catatan-dari-hotel-karantina

Catatan dari Hotel Karantina Hari Keenam: Tentang Kuasa

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan INI hari ke-6 saya di Hotel Karantina. Delapan hari dari tes PCR di Belanda sebelum keberangkatan. Juga, 6 hari dari tes PCR di Cengkareng dengan hasil negatif. Dan tanpa gejala sama sekali. Tapi peraturan membuat saya harus bertahan 4 hari lagi. Teman saya di CDC Oregon Amerika menjapri tadi pagi bahwa virus baru Omicron tidak sebahaya virus Delta. Alhamdulillah. CDC adalah tempat paling canggih urusan virus dan segala hal yang berbahaya buat manusia, termasuk nuklir. Hari ini saya membaca berita juga Kepala CDC mengatakan hal yang sama. Teman saya itu mengatakan bahwa mereka memiliki genome virus itu. Jadi bukan ngomong asal bunyi (asbun) seperti kebanyakan orang di sini. WHO juga sebenarnya sudah seminggu lalu mengatakan virus ini tak mematikan. Lalu apa kata pemerintah kita soal virus ini? Yang saya baca barusan yaitu pernyataan pemerintah bahwa virus Omicron ini belum terdeteksi masuk ke Indonesia. Namun, belum ada respon untuk kembali memperpendek masa Karantina. Padahal, Indonesia membuat Karantina 10 hari lamanya bagi pelancong mancanegara dengan pertimbangan kekhawatiran varian baru Omicron. Sebab, dengan varian Delta yang sudah beredar di Indonesia sejak medio tahun lalu, Indonesia sudah berhasil menurunkan level PPKM. Saat ini PPKM dipertahankan pada level dua, dengan asumsi penanggulangan pandemi dengan virus yang ada, dapat dikendalikan. Lalu pemerintah takut kemdali menjadi hancur karena ada potensi varian baru yang dibawa masuk pelancong seperti saya. Hari ini saya minta makanan Arab di hotel. Sudah hari ke-5 makanan hotel dengan menu yang sama membuat kebosanan bertambah. Variasi makanan mungkin dapat mengurangi rasa kesal dan bosan. Tapi yang saya takutkan adalah menjadi gemuk dalam 10 hari. Padahal saya mengurangi berat badan 10 kg (dari 90 kg menjadi 80 kg) berhasil ketika di penjara dulu. Bagaimana kalau di hotel ini badan saya naik 10 kg? Saya kembali ingin berdiskusi dengan teman-teman untuk membunuh kebosanan itu. Hari ini kita membahas soal kuasa atau power. Kenapa? Karena masalah ini masalah besar di Indonesia. Pemaknaan kekuasaan di Indonesia belum pernah ditempatkan maupun dilaksanakan secara tepat, khususnya dalam konteks kehidupan bersama dalam sebuah bangsa. Power adalah mengontrol. Pemilik power atau penguasa adalah pengontrol orang yang dikuasainya. Namun, Gramscy mengembangkan teori hegemoni. Hegemoni bisa lebih berbahaya pada mengontrol. Mengontrol bersifat kasat mata, seperti ketua partai politik mengontrol anggota DPR. Hegemoni meliputi dominasi kultural, norma, kuasa, dan ideologi dari penguasa atas orang-orang yang dikuasainya. Hegemoni termasuk melumpuhkan alam sadar masyarakat untuk mengetahui eksistensinya dalam konteks hak-hak asasinya. Dalam relasi masyarakat dan penguasa otoriter, seperti yang didalami Gramscy dahulu di Italia, era Mussolini, penguasa umumnya menjalankan praktek hegemoni kepada rakyat. Praktek hegemoni dilakukan dengan mengkombinasikan rasa takut terhadap rakyat dan merubah persepsi tentang hak-hak manusia. Italia masa itu dikendalikan kekuasaan fasis. Sebenarnya kekuasaan totaliter Komunis juga melakukan hal yang sama. Orang-orang seperti Max Weber dan Thomas Hobbes menyelidiki betapa pentingnya power untuk menjalankan sebuah perencanaan. Weber mendalami isu power yang imparsial seperti birokrasi. Sedangkan Hobbes mendalami perlunya negara mempunyai alat paksa terhadap rakyatnya agar ketertiban umum dapat dilaksanakan. Namun, di sisi lainnya, Karl Marx mengintip relasi orang yang terhubung pada power itu. Menurutnya, relasi itu selalu bersifat eksploitasi dari yang kuat terhadap yang lemah. Lalu, negara diciptakan hanya untuk mensyahkan atau melegitimasi ekploitasi itu. Beberapa intelektual kemudian semakin mendalami difinisi power ini , bahkan dalam konteks bahasa dan struktur text. Godaan (temptation) terhadap manusia tentang memiliki power sudah menjadi bahasan agama sejak dulu. ditambahkan dengan godaan lainnya, harta dan wanita. Tapi, godaan itu bisa bersifat sekaligus juga. Ketiganya mempunyai dimensi kenikmatan masing masing. Pandangan agama mengaitkan manusia dan iblis dalam teori motivasi. Sedangkan di luar agama, seperti Maslow dan Machiavelli melihatnya dari sisi manusia itu sendiri. Orang-orang beragama mendorong kecintaan pada dunia dikurangi agar nafsu serakah tidak mengendalikan seseorang dalam kekuasaan. Namun sebaliknya, pemikir non agama mendorong agar dilakukan pembagian kekuasaan secara merata, agar tidak ada pemusatan kekuasaan pada seseorang atau kelompok. Dalam masyarakat yang mengklaim beragama, umumnya manipulasi datang dari tokoh-tokoh agama yang melacurkan diri. Ayat-ayat dijadikan alasan untuk memberikan legitimasi pada kekuasaan yang rakus. Sedangkan masyarakat yang berdasarkan "common sense", kesulitan mencari kesamaan moralitas ataupun kebajikan untuk mengatur dan mengatur keberlanjutan