Pengkhianatan Kaum Intelektual

Oleh: Abdurrahman Syebubakar

Ketua Dewan Pengurus IDe

Jakarta, FNN - Jatuh bangungnya sebuah bangsa, bahkan peradaban manusia, tidak lepas dari peran dan tanggungjawab kaum intelektual, terutama dalam hubungannya dengan kekuasaan. Seperti terungkap dalam riset sejarah komparatif oleh Ahmet T. Kuru (2019), dari San Diego State University, bahwa “aliansi ulama dan intelektual dengan negara” menjadi faktor utama keterbelakangan dunia Islam sejak abad ke-12.

Sebaliknya, menurut Kuru, Eropa Barat mencatat kemajuan pesat dalam berbagai bidang hingga sekarang, karena kaum intelektual di Benua Biru ini mampu menjaga jarak dari otoritas politik. Padahal, sebelum abad ke-12, ia tertinggal jauh dari dunia Islam yang identik dengan ulama, intelektual progresif dan filsuf besar. Sebut saja, Ibnu Sina, al-Biruni, al-Farabi, al-Kindi, Ibnu Khaytham, Miskawayh, al-Razi, al-Khawarizmi (Algoritmi, juga penemu aljabar dan angka nol), dan masih banyak yang lain.

Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia, Indonesia kini menjadi contoh sempurna dari temuan riset Kuru.

Alih-alih menjadi produsen pengetahuan dan katalis perubahan, kaum terdidik Indonesia jutsru berperan sebagai corong kekuasaan dan modal. Meminjam tesis Noam Chomsky (1967, 2016) tentang tanggung jawab intelektual, kaum terdidik ini berada di barisan intelektual konformis, atau intelektual tradisional versi Antonio Gramsci (1971). Intelektual antek penguasa yang mengabaikan, bahkan merasionalisasi, kejahatan negara.

Kiprah mereka, jauh dari nubuah Julien Benda, dalam karya klasiknya “The Treason of the Intellectuals” atau Edward Said dalam “Representations of the Intellectual” (1996), bahwa kaum intelektual memiliki sifat altruistik yang senantiasa memburu kebenaran demi kemaslahatan bersama, dan menjadi pencipta bahasa dalam menyampaikan yang benar kepada penguasa, dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan. Dosa terbesar seorang intelektual tidak dilihat dari kesalahannya, tetapi dari ketakutan dan kebohongannya dalam menyampaikan kebenaran.

Jalan ketiga peran intelektual yang ditawarkan mendiang Cornelis Lay, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ilmu politik UGM (Februari 2019), dimana intelektual bisa keluar masuk kekuasaan berdasarkan penilaian matang dan menyeluruh, jauh panggang dari api. Tawaran ini memiliki pijakan teoritik yang lemah, jika tidak dikatakan rapuh, dan berjarak cukup jauh dari realitas.

Faktanya, terlalu banyak kaum intelektual yang terjerat nikmat dan empuknya jabatan hadiah dari penguasa. Entah posisi di pemerintahan, perguruan tinggi, BUMN, atau jabatan penting di perusahan-perusahan swasta penyokong kekuasaan. Seketika atau lambat-laun para intelektual ini berputar haluan, dari pola pikir dan sikap kritis, menuju fatalisme dan sikap permisif (serba memaklumi). Bahkan, berdiri di barisan terdepan membela semua kebijakan negara, dan kemudian sepenuhnya menjadi antek kekuasaan. Bagi mereka, “the king can do no wrong, no matter what!”

Pada saat yang sama, tidak sedikit kaum intelektual di lingkungan perguruan tinggi, lembaga think-tank/riset dan kelompok masyarakat sipil, yang belum mendapat jatah jabatan atau uang, berlomba lomba memuji penguasa dan membela agenda kekuasaannya. Tidak peduli apakah agenda kekuasaan masuk akal atau tidak, merugikan rakyat banyak atau sebaliknya.

