Catatan dari Hotel Karantina Hari Ketiga: Kata Maaf

Oleh: Dr Syahganda Nainggolan

(Sumbangan pikiran untuk Rocky Gerung, Jumhur, Ferry Juliantono dkk perjuangan semua)

INI hari ketiga saya di Karantina. WA saya ke menejer hotel sebagai berikut:

"Pak Y, soal cemilan yang dititip staf saya itu perlu pengertian pihak hotel. Jika restoran hotel pelayanan bagus dan cepat, tentu buat saya gampang pesan. Tapi, ini pengalaman saya terburuk di hotel ini. Hari pertama makanan dinner datangnya dinihari, tidak langsung disediakan. Plus pagi ini gak ada sarapan. Kalau hubungi restoran terdapat jeda waktu yang lama..."

Saya minta staf saya mengirimkan pisang, roti dan selai bersamaan dengan "skipping" dan "Yoga Mat". Saya kesal sekali bangun hari ini. Bangunnya siang, karena "jetlag" tubuh saya masih pagi.

Harusnya tadi malam saya makan jam 12 malam, karena tubuh saya untuk jam Belanda masih seharusnya jam makan malam. Saya makan apple aja dan "pudding" yang saya sisakan dari makanan sebelumnya. Kesal karena jatah sarapan saya tidak ada pagi ini. Ketika saya laporkan ke hotel, belum diantar juga.

Manajer yang saya WA langsung sigap. “Siap pak!” katanya. Namun, belum diantar juga. Akhirnya jatah sarapan saya datang bersamaan dengan jatah makan siang. Ini masalah buat saya. Apalagi saya harus mengontrol agar sakit maag saya tidak kambuh. Saya sudah wajib membayar paket hotel plus makan, tapi kenapa tidak boleh order makanan ekstra via Go Food? Kenapa restoran lambat?

Bahasan saya hari ini adalah soal "kata maaf". Ini tidak saya temukan dari WA saya dengan pihak hotel, baik manajer maupun jajaran bawahannya. Soal ini penting di bahas oleh bangsa kita. Itu soal budaya.

Pada saat saya, Jumhur dan Ferry Juliantono mengunjungi Rocky Gerung di pertapaannya, saya mengutarakan di atas analisa ekonomi politik khas Rizal Ramli dan Faisal Basri, kita perlu bicara budaya.

Refleksi saya selama 10 bulan di penjara saat itu, bangsa ini memerlukan kebangkitan budaya untuk bangkit kembali.

Rocky Gerung lalu merenung untuk sebuah nama dari perkumpulan yang akan kami lakukan, akhirnya keluar dari kepalanya nama "Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia".

Kata maaf itu adalah bagian dari kata penting dalam masyarakat maju. Di samping kata lainnya "terima kasih" (thanks) dan silakan/mohon (please).

Tanggal 5/12 di bandara Schiphol ketika Check-In Baggage, perempuan cantik di desk itu mengatakan bahwa kami tidak bisa memasukkan koper karena tidak terdaftar dalam pembayaran. Kami harus membayar untuk dua koper, kira-kira 40 kg. Wow! Itu mahal sekali.

Saya langsung protes bahwa perusahaan penerbangan dia buruk, karena saya sudah membayar dalam sistem terpisah, termasuk saya membayar kursi (chargeable seat).

Dia langsung kaget dengan protes saya. Oh, baiklah, saya akan menemani anda ke petugas kontrol yang bisa melihatnya, katanya. Lalu, kami jalan 25 langkah ke petugas kontrol itu.

Petugas kontrol itu, orang Afrika-Belanda, meminta petugas check-in segera kembali, karena dia seharusnya tidak boleh meninggalkan koper kami di sana. Dan antrian juga mengular panjang.

Setelah di-check, pembayaran tiket kami termasuk pilihan kursi dan bagasi, dia langsung mencetak Boarding Pass. Dia meminta maaf ada kesalahan sistem mereka.