agar kekuasaan dapat digunakan secara benar. Bagaimana bangsa kita dalam konteks power? Secara inter-personal ataupun keluarga, bangsa kita mempunyai kultur non demokratis. Penelitian terbaru terkait dengan pendidikan anak dalam keluarga, yang paling demokratis adalah masyarakat Belanda. Mereka terbiasa dengan sifat egaliter dan equal dalam keluarga. Di Indonesia, orang tua dan orang yang paling tua dalam saudara mendapatkan hak sebagai sosok dominan. Dominan ini bisa diperluas artinya menjadi pengatur. Bisa juga diperluas menjadi mengontrol. Umumnya juga bersifat gender, di mana lelaki lebih dominan. Bila karakter non-demokrasi itu berkembang menjadi anti demokrasi, maka yang berkembang adalah karakter otoritarian. Dalam masyarakat Indonesia hal itu terlihat paralel. Masyakarat kita mengalami karakter yang non demokratis. Karakter atau ciri masyarakat seperti ini sejak awal menyulitkan Indonesia bisa berkembang dalam pola keseimbangan kekuatan dalam sistem masyarakat, seperti ala barat. Ketua KPK Firli Bahuri, umpamanya, baru saja mengatakan kejahatan korupsi terbesar akan muncul dengan sistem pilpres PT 20%. Sistem ini ditentang banyak pihak. Tapi kemudian Firli menyebutkan semua ini bisa berubah di tangan Jokowi. Ada juga, ketua Lemhannas, baru baru ini mengatakan "rakyat itu milik presiden". Ini adalah kosakata feodalisme yang acap kali muncul sejak kita merdeka. Sukarno disebutkan sebagai bapak bangsa, Suharto bapak pembangunan dan lainnya. Keseimbangan kekuasaan ala trias politika barat mensyaratkan pembagian kekuasaan dan pembatasan kekuasaan. Pembatasan termasuk mendorong munculnya sirkulasi leadership secara teratur. Sehingga, dengan demikian kekuasaan tidak menjadi alat yang akan disalahgunakan. Jika kita kesulitan memasuki model barat, lalu kita berpikir model religius. Model religius mempunyai sejarah yang panjang juga dalam mengatur kekuasaan untuk digunakan bagi kebaikan dan kebajikan. Misalnya dalam pemerintahan era Rasulullah Nabi Muhammad SAW, dan pemerintahan masa 4 sahabatnya, di dalam Islam, dianggap sebagai model relegius yang sukses. Ukurannya adalah kekuasaan dikelola dengan nafsu dunia yang optimal, ada musyawarah elit kekuasaan, rentang kekuasaan tidak terlalu lama. Namun, masa setelahnya, dalam jaman kekhalifahan, hanya beberapa kekhalifahan yang dianggap masih sesuai dengan model religius Islam. Persoalannya adalah apakah bangsa kita bangsa religius? Atau bangsa munafik? Di sinilah kita selalu mendapatkan diri, berada dalam jalan yang tidak menentu. Tidak mengikuti model manapun? Persoalannya lagi adalah apabila power tidak disepakati untuk kepentingan bersama, maka power sang penguasa seringkali dibuat untuk menyakiti rakyatnya sendiri serta untuk memperkaya diri. Pada akhirnya konsensus nasional tentang makna kebersamaan (kemerdekaan) kehilangan makna dan tergerus hari demi hari. Saat ini kita mulai disibukkan dengan isu kekuasaan, yakni calon presiden ke depan. Tahun lalu kita disibukkan dengan isu kekuasaan, membentuk UU Omnibus Law yang melawan konstitusi. Tahun 2019 kita disibukkan dengan pelemahan KPK agar kekuasaan bisa leluasa disalahgunakan. Setting sosial kita sudah salah arah karena kekuasaan merupakan barang luxurious (mewah) yang diperebutkan untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri dan kepentingan harta dan atau wanita. Kita tidak terbiasa misalnya melihat seperti Pangeran Charles di Inggris, yang lebih mementingkan cinta (wanita) daripada kekuasaan, atau calon raja Inggris dulu dalam film King Speech, yang memilih cinta daripada kekuasaan. Kita belum terbiasa merenungkan Pangeran Dipanegoro kehilangan kekuasannya, karena memilih jalan hidup pemberontakan. Atau banyak kisah-kisah lainnya. Yang sering menjadi cita-cita di Indonesia adalah bagaimana berkuasa bisa membuat orang bisa cepat kaya dan membangun gurita bisnis. Dalam setting sosial seperti ini, maka analisa Karl Marx tentang kekuasaan sebagai alat pemilik modal serta analisa religius kekuasaan duniawi sebagai alat penguasa untuk mengumbar nafsu durjana perlu dipertimbangkan sebagai model analitik melihat penguasa yang ada. Artinya rakyat menempatkan dirinya dalam hubungan yang diametral dengan kekuasaan tersebut. Dalam frame ini maka rakyat tahu bagaimana melakukan langkah-langkah penguatan kekuatan dan kekuasaan ditangan rakyat dengan cita-cita alternatifnya. Rakyat tidak boleh terperdaya dengan pencitraan -pencitraan lembaga-lembaga survei yang semakin menjamur. Karena substansi yang harus diperjuangkan sama sekali berbeda dengan realitas yang ada. Pada kunjungan saya ke Jos Van den Eijnden, paman istri saya yang baru mundur dari ketua Partai Hijau (Groen Links) Kota Soest, Belanda, beberapa hari lalu, saya melihat konsistensi cita-cita partai tersebut untuk tema lingkungan dan Social Welfare, dalam implementasinya. Sebagai ketua partai pun dia tidak mempunyai agenda (interest) pribadi, selain cita-cita partai. Padahal partai itu mempunyai 4 perwakilan dalam dewan kota. Sebuah kota seperti Soest, di