Sebagian bertindak sebagai pollster atau industrialis survei, merangkap buzzerrp, yang dibayar dari uang rakyat atau dimodali para taipan. Dengan kata lain, kaum intelektual ini bertindak sebagai antek penguasa, bahkan ketika mereka berada di luar status quo kekuasaan.

Sementara itu, segelintir intelektual dalam pusaran kekuasaan, yang tidak mau mengorbankan idealisme politik dan tanggungjawab moralnya demi jabatan, seringkali harus tersingkir dengan sendirinya. Tidak saja disisihkan, terkadang mereka dipersekusi dan dikriminalisasi oleh “kaki tangan” kekuasaan.

Nasib naas mereka tidak jauh dari apa yang dialami oleh sedikit kaum intelektual yang konsisten menjadi manusia merdeka, dan tetap bersuara kritis dari luar kekuasaan, terlepas dari siapapun yang berkuasa. Tipe intelektual ini memainkan peran “intelektual organik”nya Gramsci, atau “intelektual berbasis nilai” ala Chomsky, yang berfungsi sebagai perumus dan artikulator transformasi multidimensi atas panduan cahaya kebenaran dan keadilan.

Dengan absennya “peran organik dan transformatif” kaum intelektual, tak pelak Indonesia didera berbagai masalah yang tak berkesudahan. Disertai stagnasi pembangunan manusia, demokrasi membusuk ditangan pemimpin plastik yang dikelilingi para pialang politik dan pemodal.

Seturut dengan itu, terjadi kemerosotan di hampir semua bidang, mulai dari meluasnya korupsi, kemiskinan dan ketimpangan yang makin dalam, anjloknya tingkat kebahagian, hancurnya tatanan hukum, terkurasnya sumber daya alam dan kerusakan lingkungan, hingga mengentalnya mentalitas feodal dan ketegangan sosial.

Lebih jauh, bangsa Indonesia tidak saja kehilangan jejak untuk kembali ke cita-cita reformasi, jalan yang dipilih atas pengorbanan mahasiswa dan segenap elemen bangsa yang menubuatkan demokratisasi, supremasi hukum, dan pemberantasan korupsi. Tetapi, kompas negara ini telah jauh melenceng dari tujuan bernegara untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial.

Untuk itu, reformulasi hubungan antara intelektual dan negara menjadi kebutuhan mendesak. Hubungan patron-klien dari dua anasir maha penting ini harus digeser menuju pola hubungan yang kritis dalam bingkai demokrasi, yang menjamin independensi and integritas kaum intelektual.

Sebagai benteng nalar dan moral bangsa, dunia perguruan tinggi mesti bebas dari jeratan pragmatisme politik, yang menjual murah gelar kehormatan akademik kepada para elit politik.

Dalam jangka panjang, sistem dan kebijakan pendidikan mengedepankan materi berpikir kritis (critical thinking) dan pembangunan karakter (character building), bukan sekedar mencetak SDM sebagai faktor produksi – subordinat pertumbuhan ekonomi, terlebih menjadi hamba sahaya dari kepentingan relasi antara penguasa dan pengusaha.

Terakhir, perlu digarisbawahi, jebakan subordinasi otoritas politik atas kaum intelektual hanya bisa dieliminir dan dihilangkan jika kaum intelektual sendiri bersama elemen-elemen progresif lainnya (seperti kelompok buruh dan masyarakat sipil), melakukan tekanan. Sebab, kendati raut mukanya beragam di sebarang tempat dan waktu, kekuasaan tidak pernah bisa menyembunyikan naluri dasarnya untuk mensubordinasi yang lain, ungkap Russel seperti dikutip Cornelis Lay.

___________________

Tulisan ini adaptasi dari penggalan tulisan saya Stagnasi Pembangunan Manusia Indonesia dan Pengkhianatan Kaum Intelektual, yang dimuat fnn.co.id pada 2 April 2021.

601

Related Post