Seharusnya, meski pembelian tiket penerbangan, kursi, bagasi dll terpisah, harusnya itu tidak membuat penumpang yang susah. Ya dia meminta maaf. Ketika istri saya menegaskan agar kalian jangan menyusahkan penumpang, dia membalikkan dengan canda seperti doa "segala sesuatu yang sulit di depan, akan indah dikemudian nanti". Penuh senyum. Dan kamipun senang.

Hal yang sama, urusan bagasi terjadi pada 6/11 di Bandara Sukarno Hatta, untuk penerbangan yang sama. Bedanya saja petugas check-in ngotot dan terkesan menyalahkan penumpang.

Setelah ribut akhirnya petugas kontrolnya datang. Dia mengatakan bahwa pembayaran tiket kami termasuk kursi dan bagasi berbayar. Tapi mereka tetap minta bukti dari saya.

Saya tetap bertahan bahwa itu kesalahan penerbangan. Saya tidak mau membuka email di hp yang menjadi bukti pembayaran. Penerbangan itu tidak boleh menyusahkan saya.

Akhirnya mereka mengalah, dan bagasi saya bisa masuk. Namun, saya tidak mendapatkan kata maaf dari gadis-gadis cantik petugas check-in itu. Bahkan setelah saya katakan harusnya kalian meminta maaf.

Gadis cantik petugas check-in di Indonesia dan di Belanda adalah gadis-gadis dari perusahaan yang sama. Termasuk lelaki berkulit hitam di desk kontrol di Schiphol itu. Tapi kenapa mereka berbeda dalam melayani manusia yang sama? Itu adalah soal budaya.

Anak saya yang kuliah di antropologi sebuah universitas papan atas Indonesia memberitahu bahwa dosennya melarang mahasiswi untuk berkata "maaf pak, ijin bertanya..", pada saat dosen mempersilakan mahasiswa berdialog.

Dosen antropologi itu sudah bolak-balik kuliah di luar negeri. Kata dosen anak saya itu, tidak ada urgensinya meminta maaf untuk sesuatu yang tidak perlu dimaafkan. Faktanya itu memang jadi budaya kita.

Dalam setiap event bahkan arisan ibu-ibu, seringkali datang ucapan maaf seperti "teman-teman sekalian terima kasih atas kedatangannya, mohon maaf seribu maaf atas pelayanan kami dan makanan kami yang kurang memuaskan.., harap maklum..bla..bla.. bla.

Namun, kata maaf ini belum jelas benar kegunaannya. Apakah maksudnya untuk dipuji tentang keenakan makanan atau pelayanan? Sebuah klise?

Budaya modern mengharuskan kata maaf itu datang dari sebuah kesalahan atau kekhilafan. Hal ini akan spontan keluar dari mulut orang Belanda, "Oh, sorry meneer", jika terjadi kesalahan. Atau dia melihat kita tidak nyaman atas sikapnya.

Apalagi jika pemerintahan membuat suatu keputusan sensistif. Saya melihat sendiri ekspresi wajah perdana menteri Belanda Mark Rutte ketika mengumumkan soal pengetatan aturan Covid 19. Mukanya sedih. Bahkan, dia tidak menghadiri pemakaman ibu kandungnya yang wafat pada saat wabah Covid-19 tinggi di sana.

Tapi bukankah kita bangsa pemaaf?

Bahkan ada joke yang bercerita, ketika kaki seseorang ditindih kaki orang lain tidak sengaja dalam sebuah kerumunan, orang yang tersakiti malah berkata "maaf ya mas, kakimu gak sengaja di atas kakiku".

Atau dalam beberapa kali kecelakaan yang mengakibatkan kematian di jalan tol, pihak keluarga korban misalnya mengatakan "kami pasrah pada Allah. Itu sudah takdirnya. Kami memaafkan penabrak anak saya".

Apalagi kalau menjelang lebaran, orang-orang Indonesia paling sering mengirimkan postingan mohon maaf lahir dan batin. Dulunya cuma habis lebaran.

Sekarang bahkan lebaran haji dan banyak hari lain yang dianggap suci dimanfaatkan berkirim permohonan maaf lahir batin. Dalam ajaran Islam bahkan diperintahkan untuk memaafkan saudara se iman dalam tempo maksimal 3 hari.