mana berada istana mendiang Ratu Juliana, penguasa Indonesia tempo dahulu, anggarannya cukup besar. Namun, di sana anggaran negara bukan untuk dirampok. Anggaran negara adalah untuk rakyat. Diantara hal-hal positif yang berkembang belakangan ini, rakyat harus terus membangun optimisme bahwa kekuasaan di tangan rakyat bisa direbut. Hal positif pertama adalah keputusan Mahkamah Konstitusi tentang UU Omnibus Law. UU ini adalah sebuah kejahatan. Ini tafsir politik, karena UU ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Positif kedua, adalah gerakan rakyat dan Novel Baswedan yang akan membuktikan KKN elit negara dalam bisnis PCR. Ini adalah pintu untuk memperlihatkan kepentingan rakyat vs. kepentingan anti rakyat. Ketiga, statement ketua KPK, Firli Bahuri, yang menyatakan, yang saya tafsirkan, PT (Presidensial Threshold) nol persen sama dengan anti korupsi. Artinya pendukung PT 20% dalam tafsir itu benar-benar tidak ingin adanya pemberantasan korupsi di Indonesia. Keempat, adanya tuntutan hukuman mati pada kasus korupsi, dalam hal ini pelaku korupsi PT Asabri. Ini adalah kemajuan besar untuk kemenangan rakyat. Untuk rakyat berkuasa nantinya. Perkembangan bagus ini harus dikelola dengan baik. Begitulah sumbangan pemikiran saya sementara ini soal kekuasaan. Salam hangat dari hotel Karantina. Penulis Aktivis KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia)

Catatan dari Hotel Karantina Hari Kelima: Tentang Sebuah Kota

Dr. Syahganda Nainggolan HARI ini adalah hari ke-5 saya di Karantina. Seminggu setelah PCR negatif di Belanda. Lima hari setelah dites PCR negatif di Bandara SH. Setiap hari dites temperatur normal. Tapi saya harus menunggu Karantina 5 hari lagi. Baru bisa ketemu keluarga. Istri saya tadi mengatakan, tetangga kamar sebelah, 3 perempuan Eropa (Timur atau Russia), kemarin hanya dengan busana dalam ada di balkon melakukan senam. Hal ini membuat saya jadi terbatas untuk melihat ke luar jendela. Mereka mungkin kelihatannya sudah stress di kamar. Jadi keluar dengan lompat jendela. Kamar sebelah satunya setiap larut malam saya dengar bicara bahasa Arab dengan keras. Mungkin menelepon keluarganya yang selisih waktu kita 4 jam. Hari kedua lalu, istri saya ketika membuka jendela, merasa senang telah melihat kota. Ada celah antara dua tembok dinding apartemen yang memberikan pandangan di kejauhan. Saya mengatakan padanya bahwa di Jakarta tidak ada kota. Hari ini saya ingin bertukar pikiran tentang kota. Alkisah ketika paman istri saya Stef (Stefanus) Vanden Eijnden berjanji untuk membawa kami keliling Amsterdam. Itu tanggal 20/11. Dia adalah seniman jalanan (istilah anak-anak Taman Ismail Marzuki), yang sejak usia 26 tahun mengamen di cafe-cafe Amsterdam. Sekarang umurnya 70 tahun. Keahliannya alat Akordion, berkata-kata dan menyusun plot. Dia pernah cukup lama menyewa Roode Bioskop, Amsterdam, dijadikan sebagai tempat teaternya. Meskipun istri saya bapaknya kerja 20 tahun di KLM yang bermarkas di Amsterdam, tapi mengetahui Amsterdam dari seniman semacam Stef tentu berbeda. Awalnya kami menawarkan Stef ketemuan makan siang, kami yang traktir. Namun, Stef mengajak kami untuk mengelilingi Amsterdam selama 4 jam. Jalan kaki. Saya mulai berpikir tentang kemampuan kaki saya, cuacanya dingin dan apakah selama itu? Alkisah ini akhirnya terjadi. Jam 10 pagi Stef menjemput kami di Amsterdam Central Stasiun. Kami sudah lebih awal datang, menyeberang beberapa menit dengan Ferry Boat, dari Hotel Botel, Hotel terbuat dari kapal. Hotel ini di depan Kantor Greenpeace Belanda. Kami datang jam 9 agar saya bisa tes antigen di sebelah stasiun. Tes antigen syarat bisa masuk Cafe, nantinya. Di Belanda, istilah jam sangat presisi. Kalau kami berjanji jam 10, maka itu harus terjadi. Mulailah kami menyusuri rute pusat Kota Amsterdam. Dari depan stasiun arah jalan ke kanan langsung menyusuri kanal-kanal yang menuju NoorderMarkt. Amsterdam adalah kota yang dibangun ratusan tahun lalu atau bahkan 1000 tahun lalu. Kanal-kanal di dalam kota dibangun untuk mengurai air yang melimpah dari sungai Amstal dan IJ, karena pemukiman mereka 0,5 meter di bawah laut. Nelayan yang akan melaut, terhubung ke laut Utara Amsterdam setelah terusan dibangun melalui sungai IJ ke laut. Pola kota dibangun dalam pola mirip separuh jaring laba-laba, dengan antara bagian dalam ke arah luar dikelilingi air. Cerita lebih detail tentang kanal dan pembangunan kota Amsterdam bisa didalami melalui berbagai sumber yang tersedia di Google. Saya kembali pada fokus tentang kota. Setelah berjalan hampir satu jam berputar-putar, kami tiba di NoorderMarkt. Jarak tempuh tercepat dari stasiun ke NoorderMarkt sebenarnya hanya 15-20 menit, apalagi jalan di Belanda dengan orang Belanda dan saa musim dingin. Satu waktu yang dihabiskan untuk "sight seeing" ini adalah untuk melihat, merasakan, mencium aroma Kota Amsterdam. Rumah-rumah di pinggir kanal tertata indah dan umumnya berumur ratusan tahun. Indah, baik warnanya maupun sky-line yang membentuk keterhubungan atap-atap