada bangsa dan negara lurus, bacalah butir-butir tersebut sebagai ‘petuah’ atau ‘tuntunan’ dan laksanakan. Eyang berpendapat, dalam bahasa Jawanya, butir-butir itu sebagai “Pitutur kanggo lakuning urip” . Dalam bahasa Indonesia “Petuah untuk jalannya hidup”. Kalian mau nambahi sesuai dengan norma budaya yang hidup di masyarakat dan belum tercantum di dalam butir-butir tersebut, ya tidak masalah. Silakan saja. Bila anak-anak dan cucu-cucuku paham dan melaksanakannya, apakah nantinya sebagai pejabat atau bukan, niscaya kalian akan menjadi sosok yang berperilaku baik. Jika kalian menjadi pejabat, tentu tidak akan KKN karena kalian memegang kejujuran dan keadilan. Kalian menjadi orang yang tidak sombong dan tidak semena-mena walau sedang berkuasa. Mengamalkan pitutur tersebut, kalian akan menghormati dan saling mencintai sesama manusia tanpa memandang status sosial. Kalian akan jauh dari perilaku kejam, sadis, seenaknya menyiksa, membunuh, radikal dan intoleran. Kalian akan menyukai segala sesuatu untuk dikomunikasikan dan dimusyawarahkan demi persatuan. Anak-anakku dan cucu-cucuku, bila ingin tahu seperti apa ‘pitutur’ tersebut, kalian bisa baca di artikel lanjutan : “Butir-Butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila; Cerita Untuk Anak dan Cucuku ke-2”. Selamat membaca, berkontemplasi, berpikir, bekerja dan berkarya untuk bangsa dan negara. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan rahmat dan hidayah kepada kalian. Insya Allah, Aamiin. [Bersambung] Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007

Ideologi dan Doktrin Komunisme Menuju Tirani

by Anthony Budiawan Jakarta FNN - Sabtu (03/10). Distribusi pendapatan dan kekayaan tidak pernah ‘adil’. Masyarakat terbagi dalam kelompok kaya yang jumlahnya sedikit dan kelompok miskin yang jumlahnya banyak. Kedua kelompok ini rawan konflik. Menurut Aristoteles (384 – 322 BC), kemiskinan bahkan menjadi salah satu faktor pemicu revolusi. Sejarah menunjukkan terjadi banyak konflik sosial atau perjuangan kelas sejak zaman kuno. Antara lain, Conflict of the Orders pada zaman Romawi Kuno (500 BC), Peasants’ Revolt di Inggris (1381), Jacquire di Perancis Utara (1358), German Peasants’ War (1524), Canut Revolt Perancis (1831), dan masih panjang daftarnya. Revolusi Industri yang berkembang di Eropa sekitar tahun 1700-an membuat kesenjangan sosial semakin meningkat. Di tengah akselerasi revolusi industri, Adam Smith mempublikasikan karyanya yang sangat fenomenal, The Wealth of Nations (1776). Yang dipercaya menjadi landasan pemikiran sistem Kapitalisme. Tidak pelak, Karl Marx dan pengikutnya menuding kapitalisme sebagai penyebab utama kesenjangan sosial meningkat tajam. Kaum borjuis (kapitalis) dituding eksploitasi kaum buruh (proletariat) untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Membuat class conflict dalam sistem kapitalisme tidak terelakkan. Menurut Marx, kaum buruh lambat laun akan melawan ketidakadilan ini, dan memenangkan perjuangannya. Ketika itu terjadi maka tatanan masyarakat di dunia hanya terdiri dari satu (strata) kelas saja. Ini yang dimaksud oleh Marx dengan komunisme yang dituangkan dalam karyanya The Communist Manifesto (1848). Marx percaya untuk mencapai masyarakat tanpa kelas, diperlukan revolusi. Melalui pemaksaan yang difasilitasi negara. Semua penghalang harus disingkirkan. Termasuk rekan yang tidak sejalan, rekan yang bisa menghambat revolusi. Di Rusia, partai buruh sosial-demokrat terpecah menjadi dua, Bolsheviks (mayoritas) dan Mensheviks (minoritas). Karena perbedaan pendapat bagaimana cara mencapai tujuan, Bolsheviks di bawah pimpinan Vladimir Lenin tidak segan-segan menyingkirkan rekannya (Mensheviks) di