Kita juga sebagiannya berusaha memaafkan para pejabat koruptor dengan mengubah pengertian korupsi dengan pungli, beberapa saat belakangan ini. Biar hukumannya murah. Bahkan, menjadikan mantan koruptor komisaris BUMN. Dimaafkan.

Tapi, secara paralel, tema sejarah kita dilukiskan penuh dendam kesumat. Baik cerita perang Bubat antara kerajaan Sunda versus Jawa. Dendam sejarah terwarisi sampai saat ini.

Ketika saya masih kuliah di ITB atau mungkin pas tinggal di Bandung, ada restoran Gajahmada tepat di Jl. Dago, belakang ITB. Namun, restoran itu tidak bertahan lama, tutup, karena sepi pembeli. ]Teman saya Jumhur Hidayat, yang mengaku keturunan Raja Panjaluh-Sumedang, menyakini bahwa perang Bubat itu sebuah produk penyimpangan sejarah.

Sejarah diciptakan untuk permusuhan antara Jawa versus Sunda. Sayangnya hal ini sudah mendarah daging. Dendam kesumat. Kultural. Begitu juga jika kita membaca Arok-Dedes karya Pramoedya Ananta, isinya juga perang turun-temurun di kerajaan Jawa, penuh dendam.

Lalu apakah bangsa kita bangsa pemaaf atau pendendam?

Ini adalah wilayah kaum antropolog. Saya kesulitan mendapatkan jawaban sampai saat ini. Sebenarnya saya sudah janjian ketemu dengan ahli sejarah Indonesia, Professor Gert Oost Indie yang akan diwakili Professor Steijden untuk membahas ini di Belanda kemarin.

Saya melemparkan pertanyaan tentang benarkah Bangsa Indonesia itu dulu ada? Benarkah Indonesia bangsa pinggiran? Professor Steijden berjanji untuk mengatur pertemuan setelah tanggal 3/12, tapi saya keburu kembali ke tanah air.

Di museum antropologi di Leiden, yang saya kunjungi beberapa minggu lalu, yang menampilkan beberapa pameran Asia (Indonesia, Jepang, China Korea) dan Bangsa Astek, Meksiko, hall Indonesia paling depan.

Sayangnya yang paling menonjol di stan Indonesia adalah puluhan jenis Keris. Bukankah keris simbol perang?

Kembali kepada kata maaf, faktanya itu bagian dari kata penting dalam masyarakat beradab. Jika koruptor mencuri uang rakyat, itu tidak bisa dimaafkan. Jika pejabat bisnis alat kesehatan untuk pandemi Covid itu tidak bisa dimaafkan.

Jika pemimpin pemberantasan korupsi harta kekayaannya naik berkali lipat selama menjabat itu tidak bisa dimaafkan. Jika saya mengutuk UU Ciptaker lalu dipenjara 10 bulan, kemudian hari Mahkamah Konstitusi mengatakan UU itu bertentangan dengan UU Dasar 1945, perbuatan penangkapan itu tidak bisa dimaafkan.

Tapi mereka harus minta maaf. Koruptor misalnya harus minta maaf. Saya telah membahas ini dalam tulisan saya dahulu tentang permohonan maaf eks presiden Korea Selatan sebelum dia bunuh diri lompat dari bukit di belakang rumahnya.

Katanya, "Kepada rakyatku, maafkan aku". Dia bunuh diri karena malu dituduh korupsi. Kata maaf harus dibudayakan sebagai bagian integritas manusia. Tidak memaafkan juga bagian penting integritas, seperti terhadap koruptor dan penjual pengaruh kekuasaan.

Itu kata-kata penting masyakarat beradab, disamping ucapan terima kasih (thanks) dan mohon/silakan (please). Kata maaf ini mungkin pernah ada di Indonesia atau mungkin telah disalahkan artikan.

Mudah-mudahan bangsa ini akan mampu masuk pada tema peradaban. Bukan sekedar adu kuasa dan cepat kaya serta sifat menang sendiri.

Penulis Aktivis KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia)

290

Related Post