rumah mereka. Warna rumah umumnya merah bata. Rumah terdiri dari 4-5 tingkat dengan ukuran lebar yang kecil, sekitar 4 meter. Bagian atas menjorok sedikit ke depan, karena mereka menaikkan barang-barang ke lantai atas melalui tali, sehingga tidak merusak dinding lantai bagian bawah. Tangga-tangga di dalam rumah pastinya kecil, namun mereka sudah terbiasa dengan itu. Rumah-rumah yang berada di kanal ini, dulu, mempunyai pasar untuk mereka berdagang yang namanya NoorderMarkt. Ini adalah kawasan Jordaan. Kawasan penting di kota Amsterdam. Di sebelah NoorderMarkt telah berdiri lebih dahulu NoorderKerk, Sebuah Gereja. Sudahkah saya bicara tentang kota? Ya Kota. Kita bicara kota karena kota itu bukanlah gedung-gedung (saja). Kota adalah tentang pertarungan hidup manusia, tempat berbincang-bincang, tempat berdagang di pasar, tempat tinggal, tempat seni, tempat memuja Tuhan, dan lainnya. Pertarungan hidup di kawasan Jordan ini ditandai dengan berkali-kali kerusuhan di masa lalu, ketika orang-orang miskin dan kaum buruh menuntut hak hidup di Amsterdam. Pertarungan kapitalis pemilik modal dan kaum buruh untuk merebut hak-hak hidup adalah peristiwa setiap pembangunan kota. Film The Magnificent Seven yang dibintangi Danzel Washington dkk, misalnya, memperlihatkan pertarungan antara kaum buruh tambang emas versus kapitalis yang ingin memiliki sebuah kota. Ada permusuhan, ada tumpah darah, ada kematian, ada rumah ibadah dan lain sebagainya dalam pertarungan merebut hak-hak pengelolaan kota. Di NoorderMarkt orang-orang berdagang, barang bekas dan murah. Banyak juga barang dari negara lainnya. Berapa umur pasar ini? Umur pasar ini sudah mencapai 400 tahun. Dibangun dengan tenda-tenda. Stef kemudian mengajak kami mengelilingi pasar. Yang menarik buatnya adalah menemukan ramainya orang berinteraksi, seperti 400 tahun yang lalu. Kemudian membeli keju organik dan yang sangat menarik adalah tenda penjual jamur untuk makanan. Kami membeli berbagai jamur. Pasar itu kini tidak setiap hari buka. Mereka berjualan di atas ruang publik. Selama 400 ratus tahun tempat itu tidak digusur konglomerat properti. Bukan karena konglomerat tidak ingin memiliki ruang itu, tapi rakyat bawah sudah berkali-kali menunjukkan kekuatan mereka menentang dominasi kaum kapitalis di sana. Mereka menjaga kota itu. Setelah puas melihat pasar, kami menuju kafe di pinggir pasar. Sebuah kafe kecil, mungkin namanya kafe Hegeraad. Di Belanda cafe seperti ini disebut Brown Cafe (Bruin Cafe). Karena warna interiornya cokelat gelap. Tapi, Cozy (enak), suasananya. Orang-orang bertumpuk di dalam. Mirip-mirip warung kopi di Indonesia. Tidak ada musik. Semua orang datang memang mau minum (bir) dan berbincang-bincang atau ngerumpi. Stef mengajak kami ke dalamnya. Hasil tes antigen saya belum bisa saya upload, ada masalah di handphone. Namun, dengan gaya "Amsterdamer" kami masuk ke bagian belakang. Duduk dengan kursi dan meja yang juga berdesakan dengan pengunjung lainnya. Jas tebal digantung saja di kursi. Stef menyuruh saya dan istri duduk saja, biar dia langsung memesan ke kasir, agar pelayan tidak datang memeriksa QR Code. Kami menghabiskan kopi dan Stef dengan birnya sambil mengobrol. Pemilik Cafe itu mengenal Stef secara dekat. Pasalnya saat muda, puluhan tahun lalu, Stef berhasil bernyanyi di cafe tersebut. Awalnya, pemilik kafe itu menolak, karena aturannya dilarang musik. Namun, Stef berkali-kali meminta agar pengunjung cafe diberikan hak untuk mendengar dia bernyanyi. Dan berhasil. Itu karena dikenal, yang membuat Stef bisa membawa saya masuk tanpa QR Code. Dan, cafe itu memuat foto Stef masa muda yang menghibur pengunjung. Usia kafe ini hampir sama dengan usia pasar. Di ruang publik depan kafe itu, seniman Amsterdam dulu sering tampil menghibur ratusan maupun ribuan pengunjung. Teater publik. Orang-orang yang datang ke pasar itu, ke kafe dan yang tinggal di rumah-rumah adalah bagian dari sebuah kota. Kota adalah tentang sebuah sejarah yang berkelanjutan. Kota sejatinya adalah pertarungan hidupnya orang-orang miskin melawan dominasi orang kaya. Kota juga adalah sebuah karya seni. Seni, karena kota itu dibangun untuk keindahan warganya. Dan, tentunya tempat menampilkan karya seni. Tentang karya seni ini, Rembrandt adalah pelukis yang sempat besar di daerah Jordaan itu. Saat ini, ratusan tahun kemudian, atas dukungan pemerintah Belanda, dan pecinta Rembrandt, Museum Belanda akan membeli lukisan Rembrandt The Standard Bearer) yang ada di Prancis, senilai USD 198 juta. Selepas dari Kafe Hegeraad, kami melanjutkan lagi jalan kaki. Kembali lagi berputar-putar menyusuri jalanan sempit yang indah. Kami berhenti di De Roode Bioskop. Sebuah teater. Itu terkenal dulunya sebagai pusat propaganda kaum buruh. Kami bertemu penjaganya, perempuan cantik, secara kebetulan. Dia membolehkan kami masuk. Sebuah tempat kosong jika tidak ada pentas. Stef menceritakan dahulu dia sempat menyewa itu. Di masa pergolakan Komunis Eropa abad ke-19, berkali-kali tempat itu diserbu tentara dan polisi