Ada Operasi Kontra Intelijen di Balik Kasus Polisi Tembak Polisi
AKHIRNYA Irjen Ferdy Sambo dinonaktifkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dari jabatannya sebagai Kadiv Propam Polri, Senin (18/7/2022). Pada waktu bersamaan pula, keluarga mendiang Brigadir Joshua melaporkan kasus penembakan Joshua ini ke Bareskrim Polri.
Pengacara keluarga Brigadir Yoshua telah melaporkan dugaan pembunuhan ke Bareskrim Polri. Laporan dugaan pembunuhan itu teregister dengan nomor: LP/B/0386/VII/2022/SPKT/BARESKRIM POLRI, tanggal 18 Juli 2022.
Jenderal Listyo Sigit mengatakan Div Propam Polri akan dipimpin Wakapolri Komjen Gatot Eddy. Dia menyebut penonaktifkan dilakukan untuk menjaga transparansi proses pengusutan kasus ini.
“Pada malam hari ini kita putuskan Irjen Pol Ferdy Sambo untuk sementara dinonaktifkan," kata Jenderal Listyo Sigit, Senin (18/7/2022).
Kanal Rocky Gerung Official, Ahad (17/7/2022) mengulas kasus penembakan yang terjadi di Rumah Dinas Kadiv Propam, Jum’at (15/7/2022) dalam dialog antara wartawan senior FNN Hersubeno Arief dengan pengamat politik Rocky Gerung. Berikut petikannya.
Kayaknya penting ngomongin lebih lanjut berkaitan dengan soal privasi dari seseorang, yang saya kira di Indonesia sekarang ini dengan mudah dilanggar begitu saja. Tetapi, satu sisi kalau kita lihat, kita tidak akan menyoroti kasus penembakan di tempat Ferdy Sambo karena hal itu biar tim khusus yang akan menyelidiki.
Tapi saya mengamati justru ini berbahayanya adalah dalam situasi sekarang ini kalau mereka tidak membuka dengan transparan, kredibilitas kepolisian bisa makin berat karena orang sekarang dengan mudah mencari jejak-jejak digital, menunjukkan fakta-fakta dan sebagainya.
Saya misalnya kemarin mengikuti bagaimana pengacara dari Brigadir Joshua yang menunjukkan data yang saya simak sangat sulit untuk disembunyikan.
Ya, akhirnya semua kejadian yang melibatkan kecurigaan itu, orang andalkan pada kesaksian ahli. Tetapi kesaksian ahli membutuhkan bukti dan fakta yang semuanya disimpan di dalam CCTV.
Di ujung cerita semacam ini, orang menganggap memang ada penghilangan barang bukti, lalu orang kaitkan mulai dari Kilometer 50 sampai ke rumah pejabat Polri. Jadi penting sekali untuk mengembalikan kesadaran publik melalui kejujuran informasi dari penegak hukum bahwa CCTV itu tidak mungkin tidak bisa ditemukan.
Jadi bilang saja itu ada yang merusak, tapi kami akan usahakan untuk menemukan kembali dengan menghubungi operator segala macam. Itu melegakan publik sehingga publik merasa bahwa kenapa sistem dipasang hanya untuk mengintai kami rakyat.
Kalau pejabat yang berbuat kejahatan kenapa kita nggak boleh intai juga. Jadi sebetulnya itu intinya. Jadi bagian-bagian ini sebetulnya menjelang Pemilu nanti itu pasti akan banyak CCTV dipasang sebetulnya untuk melihat ini gerakan massa pro siapa ini.
Itu bahayanya kalau the big brother is watching us. Ini sebetulnya intinya. Jadi jurnalis terpaksa musti cari akal, cari jalan lainnya untuk mengintai kejadian-kejadian atau peristiwa yang sengaja disembunyikan.
Kalau jurnalis mengintai itu dan menimbulkan kontroversi kemudian dianggap sebagai provokasi, bukan. Itu justru terjadi karena ruang-ruang inti publik itu dikendalikan oleh the big brother. Itu sebetulnya.
Iya, kemaren saya bicara dengan salah satu dewan pers, ketua bidang pengaduan dan berdayakan etika pers, karena keluarga Ibu Ferdy Sambo konsultasi dengan dewan pers. Saya kira langkah bagus kalau ada bicara-bicara soal pers.
Karena ada media yang sudah mulai melanggar privasi, misalnya menampilkan foto-foto keluarga Pak Ferdy Sambo, terutama anak-anaknya. Saya kira ini kita sepakat tidak boleh dilakukan, tapi satu sisi dewan pers mengingatkan polisi ini agar jangan ditutup-tutupi. Kalau ditutupi kan malah menjadi semakin liar dan itu berbahaya.