partai sosialis. Melalui revolusi Bolsheviks, Lenin berhasil merebut kekuasaan di Rusia. Membentuk negara sosialis pertama di dunia dengan partai tunggal, Partai Komunis Uni Soviet (CPSU). Uni Soviet kemudian berhasil membuat sebagian besar Eropa Timur menjadi negara komunis, dengan ideologi Marxisme-Leninisme. Negara komunis umumnya opresif. Tidak segan-segan menyingkirkan pihak yang mencoba menghalangi terwujudnya tatanan masyarakat dunia tanpa kelas, yaitu masyarakat komunis. Pengikut paham komunisme di belahan dunia lain mengikuti jalan revolusi Uni Soviet. Partai Komunis Tiongkok berhasil mendirikan negara komunis Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 1949. Kemudian menyusul negara-negara lainnya, seperti Kamboja, Cuba, Laos, Vietnam, Korea Utara. Sebagai anti tesis kapitalisme, komunisme ingin mewujudkan negara sosialis dengan pemerataan pendapatan, sehingga menciptakan masyarakat tanpa kelas. Sebagai konsekuensi, sistem ekonomi komunisme tidak mengenal private property sehingga faktor produksi dan distribusi dikuasai negara. Dikendalikan melalui central planning atau juga dikenal command planning. Tujuan komunisme tersebut hanya bisa berhasil melalui pemaksaaan dan kekuasaan mutlak yang akhirnya menuju tirani. Pihak yang tidak setuju akan disingkirkan secara permanen. Tidak ada demokrasi. Tidak ada perbedaan pendapat. Sebagai contoh, konversi kepemilikan lahan pertanian menjadi milik kolektif (negara) di berbagai negara komunis harus dilakukan melalui tangan besi, yang mengorbankan puluhan juta jiwa rakyat karena menentang. Sejarah menunjukkan ideologi komunisme gagal membangun ekonomi, dan gagal mencapai negara sosialis yang sejahtera tanpa kelas. Ekonomi Uni Soviet dan RRT terpuruk. RRT melakukan reformasi ekonomi pada 1978 dengan mengadopsi sistem kapitalisme pasar. Uni Soviet runtuh. Rusia meninggalkan sistem ekonomi komunisme, dan juga mengadopsi sistem kapitalisme pasar. Alhasil, meskipun masih mempertahankan sistem politik satu partai komunis, kesenjangan sosial di kedua negara tersebut meningkatkan tajam, menjadi salah satu yang terburuk di dunia. Artinya, ideologi komunisme gagal total menciptakan masyarakat tanpa kelas. Namun, partai komunis tetap dipertahankan sebagai penguasa tunggal. Bukan lagi untuk kepentingan masyarakat, tapi demi kepentingan pemerintahan tirani. Tirani komunisme sangat kejam, no merci. Sekali pemerintahan komunis berkuasa, rakyat tidak berdaya selamanya. Negara komunis hanya bisa diubah dari atas, dari pemimpin komunis tersebut. Seperti Gorbachev yang menyadari sistem komunisme telah gagal dan membubarkan Uni Soviet. Artinya, rakyat sendiri tidak bisa lepas dari cengkeraman rezim komunis. Rakyat Korea Utara tidak akan mampu membebaskan dirinya dari rezim komunis. Begitu juga rakyat Cuba. Dan rakyat negara komunis lainnya. Indonesia harus bersyukur berhasil menggagalkan G30S/PKI 1965. Dan juga Pemberontakan PKI 1948. Namun, apakah Indonesia bisa terbebas dari komunisme selamanya? Akhir-akhir ini sebagian masyarakat merasa gelisah. Merasa hukum tajam ke mereka yang berbeda pendapat. Yang mana menunjukkan kadar demokrasi menyusut. Dan kadar tirani meningkat. Sedangkan checks and balances tidak berjalan sebagaimana mestinya. Eksekutif, legislatif dan yudikatif mengerucut menuju ke satu pemikiran yang sama. Menuju satu-kesatuan. Pengesahan PERPPU Corona yang memuat imunitas hukum secara aklamasi (kecuali satu partai politik) hanya menunjukkan fenomena gunung es. Semoga Indonesia selalu dalam waspada penuh. Sistem ekonomi komunisme memang terbukti gagal, tetapi tirani dan doktrin komunisme masih menghantui dunia. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)