Belanda serta preman-preman yang dibiayai kaum pemilik modal. Di sebelah De Roode Bioscoop ada Kafe Spinoza. Kafe ini diambil dari nama Benedict Spinoza, filosop keturunan Yahudi Belanda ini, yang menjadi inspirasi Hegel. Hegel di kemudian hari menginspirasi Karl Marx. Mungkin ini alasan yang menjadikan Kafe Spinoza itu dulu mendukung gerakan kiri di De Roode Bioscoop. Kami makan siang di situ. Setelah makan siang, waktu sudah hampir jam 14. Sudah 4 jam kami bersama Stef, berbicara tentang kota, Amsterdam. Kami melanjutkan perjalanan, tepat berpisah arah dengan Stef jam 14, lalu saya dan istri mengurus lagi QR Code di Stasiun. Selanjutnya kami naik ferry parawisata yang membawa keliling kota melalui sungai-sungai dan kanal. Kembali kepada awal mula cerita ini, ketika saya mengatakan tidak ada kota di Indonesia, khususnya Jakarta, pada istri saya, sebenarnya saya ingin menegaskan bahwa kota-kota di sini dikuasai para kapitalis tanpa perlawanan. Mereka membangun gedung-gedung tinggi tapi tidak memiliki makna kota. Tidak ada sejarah, tidak ada kesenian, tidak ada standar (seni) sky-line, orang-orang penghuni lama dibiarkan tersingkir ke pinggir, Masjid digusur, dimusnahkan, dan lain sebagainya. Bagaimana sebuah peradaban mau dibangun tanpa kita punya sebuah kota? Bagaimana sebuah kota ada jika rakyat ternyata tak memilikinya. Bagaimana sebuah kota itu disebut kota kalau tidak berlanjut sejarah kehidupannya? Demikian dulu. Salam dari Hotel Karantina. Penulis Aktivis KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia)

Catatan dari Hotel Karantina Hari Keempat: Tentang Waktu

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan HARI ini hari keempat saya di Karantina. Sudah mulai hilang jetlag. Tidur cukup. Ukuran suhu badan yang dikontrol hotel setiap pagi normal 36°C. Sudah hari ke-5 sejak tes PCR sebelum keberangkatan. Saat ini saya ingin menyumbangkan pikiran lagi tentang "waktu". Ini tidak berkaitan dengan Karantina, tetapi Karantina ini membuat saya harus beraktifitas, yakni menulis. Saya hanya ingin berdiskusi atau menjelaskan tentang waktu karena ada beberapa hal, pertama istri saya, juga via WA ketua RW kompleks saya tinggal dan juga seorang teman SMA dulu, mempertanyakan, "kenapa saya menyatukan waktu Sholat atau dijama'. Bukankah saya sudah di Jakarta? Kedua, ketika saya ketemu dengan sepupu mertua saya di Groningen, yang usianya hampir 70 tahun, meyakinkan saya tentang rencana hidupnya ke depan selama 20 tahun berikutnya. Ketiga, bagaimana saya mengetahui tujuan saya ketika naik bus dan kereta api dengan melihat satuan menit ketibaan. Keempat, bagaimana istri saya bisa dapat ucapan ulang tahun dua kali pada waktu yang sama, di atas udara Singapura dan di atas udara sebelum tiba ke Belanda, pada waktu ataujam yang sama. Untuk yang pertama saya uraikan di atas adalah hubungan waktu dan keyakinan. Yang kedua itu berkaitan dengan prediksi usia hidup (life expectancy) dan rencana hidup. Yang ketiga yaitu terkait modernitas dan efisiensi. Dan, keempat terkait filosofi waktu. Dalam Karantina 10 hari ini saya dikurung dalam hotel dengan asumsi bahwa saya termasuk yang mempunyai probabilitas membawa coronavirus ke Indonesia. Dikurung artinya mirip dipenjara. Bedanya pada saat di penjara lalu, saya berada di bawah tanah selama 10 bulan, sedangkan ini bisa melihat apartemen/gedung di seberang hotel. Persamaannya adalah saya kehilangan konsep atau esensi soal waktu. Dalam menempatkan waktu dan keyakinan, seperti urusan Sholat di Jama' (disatukan waktunya), Islam mengatur waktu Sholat Jama' dengan satuan jarak dan waktu. Satuan jarak adalah perjalanan sekitar 80 KM. Sedang satuan waktu terkait dengan kedaruratan seseorang. Orang sakit misalnya mempunyai masalah dengan waktu yang dikaitkan dengan kekuatan fisiknya atau mental. Di penjara atau seperti di Karantina ini mempunyai konsekuensi kedaruratan, yakni karena mental seseorang mengalami gangguan. Pengurangan atau pembatasan kebebasan seseorang membuat adanya "mental disorder". Suatu hari saya bertanya pada guru ngaji saya, dahulu, namanya Dr. Imaduddin Abdurrahim, salah seorang pendiri Masjid Salman ITB, tentang "apakah saya boleh menjamak atau meng Qashar sholat ketika nyetir dalam kemacetan di Jakarta?". Dia menjawab boleh. Dalam Mazhab Maliki, yang dianut teman saya ketika di penjara terkait pasar muamalah Dirham (emas), Zaim Saidi, penyatuan waktu Sholat menurut mereka dapat disatukan sekaligus dari Subuh, Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya dalam hal mana terjadi keterpaksaan atau misalnya seseorang ketiduran sepanjang siang malam. Sholat Jama' dilakukan ketika seseorang bangun dari tidur atau lepas dari kedaruratannya. Kedua, kita akan berdiskusi tentang orang lansia di Belanda. Perempuan senior yang saya temui di Belanda dalam cerita ini, mengajak kami bertemu di restoran vegetarian, di pusat kota Groningen. Dia baru saja pensiun lebih awal, sebulan, pas ketemu November lalu. Pada usia ke 69, dia menceritakan tentang apa yang harus dia