Antara Sri Mulyani dan Sri Lanka Hanya Perlu Satu Langkah
KONDISI ekonomi Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Sri Lanka. Apalagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah memberi sinyal terkait dengan keadaan ekonomi Indonesia.
Atas krisis ekonomi dan politik berkepanjangan, akhirnya Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa mengundurkan diri, kemudian Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe dilantik sebagai Plt Presiden atau pelaksana tugas presiden pada Jumat (15/7/2022).
Wickremesinghe menggantikan Gotabaya Rajapaksa, Presiden Sri Lanka yang melarikan diri ke Maladewa kemudian Singapura. Sama seperti Gotabaya, Ranil Wickremesinghe juga didesak mundur oleh massa atas krisis Sri Lanka bangkrut.
Akankah krisis Sri Lanka itu bisa merembet ke Indonesia? Wartawan senior FNN Hersubeno Arief membahasnya bersama pengamat politik Rocky Gerung dalam Kanal Rocky Gerung Official, Sabtu (16/7/2022). Petikannya:
Dalam konten sebelumnya Anda membahas soal bahwa secara semantik Sri Mulyani dan Sri Lanka itu berdekatan. Tetapi, saya kira meskipun Anda bercanda, saya perhatikan Anda ini candanya nggak sekedar bercanda, ini ada soal yang serius saya kira.
Iya, kan dalam sejarah ada yang disebut continous effect atau efek rumah kartu. Ya, betul dalam sejarah perubahan politik selalu disebut efek domino atau efek rumah kartu atau continous effect bahwa kesulitan di satu wilayah itu selalu berbekas pada ingatan publik di wilayah yang dekat.
Sehingga, sebetulnya walaupun Indonesia mengatakan bahwa kami lebih bagus dari Sri Lanka, iya tapi kondisi-kondisi yang lain itu memang mirip dengan Sri Langka.
Rajapaksa itu kan stabil betul politiknya karena dukungan mayoritas. Dia bahkan lebih mayoritas dari Jokowi. Toh, di ujungnya seluruh rakyat itu akhirnya minta dia turun dan bukan cuma dia yang diminta turun, orang yang harusnya menggantikannya pun diminta untuk turun.
Jadi, satu paket politik itu ganti seluruh rezim. Itu sebetulnya yang saya membayangkan menteri-menteri apa nggak merasa bakal di-Sri Lanka-kan. Demikian juga Pak Jokowi. Sangat mungkin itu Rajapaksa itu ketemu dengan Pak Jokowi (di) Singapura. Bisa jadi kan?
Jadi hal-hal yang semacam ini tetap kita bayangkan hal yang paling buruk, karena ada bara sosial yang betul-betul ditahan-tahan dalam masyarakat kita. Bayangkan misalnya seluruh kebijakan Jokowi itu berantakan.
Apa yang disebut sebagai proyek harapan itu enggak ada. Indeks demokrasi memburuk, nanti ada disebut bahwa “saya baca pada kepemimpinan Pak Jokowi orang miskin berkurang”.
Oh iya, pasti orang miskin berkurang. Tetapi disparitasnya tinggi. Itu intinya kan? Apalagi dianggap bahwa Bapak Jokowi berhasil turunkan orang miskin. Kan musti dibikin perbandingan dengan presiden sebelumnya.
SBY mengurangi orang miskin 20%; Jokowi mengurangi orang miskin 20%; Itu bagaimana logikanya? Jadi tetap kemiskinan itu ada dan bukan sekedar di dalam perbandingan tapi secara riil, disparitas itu yang lebih penting untuk dihitung.
Bukan sekadar jumlah orang miskin. Jumlah orang miskin banyak juga orang miskin yang hanya dipelihara oleh keluarganya. Tetapi disparitas naik terus. Jadi, ini yang sebetulnya paralel dengan apa yang terjadi di Sri Lanka.
Kenaikan harga-harga, hutang yang akhirnya tidak bisa dibayar. Itu penyebab utamanya. Tapi, bagi rakyat Sri Lanka, yang dilihat adalah kebusukan politik. Dan kebusukan politik itu juga sama dengan yang di kita. Soal minyak goreng itu kebusukan politik.
Soal macam-macam yang kita sering bahas bahwa kita punya kelebihan uang tapi nggak mau dibagi pada rakyat. Padahal, itu hasil dari bumi Indonesia, dari bumi kita yang diekspor. Tapi itu nggak kembali ke kita kan, ke rakyat. Jadi, paralel memang keadaan Sri Lanka dan keadaan di Sri Mulyani. Eh, sorry.
Mungkin ini perlu saya update ya mengapa kita bicarakan ini, karena situasi pemburukan itu ternyata tidak hanya terjadi di kawasan Asia, karena kalau Sri Lanka ini kan Asia Selatan, kita Asia Tenggara berdekatan gitu.
Tapi kan kita membaca krisis-krisis politik pemerintahan di nun jauh sana di Amerika, di Benua Amerika ya. Maksud saya ada Argentina yang menteri keuangannya mundur, kemudian kemarin Boris Johnson yang ledek-ledekan dengan Putin soal G20, ternyata dia lebih duluan mundur sehingga dipastikan dia tidak akan muncul di G20.
Kemudian Mario Draghi dari Italia yang kemarin bilang bahwa dia dapat info dari Pak Jokowi bahwa Pak Putin tidak akan datang. Eh ternyata sekarang malah Mario Draghi sendiri tidak akan datang karena pemerintahannya juga jatuh.
