Bahaya RUU KUHP, Ancaman bagi Kebebasan Pers, Demokrasi Indonesia Selesai!

Rocky Gerung Official.

RANCANGAN Undang-Undang KUHP saat masih diperdebatkan. Alasannya, sebagian masyarakat yang kontra terhadap RKUHP menilai jika disahkan, ini akan membuat masyarakat semakin susah untuk menyuarakan pendapat.

Pasal 273 RKHUP memuat tentang ancaman pidana penjara/denda bagi pengelenggara pawai, ujuk rasa, demontrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang berakibat terganggu kepentingan umum.

Pada pasal 273 KUHP ini bisa berpotensi membatasi kebebasan masyarakat untuk menyuarakan pendapat. Lalu mengenai harus melakukan izin jika ingin menyampaikan pendapat di muka umum.

Padahal hal ini justru bertentangan dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 dimana menjelaskan tentang Kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum.

Pada pasal 354 KUHP dimana memuat bahwa ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi melakukan penghinaan terhadap lembaga negara melalui sarana teknologi informasi bisa juga disebut media sosial.

Padahal kenyataannya kebebasan menyuarakan pendapat terhadap lembaga negara ataupun pemerintahan lainnya memang hal yang seharusnya bisa dikritik oleh masyarakat.

Padahal, Demokrasi itu sangat penting. Menerima pendapat dan berpendapat adalah hak setiap orang tanpa harus dibatasi. Persoalan ini dibahas wartawan senior FNN Hersubeno Arief bersama pengamat politik Rocky Gerung di Kanal Rocky Gerung Official, Rabu (20/7/2022). Petikannya.

Hari ini (Rabu, 20 Juli 2022) rencananya rekan pers akan bertemu dengan Menkumham, Yasonna Laoly, dan Wamenkumham, karena sekarang ini kelihatannya yang jadi operator di lapangan Wamenkumham, Prof. Edward O.S Hiariej (Edi) dari UGM.

Saya kira ini menarik dan saya sendiri kemarin sempat mengikuti sebuah pertemuan dewan pers bersama semua organisasi profesi maupun organisasi-organisasi konstituan dewan pers, mempersoalkan bahwa mereka sangat sangat khawatir dengan pemberlakuan undang-undang ini.

Sebenarnya teman-teman media ini sudah mengawal sejak lama dan bolak-balik ini tarik ulur-tarik ulur dan akhirnya tiba-tiba sekarang mau disahkan.

Ya memang saya proyeksikan bahwa yang akan terjepit justru jurnalis. Kalau saya misalnya mengucapkan pikiran kritis lalu tiba-tiba dianggap menghina, itu kan karena diberitakan.

Jadi memang nanti kena dua kali itu jurnalistik, undang-undang ITE dan KUHP segala macam. Karena dia dinggap menyebarkan hal-hal yang diatur dalam KUHP. Jadi kalau ada gerakan masyarakat sipil melalui jurnalis ini untuk memprotes undang-undang, itu artinya undang-undang itu memang buruk.

Kan jurnalis, ya kita semua bisa bawa ini ke Mahkamah Konstitusi untuk di-judicial review-kan, tapi itu langkah yang buruk sebetulnya. Jadi, bagus betul, tentu saja dengan Prof. Edi, bicaralah sebagai sesama akademisi. Jurnalis ini kan kalangan akademisi semua dan juga paham efek dari KUHP itu terhadap demokrasi, terhadap kebebasan.

Bahkan, terhadap kemungkinan orang dijebak supaya kena dengan delik yang ada di situ. Kenapa kita mesti antisipasi itu, karena ke depan ini ada proses politik di mana orang akan mengeluarkan segala macam uneg-uneg terhadap pemerintah, terutama karena buruknya penanganan ekonomi dan macetnya demokrasi, berlimpahnya permainan uang, segala macam.

Jadi, pasti KUHP ini dipersiapkan untuk itu. Itu justru kita antisipasi. Ada hal-hal yang bahaya di KUHP, tapi bagian yang paling mengkhawatirkan itu  soal kebebasan berbicara, hak asasi manusia segala macam.

Jadi, itu intinya dan yang kita ikut saja kampanye seolah-olah memang suara kita diwakili akhirnya oleh protes pers. Dan semoga Pof. Edi menerima dengan leluasa dan lega. Ini adalah upaya untuk memastikan bahwa demokrasi tidak akan diutak-atik atau bahkan dilemahkan oleh KUHP. Fungsi KUHP pada akhirnya terbaca untuk melemahkan demokrasi.