Ya, itu pentingnya kita bedakan antara privasi dari ibu itu dan logika dari peristiwa ini. Jadi semakin privasi itu disembunyikan, semakin orang ingin membongkar apa sebetulnya yang privasi. Apa benar itu privasi?
Tetapi, sekali lagi saya tetap berpendirian bahwa lindungi privasi dari Ibu Putri ini lalu proses tuntutan hukum dari keluarga Joshua. Jadi dua hal tersebut sebetulnya yang harus kita peka. Dan kepekaan itu muncul kalau penyidikan itu kita anggap ada permainan dalam penyidikan.
Jadi betul-betul ini ketegangan antara profesionalisme saintifik dari Polri dan asas-asas dari perlindungan korban. Ini intinya. Saya melihat ada dua korban di situ, satu adalah Ibu Putri yang menjadi korban sensasi; yang kedua adalah almarhum Joshua yang jadi korban ketidakpastian.
Keluarga minta kepastian, karena itu menyangkut harga diri dan harga marga bahkan di dalam dalam kultur Batak itu. Satu warga meninggal secara tidak wajar, itu menimbulkan pembicaraan yang akan berkepanjangan. Demikian juga kasus di kamar Ibu Putri. Itu apa yang ada di situ?
Diproteksi dulu sebelum ada fakta-fakta tersebut muncul. Jadi pekerjaan ini memang pekerjaan gampang, tetapi ketelitian itu yang akan menghasilkan kelegaan.
Selama ketelitian itu hanya didasarkan pada sumber yang kita anggap polisi lagi turun citranya karena itu orang nggak percaya keterangan polisi.
Jadi, ya polisi musti bangkitkan kembali kepercayaan publik, baru data-data polisi itu dimengerti oleh publik. Dan itu akan mendudukkan masalah secara proporsional.
Nah, misalnya begini, sekarang ini kalau nggak usah orang yang aktif di media sosial, orang seperti Anda, seperti saya, yang tidak punya akun medsos saja itu terpaan dari media sosial luar biasa melalui Whatsapp. Dan beberapa hari ini kan beredar semacam utas atau threat.... di Twitter.
Tapi kan kita selalu dapat juga kiriman-kiriman itu, namanya opposite, itu dia bisa menggambarkan dengan detil apa sebenarnya peristiwa yang terjadi di balik layar pada keluarga Ferdy Sambo. Soal kebenarannya kita nggak tahu, tapi publik itu memang sangat mempercayai itu. Itu kan bahaya sekali.
Dan saya kira orang sekarang ini cenderung percaya pada akun-akun semacam ini dibandingkan dengan keterangan resmi dari Humas atau dari Kapolres yang ternyata belepotan begitu konstruksinya.
Ya kadangkala kita anggap bahwa ini akun-akun yang kita enggak tahu dikelola oleh siapa. Bisa juga dikelola oleh kaum intelijen, atau justru oleh intelijen melalui aktivitas counter intelijen. Untuk apa? Untuk mancing data. Untuk mancing opini atau macam-macam.
Tapi, tetap intinya kalau masyarakat punya kepercayaan pada presisi maka orang akan cari oposisi. Opposite. Jadi orang nunggu presisinya. Selama presisi belum dipulihkan, kemampuan presisi dari Polri untuk meyakinkan bahwa kami bekerja profesional, maka orang akan cari berita-berita semacam itu, yang isinya pasti sensasi.
Karena setiap orang akan ngarang saja kan? Tapi yang nggak boleh ngarang itu presisinya Polri. Semakin cepat presisinya ditemukan atau presisinya diucapkan, maka orang nggak akan lagi mengakses situs-situs semacam itu. Tetapi, sekali lagi, peristiwa ini kan peristiwa yang seolah-olah peristiwa besar menyangkut para selebritis itu.
Dan, mungkin sekali juga memang di belakang itu ada hal-hal yang bersifat selebritis. Ini soalnya akan panjang. Sama seperti dulu kita lihat beberapa kasus yang menyangkut orang-orang terkenal jadi panjang ceritanya.
Nah, memperpanjang ini justru akan menghilangkan kesempatan kita untuk fokus pada hal-hal yang lebih mendasar, yaitu dapur emak-emak, presidential threshold, kasak-kusuk Pak Jokowi yang masih menginginkan tiga periode, Saudara Ganjar Pranowo yang ternyata tidak bisa dihajar oleh PDIP.