kerjakan dan berbagai kesibukan untuk hidup selama 20 tahun lagi. Dia berencana membuka terapi alternatif, menjalani "kehidupan" Buddha, merenovasi rumah, menghabiskan waktu dengan membaca buku, dan lain sebagainya. Dia pernah bersuami dengan orang Afrika, tapi sekarang hidup sendiri dan mempunyai kecurigaan bahwa lelaki yang ingin mendekati dia, kebanyakan untuk mendapatkan uangnya. Dia mau hidup sendirian selanjutnya, dan Vegetarian. Juga, tidak mau minta subsidi negara. Fenomena lansia, perempuan, hidup sendiri akan menjadi tantangan bagi negara-negara yang mempunyai harapan hidup yang semakin tinggi. Indonesia sedang mengalami hal yang sama di berbagai kota besar. Semakin banyak lansia yang sehat. Persoalannya di Indonesia ada istilah janda, untuk seorang perempuan, sehingga membuat seseorang kesulitan membangun perencanaan, jika dibandingkan di Belanda, yang tidak ada streotif janda. Kedua, konsep hidup di Belanda berdasarkan rasionalitas yang independen terhadap keberadaan Tuhan. Lansia tidak memikirkan hidup setelah mati, di sana. Pada saat bertemu dengan perempuan itu, saya dan istri mengantar dia mengambil alat perbaikan ban sepeda, ke apartemen dia. Apartemen itu cukup elit untuk ukuran Groningen. Kami kembali ke pusat kota (centrum) di mana dia harus memperbaiki ban sepeda, secara sendiri. Dia akan pulang dengan bersepeda 30 menit dari kantornya. Artinya dia minimal bersepeda satu jam sehari jika bekerja, begitu sehatnya. Prediksi waktu hidup adalah khas dunia modern. Itu dicatat WHO setiap tahunnya. Sebuah dunia yang penuh rencana hidup. Dalam konsep fatalistik, semuanya diserahkan pada Tuhan Sang Pencipta Alam. Takdir, katanya. Orang-orang Barat yang mayoritas tidak percaya tuhan mempunyai keunggulan dalam sisi tertentu, seperti keinginan yang kuat untuk bertahan hidup dan dalam umur yang panjang. Namun, di sisi lain mempunyai tantangan spritual, sosial dan ekonomi yang penuh teka-teki kedepannya. Usia resmi pensiun di Belanda saat ini adalah 67 tahun. Ini sebagai jalan keluar terhadap pengurangan beban ekonomi subsidi populasi lansia. Di Indonesia orang-orang lalu berpikir akan menjalani kehidupan agama setelah pensiun. Usia pensiun 56 tahun. Mereka mulai berpikir kematian. Rajin beribadah. Memang, beberapa orang yang masih ingin berkuasa atau berbisnis, tetap berusaha hidup lama untuk urusan dunia. Namun, di Indonesia dimensi waktu dan keyakinan agama mempunyai korelasi yang kuat. Apakah ini peluang atau tantangan? Kembali, misalnya di Belanda, dengan tidak ada istilah janda tadi, mereka terbebas dari stigma kehidupan kesendiriannya. Batasan sosial untuk melakukan aktifitas tidak terjadi. Apakah itu mungkin bisa nantinya menjadi acuan, jika usia lansia yang Indonesia semakin panjang? Ataukah sebenarnya usia panjang tidak perlu direncanakan jika kita percaya ketentuan waktu hidup ada ditangan Tuhan? Perihal bahasan ketiga adalah soal waktu dan efisiensi. Mungkin ini bukan kisah baru di Belanda, atau negara maju lainnya. Ketika saya naik kereta api dari Leiden Central ke Kota kecil Zuid-Soest, pinggiran Utrecht, dengan aplikasi 9292, saya mendapatkan prediksi waktu sampai ukuran menit. Saya coba membiasakan tidak melihat layar kota kereta api berhenti, baik transit di Utrecht maupun ke Soest Selatan. Saya cukup dengan satuan menit dari jam kereta tiba. Begitu juga naik bus, saya tidak pusing dengan layar halte bus, melainkan menit waktu yang ada di handphone. Selalu berhasil. Di Jakarta kereta komuter Jabodetabek sudah berusaha memberikan pelayanan dalam satuan menit, begitu pula Trans Jakarta. Namun, mengatur ketepatan waktu dari sebuah titik keberangkatan ke titik tujuan terhalang oleh konektifitas transportasi yang ada. Jika seseorang ingin memarkir mobilnya di stasiun kereta api, satuan waktu menuju stasiun kereta api tergantung kemacetan jalan dan adanya ketersediaan parkir di stasiun. Saya selalu mengalami kesulitan parkir dari rumah saya di Depok, jika harus naik kereta api, mengejar waktu ke Jakarta. Harus mencari parkir di pondok Cina atau Lenteng Agung, biasanya penuh. Fasilitas parkir seperti ini sudah ada di Belanda sejak puluhan tahun lalu, setidaknya ketika saya tinggal di sana pada 1993-1995. Saat ini berbagai perusahaan parkir malah sudah membuat parkir basement di berbagai titik di kota-kota Belanda. Saya sering memikirkan itu agar ada di stasiun Universitas Pancasila, sisi belakang, misalnya, untuk 1000 mobil. Di Indonesia kalau memanfaatkan parkir basement hotel tentu sangat mahal tarifnya. Parkir motor mungkin sudah terfasilitasi di Indonesia, khususnya oleh masyarakat biasa di sekitar stasiun kereta. Selain itu, cakupan jalur transportasi publik dengan konteks waktu yang terukur, terbatas ruasnya. Jalur Transjakarta mungkin hanya ada di sepanjang Thamrin-Sudirman dan Kuningan-Ragunan. Tanpa jalur busway, mengukur jarak dalam satuan waktu tidak gampang lagi. Apakah cerita ini masih menjadi penting buat kita? Sejauh apa kita butuhkan? Ini tergantung dari keyakinan kita atas modernisasi yang