Kabar baiknya kan rencananya akan segera disahkan pada bulan Juli ini, tetapi kan pada tanggal 7 Juli DPR kalau tidak salah sudah reses. Artinya, ditunda sampai satu bulan ke depan.

Artinya, pada bulan ini belum akan disahkan dan ini masih ada waktu saya kira buat elemen-elemen sosial society untuk mempersoalkan itu. Tapi kenapa kita memberi “highlight” keresahan dari teman-teman media, terutama jurnalis, karena seperti kita sama-sama ketahui sebenarnya yang tersisa sekarang ini, jadi kebebasan di negara ini, atau “perlawanan” terhadap kekuasaan itu kan media.

Media sendiri pun sudah terbagi-bagi. Tetapi, dalam kasus ini, nanti ketika KUHP disahkan, itu nggak peduli mau teman-teman pers yang sudah terafiliasi dengan pemerintahan atau yang dalam kondisi sebagai pers independen, akan kena semua. Jadi tagline-nya tepat, “semua bisa kena”.

Dan yang kena pertama adalah mahasiswa di Cirebon. Mereka betul-betul mengerti isi KUHP dan ingin protes. Dan protes itu kemudian dihalangi dan penghalangan itu menimbulkan bentrokan dan mahasiswa bonyok dihajar sama polisi. Itu sudah petanda bahwa bagaimana kita mau sosialisasikan KUHP kalau alat sosialisasinya adalah kekerasan.

Jadi catatan dan mahasiswa selalu punya jaringan untuk membaca arah dari undang-undang ini, yaitu menghalangi orang untuk bikin protes. Dan pasti akan terjadi protes di mana-mana karena satu mahasiswa dianiaya, itu artinya satu tubuh mahasiswa Indonesia juga teraniaya.

Dan mereka sudah punya jadwal kapan demo dan kapan harus secara masif menghalangi atau menghadang undang-undang itu. Demikian juga buruh, pasti akan ikut di situ.

Jadi, ini undang-undang yang akhirnya mempersatukan masyarakat sipil kembali, yaitu mereka yang ingin demokrasi itu jangan dihalangi oleh KUHP. Pers justru yang paling mengerti ini karena terpaksa kita mesti atur kalimat, menulis bagaimana caranya. Jadi kita diminta untuk sekadar memuji-muji presiden saja kan.

Menyinggung soal mahasiswa di Cirebon, saya juga dapat kiriman video dan foto-foto ini. Ini peristiwa yang terjadi di Cirebon yang menunjukkan bahwa aparat memang represif sekali. Banyak sekali mahasiswa yang luka-luka dan dan ke depan saya kira ini nanti atas nama KUHP juga, polisi bisa melakukan itu.

Karena dalam KUHP yang baru ini rancangannya orang bahkan bukan hanya bisa dikenakan pidana kalau mereka tidak mengajukan izin dan tak mendapat izin, apalagi kemudian dianggap mengganggu lalu lintas. Ketika lalu lintas saja sudah bisa kena pidana.

Ya, itu pasti ada sponsor yang akan mendorong aksi itu dirumuskan sebagai kriminal. Itu banyaklah orang yang akan memanfaatkan situasi semacam ini. Jadi, sebetulnya semua hukum di awal-awal pembuatan sudah bermasalah, itu pasti buruk kan akibatnya. Ini mahasiswa jadi korban pertama.

Padahal mereka justru yang ingin demokrasi tegak. Mereka bukan anti-KUHP, mereka anti-hak mereka untuk mengucapkan kritik itu dimungkinkan untuk dipidana.

Jadi, kalau yang lain mungkin merasa aman-aman saja, tapi mahasiswa tahu sejarahnya mereka, mereka itu mengerti bahwa sejarah mereka adalah pasti demonstrasi. Dan demonstrasi itu justru yang pertama kali akan berhadapan dengan pihak keamanan.

Nah, sekarang demonstrasi harus melapor dulu. Kan prinsip demokrasi itu semua boleh kecuali yang dilarang. Sekarang kalau HP itu kita balik, semua dilarang kecuali yang diizinkan. Kan ini negara otoriter lagi akhirnya. Jadi, soal-soal itu yang kita anggap memang nggak diantisipasi oleh para pembuat undang-undang itu.

Mari kita fokusnya ke jurnalis, terutama media. Anda bisa nggak kira-kira membayangkan seperti apa Indonesia ini dalam situasi di mana sekarang ini orang melihat sebenarnya sudah otoriterian, masuk ke dalam situasi yang semacam itu dan nanti ditambah lagi ketika DPR menjadi sudah lemah, civil society terpecah belah, dan kemudian media pun juga tidak berdaya.