Jadi, soal-soal semacam ini musti kita bikin pertimbangan jangan sampai urusan publik, yaitu masa depan kita dalam politik terutama, hilang jejaknya oleh berita-berita yang ada di dalam kasak-kusuk media massa hari ini tentang Pak Polisi.
Banyak sebenarnya yang mempertanyakan apa pentingnya sebagai kita mengurusi persoalan internal polisi ini. Biarkan ini polisi mengurus atau menyelesaikan persoalan secara internal. Saya kira mungkin kita nggak bisa berpikir semacam itu, karena bagaimanapun ini urusan polisi juga berkaitan dengan kepentingan publik.
Ketika lembaga seperti polisi yang harusnya sangat dipercaya oleh publik, tapi kemudian muncul dis-thrust public, ini menjadi sangat serius, kalau menurut saya.
Justru publik menginginkan polisi ini pulih otoritasnya, pulih integritasnya. Intinya itu. Jadi bukan karena publik seolah-olah cerewet minta kepastian, bukan. Karena publik menganggap jangan sampai hal semacam ini diloloskan kembali sebagai peristiwa yang kemudian ditutup tanpa keterangan. Kan itu yang selalu terjadi.
Jadi tetap harus disiapkan cara supaya polisi itu betul-betul menganggap bahwa dia sedang dikritik untuk perbaikan. Karena dari awal orang sudah merasa: lo kok sudah tiga hari tidak ada beritanya. Lalu mulai orang-orang tertentu di kepolisian yang sudah purnawirawan bikin analisis.
Dan berkembanglah isu itu ke mana-mana. Nah, jaringan analisis ini yang kemudian lebih dianggap oleh pers sebagai justru narasumber utama dan menimbulkan kepastian bahwa kita sebetulnya bisa bongkar kasus ini kok.
Karena banyak orang yang merasa bahwa saya bisa jadi saksi, saya tahu jejak digital yang disembunyikan, saya paham tentang keadaan di sekitar lokasi itu. Tetapi kita tahu Pak Polisi juga paham itu. Yang jadi susah, polisi tentu mulai mencicil alat bukti, mencicil keterangan.
Sementara, publik tidak sabar untuk menunggu itu. Musti ada satu fasilitas yang disediakan Polri dengan cara yang agak moderat mengundang wartawan untuk update terus, sebelum wartawan itu nyari berita di sumber-sumber lain. Kan tugas wartawan untuk mencari berita bukan sekadar dari kepolisian. Kan itu bagian dari jurnalis investigatif.
Misalnya kita lihat tampilnya seorang ketua RT yang kebetulan juga jenderal, jenderal polisi pula, yang lebih keterangan-keterangannya itu membuat kening publik jadi berkenyit. Ada apa ini? Tanda tanya. Kemudian ada wartawan yang dirampas oleh oleh oknum polisi juga video-video siarannya, meskipun kemarin sudah dikembalikan dan polisi minta maaf.
Ada juga pernyataan Pak Mahfud MD sebagai ketua eks official dari Kompolnas, yang mengingatkan Pak Kapolri untuk segera menonaktifkan.
Meski bahasanya tidak dari Pak Mahfud. Pak Mahfud menyatakan “mendengar soal ini”, itu dia menyatakan “jangan sampai lumbungnya terbakar sementara tikusnya, kan sudah tahu Pak Kapolri bagaimana mengejar tikus. Belum lagi Komisi III DPR dari PDIP yang terus mengawal kasus ini dengan serius. Saya kira tidak salah kalau publik mencurigai ada sesuatu di balik ini semua.
Saya mengusulkan, kan Pak Sigit bikin tim yang agak meluas itu, termasuk Komnas HAM. Sangat mungkin kalau Komnas HAM itu kepercayaannya bisa dipulihkan karena Komnas HAM juga dalam kasus Km 50 itu enggak jelas arahnya. Kan Komnas HAM masuk di situ.
Mungkin bagi tugas saja bahwa hal-hal yang menyangkut hak asasi untuk sementara sebelum masuk ke pengadilan, percayakan pada Komnas HAM, supaya Komnas HAM itu punya semacam kedudukan moral yang agak baik. Jadi begitu Komnas HAM mengucapkan sesuatu, mustinya di-backup oleh pers. Karena sekarang pers nggak percaya pada Komnas HAM.
Jadi ini awalnya penguatan kepercayaan publik pada institusi itu. Institusi Komnas HAM, institusi Kompolnas, atau pengamat independen terhadap polisi itu. Jadi harus ada semacam adress pertama dari Pak Sigit bahwa kami Polri melakukan aktivitas yang merupakan tupoksi kami, yaitu riset saintifik terhadap perkara on-site. Selesai satu masalah itu. (Ida/mth)