Nah, sekarang Rajapaksa itu kenapa menjadi semakin mendekat ke Indonesia karena dia terbang lari ke Singapura, mencari suaka di Singapura. Katanya begitu.
Jadi ini menurut saya memang semacam warning saja bagi pemerintahan karena efek domino yang sudah semacam hukum besi dalam sejarah.
Iya betul. Dan, yang lebih bahaya, ada psikologi publik. Jadi publik justru menunggu hal yang paralel itu terjadi di Indonesia. Lain kalau betul-betul pemerintah punya selain social safety net, juga ada semacam psychological safety net.
Jadi, daya tahan psikoligis kita hilang sehingga seperti kasus polisi tembak polisi tiba-tiba menjadi viral dan semua orang menganggap bahwa ini masih ditransparankan.
Nah, hal yang sama juga bisa pindah pada soal ekonomi itu. Semuanya musti transparan. Mana yang disebut sebagai oligarki? Mana janji Pak Jokowi? Dia akan memimpin sendiri upaya untuk menjaga stabilitas ekonomi, terutama pangan dan energi. Itu nggak terjadi itu.
Jadi, sebetulnya kalau kita melihat statistik makronya itu, ya di atas kertas masih rezim ini mengatakan, ya kami nggak seburuk Sri Lanka. Ya memang, tapi psikologinya sebetulnya sudah ketakutan.
Tidak seburuk, artinya memang buruk juga tuh. Tinggal dua tiga langkah yang ngaco itu bisa jadi lebih buruk dari Sri Lanka. Jadi benar, continous effect itu, efek yang menular itu, terutama akan terjadi karena psikologi.
Peristiwa ‘98 tersebut sebetulnya juga karena psikologi kan? Hal yang memang sebetulnya masih bisa diatasi, tapi karena publik sudah merasa wah Indonesia bahaya ini, ini bangsa yang berbahaya, pemerintah nggak bisa lagi dipercaya. Demikian juga 2008 itu, itu yang selalu disebut banjir psikologi manusia itu mendahului realitasnya.
Jadi, kalau dibilang ekonomi memburuk itu secara psikologis manusia atau rakyat itu berupaya untuk memahami. Tapi pemahaman dia artinya nggak ada lagi harapan. Jadi sekali lagi, kalau sinyal harapan itu nggak ada maka pemburukan ekonomi itu justru akan lebih cepat dari perkiraan para ekonom, karena ini soal psikologi sosial.
Saya kira ini Bu Sri Mulyani harus masuk ke wilayah itu, tidak lagi bicara soal angka-angka. Karena angka-angka itu sebenarnya kemudian bisa jadi kalau dari psikologi publik sudah berbeda menangkapnya itu yang ditangkap juga berbeda maksudnya. Jangan-jangan publik sekarang sudah memakai ilmu memahami Pak Jokowi untuk memahami Ibu Sri Mulyani. Jadi kalau Bu Sri Mulyani menyatakan aman, berarti itu tidak aman.
Saya kira semuanya ini kesulitan untuk menerangkan keadaan, terutama dia musti membayangkan kebijakan Washington, World Bank, dan segala macam itu tetap diperlukan untuk menjadi sinyal kebijakan yang akan diambil. Kan enggak pernah Indonesia itu keluar dari semacam sinyal World Bank, IMF, ya itu kesulitannya.
Tetapi, sinyal Sri Mulyani justru menerangkan bahwa kita memang sudah buruk, bersiap-siap untuk inflasi, bersiap-siap untuk menghadapi hal yang mungkin terjadi seperti diserang. Dan itu sudah diucapkan Sri Mulyani. Dan kejujuran Sri Mulyani itu tidak diimbangi dengan kematangan etisnya.
Kalau dia secara etis merasa bahwa kita harus menghadapi seperti Sri Lanka itu artinya dia gagal untuk mempertahankan kebijakan fiskal yang masuk akal. Dia justru musti ikuti perdana menteri Inggris, PM Italia, atau rekannya di Argentina yang mengundurkan diri.
Jadi, Ibu Sri Mulyani sebaiknya mengundurkan diri supaya orang merasa oke Sri Mulyani itu tahu keadaan. Karena itu dia perlihatkan pada publik bahwa memang Indonesia ada dalam kerapuhan, supaya adat semangat baru untuk memperbaiki kebijakan.
Kenapa takut untuk mengatakan saya gagal, selesai kan? Dan Pak Jokowi juga mungkin merasa bahwa dia perlu sinyal jujur dari Sri Mulyani. Tetapi, sinyal jujur itu nggak bisa terungkap karena saya membayangkan bagaimana Sri Mulyani berdiskusi dengan Pak Jokowi tentang keadaan.
Pak Jokowi nggak punya perasaan bahwa ada krisis karena dianggap bahwa nanti (bakalan) ada bigdata yang menyelamatkan dia. Nanti ada relawan yang masih akan mendukung dia. Nanti koalisi di DPR yang mendukung dia masih kuat, masih 80%. Ya itu sebetulnya palsu. Karena itu soal politik. Padahal di dasar politik terjadi kesulitan ekonomi. Kesulitan ekonomi selalu akan mendikte politik. Itu rumusnya di mana-mana. (Ida/mth)