berbasis efisiensi. Satuan waktu terhadap produktivitas, dalam dunia modern, menjadi ukuran utama. Adik istri saya yang menjadi direktur keuangan di sebuah perusahaan logistik (Air Cargo) berbasis di Schiphol, mengajak saya tour melihat efisiensi kerja di Warehouse Cargo di sana. Dalam masa Covid ini, kegiatan logistik hampir pulih. Banyak pesawat penumpang dipakai untuk cargo. Di akhir tour dia bercerita pada saya akan menambah tingkat otomatisasi usaha logistik ini. Saya sedikit terdiam. Lalu dia pun berkata "Ya, selalu ada problem antara mempertahankan ketersediaan lapangan kerja dengan efisensi". (Mungkin dia ingat saya adalah pengurus organisasi buruh). Otomatisasi yang ada di sana mungkin sudah hampir sempurna. Dengan luas gudang 40.000 m2, dikerjakan hanya beberapa orang, tentu berbeda dengan penanganan logistik diberbagai pelabuhan, misalnya, ketika saya menjadi komisaris Pelindo2, beberapa tahun lalu. Bagaimana nasib buruh pelabuhan kita jika efisensi hampir total benar-benar dijalankan? Begitu juga di Belanda, hampir semua pusat ritel mirip seperti di Indomaret menyediakan lebih banyak line untuk pembayaran tanpa orang. Kita hanya perlu men-scan barcode sendiri dan bayar sendiri. Jika itu harus terjadi di Indonesia apakah pengangguran akan bertambah? Di Indonesia orang-orang banyak mengatakan kita hidup dalam sistem "jam karet". Tapi kita juga faktanya hidup dalam waktu yang tidak memisahkan kalimat "past, present dan future". Orang-orang Belanda dan Barat melihat waktu versus change secara terukur ketat dan dalam rentang waktu yang berkelanjutan. Waktu menggerakkan manusia, bukan manusia yang mengontrol waktu. Kesibukan manusia di Barat itu membawa kemajuan peradaban mereka, berupa hidup yang sehat dan bahagia. Setidaknya dalam indeks kesehatan dan kebahagiaan versi barat atau yang sering dibuat sebagai referensi internasional. Di Indonesia dengan jam karet dan penuh ketidak pastian, peradaban kita terlihat terkebelakang. Pemimpinnya sering berjanji dengan prediksi waktu, misalnya "ekonomi meroket" dalam bulan x, namun waktu berlalu, janji itu tinggal janji. Masyarakat kita juga biasa dengan jam karet, tidak membuat referensi berdasarkan waktu menjadi penting, sehingga tidak marah dengan janji palsu. Karena satuan waktu dalam ukuran tidak jadi sandaran. Para perencana negara juga tahun demi tahun meng "copy-paste", tidak jelas kapan evaluasi dan kapan perencanaan, sebab kita biasa dalam hidup tanpa "past tanse, present dan future". Orang-orang yang digerakkan waktu belum tentu juga akhirnya hidup bahagia. Adik ipar saya harus mengurus club bola VVSB dan memperbanyak liburan untuk membuat hidup yang seimbang, antara kerja dan sosial. Banyak juga pekerja senior di Belanda telah memulai kerja sosial, beberapa hari dalam sebulan. Mereka senang stress-nya berkurang dengan aktifitas sosial itu. Orang Indonesia tentu harus menghargai waktu. Orang-orang Islam yang mayoritas, mungkin lebih banyak Sholat dengan surat Al Ashar, dengan kalimat yang Allah di ayat pertamanya bersumpah: "Demi Waktu". Artinya waktu itu sangat penting. Hanya persoalannya antara waktu dan "change" kebanyakan penganutnya Platonis. Plato dan Newton, dalam Stanford Ensiklopedia, menjelaskan waktu itu independen, terpisah dari perubahan (change) ataupun gerak/peristiwa. Time is Time, kata mereka, seperti space/ruang. Ini perlu pertimbangan, apakah kita harus masuk dalam budaya yang digerakkan waktu atau menjadi Platonis atau diantaranya? Cerita keempat saya terkait waktu adalah ulang tahun istri. Pada saat dia ulang tahun 7/11 lalu, pesawat kami berada di atas Singapura, baru saja take off, lanjut penerbangan. Itu jam 12 malam lebih. Pramugara yang ramah itu membawa kado, mengucapkan selamat ulang tahun. Lalu, dia melanjutkan, nanti sebelum sampai Belanda mereka akan datang menyampaikan selama ulang tahun lagi. Peristiwa ini membuat saya merenung tentang waktu dalam kajian filosofis. Benarkah waktu itu ada? Atau sekedar ciptaan? Benarkah waktu itu seperti kata Aristoteles hanya ada jika dikaitkan dengan peristiwa/event? Kenapa Plato berbeda dengan Aristoteles? Kenapa istri saya setelah ulang tahun di atas Singapura, kembali waktunya belum berulang tahun ketika menuju arah Belanda? Renungan saya antara lain, pertama Habib Rizieq Syihab ketika ceramah agama di penjara Bareskrim tentang Nabi Muhammad Isra' dan Mi'raj, menjelaskan soal pertemuan Muhammad dengan Nabi-nabi terdahulu dalam perjalanan ke langit. Lalu, bagaimana dimensi waktu antara pertemuan itu dengan kematian para nabi terdahulu? Kemudian, cerita lainnya, suatu hari dahulu, guru ngaji saya meyakini doanya agar pencuri yang datang ke rumahnya tidak mengambil barang penting, itu terjadi. Masalahnya, pencuri itu datang dan pergi sebelum doa itu ada. Alkisahnya anak guru saya memberitahu dia via SMS/WA tentang kejadian pencuri itu datang, padahal sang guru sedang bersiap Sholat Jum'at di sebuah Masjid. Lalu guru saya, sehabis Jum'atan berdoa, agar pencuri itu gagal mencuri. Nah, pencuri