Saya baca hari ini beberapa artikel luar negeri, beberapa analis kemudian merumuskan bahwa Indonesia memang sedang masuk ke dalam jebakan otoriterianisme itu. Jebakan itu dianggap sebagai upaya Presiden Jokowi untuk mengalihkan masalah pembangunan ibukota negara supaya aman nanti dari demonstrasi.

Tadi analis yang bagus, researcher dari Singapura itu Lee Kuan Yew School of International Public Policy. Jadi, dari luar negeri saja sudah menganggap kita  dibandingkan dengan pertumbuhan demokrasi di Asia, Indonesia merosot. Nah, kalau luar negeri yang begitu kan dia nggak punya kepentingan.

Kalau kita yang bilang bgeitu lalu kita dianggap sentimen pada presiden, pada rezim. Jadi memang indeks-indeks dunia itu menunjukkan Indonesia trennya adalah mengarah pada otoriterianisme. Dan pers pasti ukuran pertama. Kalau pers akhirnya protes KUHP, itu bukan karena pers kesal pada Jokowi.

Pers kesal bahwa fungsi primer dia untuk mengucapkan kritik, mengucapkan evaluasi, menjadi Watch Dog, pilar keempat demokrasi itu terhalang sekarang. Jadi itu poinnya. Nanti pers akan bikin perbandingan dulu awal reformasi justru pers sangat bebas, kok makin lama makin terkekang.

Tanda pertama pers bebas itu adalah Departemen Penerangan, dibubarkan oleh Presiden BJ Habibie. Jadi itu intinya.

Pers masih ingat bahwa bagaimana mereka berjuang bersama-sama dengan pejuang hak asasi manusia (HAM) untuk membuat demokrasi ini betul-betul bermutu. Nah makin lama makin hilang mutunya. Dan di ujungnya akhirnya mesti dikendalikan dengan undang-undang pidana. Itu ngaconya di situ.

Ya memang kita kembali lagi ke era pasca-orde baru. Memang pada waktu itu menjadi menarik karena menteri penerangannya pada waktu itu dijabat oleh seorang jenderal Kopassus, namanya Letnan Jenderal TNI Yunus Yosfiah. Tetapi, undang-undangnya sangat sangat progresif, semua lembaga sensor, lembaga penerbitan seperti SIUP, dan sebagainya dibubarkan.

Jadi kan sekarang sebenarnya pers itu nggak perlu lagi ada izin-izin semacam itu. Cukup ketika dia mendeklarasi akte pendirian perusahaannya bahwa dia media, dia media, nggak perlu SIUP lagi. Belum lagi juga undang-undang pokok pers, undang-undang Nomor 40 tahun 1999 itu sangat progresif. Tapi, sekarang justru kita jalan balik lagi, demokrasi kita jalan berputar.

Ya itu masalahnya. Ketika itu Departemen Penerangan dipimpin oleh seorang Jenderal Kopassus, Jenderal perang, tetapi dia punya perspektif sipil ketika memimpin. Jadi militer, tapi ngerti apa yang disebut di sini supremation of civilian value.

Dan sekarang, Menteri Kominfo kita memang dari sipil, tapi cara berpikirnya militeristek karena mau memaksa supaya akun-akun sosial ini mendaftar. Itu pengendalian bukan saja pengendalian pers, tapi pengendalian privasi orang.

Kalau dia punya akses dalam perjanjian bahwa Google segala macam mestinya dia lapor ke Google, itu artinya dia akan minta Google kasih dia akses untuk mengetahui siapa-siapa yang potensial untuk membuat keresahan.

Dan itu yang diolak-olok orang, dianggap bahwa kalau kita main WhatsApp itu meresahkan rakyat, meresahkan publik. Padahal, sebetulnya itu meresahkan pemerintah karena di WhatsApp itulah politik betul-betul jernih dan murni. Emak-emak itu setiap hari main politik lewat WhatsApp.

Jadi dari dapur diproduksi kritisisme lalu diedarkan lewat WA. Sekarang WA-nya mau dikendalikan oleh Departemen Kominfo. Sebetulnya paralel dengan Departemen Penerangan di zaman dulu, tapi dengan watak yang berbeda Orang sipil punya perilaku politik yang militeristik, orang militer justru berperilaku yang civilian. Jadi paradoksnya di situ. (Ida/mth)

358

Related Post