itu memang sudah gagal mencuri barang penting. Itu katanya adalah hasil doa. Habib Rizieq Syihab adalah doktor dan guru ngaji saya adalah alumni dan kandidat doktor di kampus papan atas. Dimensi waktu menurut mereka berbeda dengan apa yang kita ceritakan di atas. Waktu, menurut Habib Rizieq Syihab, dimensinya Ghaib, bukan irasional tetapi beyond-rasional. Sedangkan guru ngaji saya tersebut yakin bahwa waktu dalam dimensi kekuasaan Allah tidak harus dalam arah (time direction) manusia. Ada 12 teori tentang waktu yang diringkas Stanford Ensiklopedia. Terlalu rumit untuk menguraikannya di sini. Dalam penjara di bawah tanah maupun dalam Karantina 10 hari saya berusaha bertahan dengan waktu yang berjalan. Di penjara saya membiarkan waktu dan saya secara terpisah. Saya tidak mengerti siang dan malam. Memang khusus untuk Sholat, saya berusaha ada waktunya, namun selebihnya bagaimana tubuh beradaptasi saja. Allah SWT menjadikan siang dan malam sebagai bagian pertanda waktu. Manusia telah membuat waktu dalam perspektif Aristotelian. Sekarang bagaimana kita membuat waktu berkorelasi dengan kemajuan peradaban kita. Biasakan kita punya cara yang tepat? Tidak jam karet, tidak gampang umbar janji palsu, tidak korupsi waktu, tapi juga tidak dikendalikan waktu. Demikianlah. Salam dari Hotel Karantina. Penulis Aktivis KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia)

Catatan dari Hotel Karantina Hari Ketiga: Kata Maaf

Oleh: Dr Syahganda Nainggolan (Sumbangan pikiran untuk Rocky Gerung, Jumhur, Ferry Juliantono dkk perjuangan semua) INI hari ketiga saya di Karantina. WA saya ke menejer hotel sebagai berikut: "Pak Y, soal cemilan yang dititip staf saya itu perlu pengertian pihak hotel. Jika restoran hotel pelayanan bagus dan cepat, tentu buat saya gampang pesan. Tapi, ini pengalaman saya terburuk di hotel ini. Hari pertama makanan dinner datangnya dinihari, tidak langsung disediakan. Plus pagi ini gak ada sarapan. Kalau hubungi restoran terdapat jeda waktu yang lama..." Saya minta staf saya mengirimkan pisang, roti dan selai bersamaan dengan "skipping" dan "Yoga Mat". Saya kesal sekali bangun hari ini. Bangunnya siang, karena "jetlag" tubuh saya masih pagi. Harusnya tadi malam saya makan jam 12 malam, karena tubuh saya untuk jam Belanda masih seharusnya jam makan malam. Saya makan apple aja dan "pudding" yang saya sisakan dari makanan sebelumnya. Kesal karena jatah sarapan saya tidak ada pagi ini. Ketika saya laporkan ke hotel, belum diantar juga. Manajer yang saya WA langsung sigap. “Siap pak!” katanya. Namun, belum diantar juga. Akhirnya jatah sarapan saya datang bersamaan dengan jatah makan siang. Ini masalah buat saya. Apalagi saya harus mengontrol agar sakit maag saya tidak kambuh. Saya sudah wajib membayar paket hotel plus makan, tapi kenapa tidak boleh order makanan ekstra via Go Food? Kenapa restoran lambat? Bahasan saya hari ini adalah soal "kata maaf". Ini tidak saya temukan dari WA saya dengan pihak hotel, baik manajer maupun jajaran bawahannya. Soal ini penting di bahas oleh bangsa kita. Itu soal budaya. Pada saat saya, Jumhur dan Ferry Juliantono mengunjungi Rocky Gerung di pertapaannya, saya mengutarakan di atas analisa ekonomi politik khas Rizal Ramli dan Faisal Basri, kita perlu bicara budaya. Refleksi saya selama 10 bulan di penjara saat itu, bangsa ini memerlukan kebangkitan budaya untuk bangkit kembali. Rocky Gerung lalu merenung untuk sebuah nama dari perkumpulan yang akan kami lakukan, akhirnya keluar dari kepalanya nama "Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia". Kata maaf itu adalah bagian dari kata penting dalam masyarakat maju. Di samping kata lainnya "terima kasih" (thanks) dan silakan/mohon (please). Tanggal 5/12 di bandara Schiphol ketika Check-In Baggage, perempuan cantik di desk itu mengatakan bahwa kami tidak bisa memasukkan koper karena tidak terdaftar dalam pembayaran. Kami harus membayar untuk dua koper, kira-kira 40 kg. Wow! Itu mahal sekali. Saya langsung protes bahwa perusahaan penerbangan dia buruk, karena saya sudah membayar dalam sistem terpisah, termasuk saya membayar kursi (chargeable seat). Dia langsung kaget dengan protes saya. Oh, baiklah, saya akan menemani anda ke petugas kontrol yang bisa melihatnya, katanya. Lalu, kami jalan 25 langkah ke petugas kontrol itu. Petugas kontrol itu, orang Afrika-Belanda, meminta petugas check-in segera kembali, karena dia seharusnya tidak boleh meninggalkan koper kami di sana. Dan antrian juga mengular panjang. Setelah di-check, pembayaran tiket kami termasuk pilihan kursi dan bagasi, dia langsung mencetak Boarding Pass. Dia meminta maaf ada kesalahan sistem mereka. Seharusnya, meski pembelian tiket penerbangan, kursi, bagasi dll terpisah, harusnya itu tidak membuat penumpang yang susah. Ya dia meminta maaf. Ketika istri saya menegaskan agar kalian jangan menyusahkan penumpang, dia membalikkan dengan canda seperti doa "segala sesuatu yang sulit di depan, akan indah dikemudian nanti". Penuh senyum. Dan kamipun senang. Hal yang sama, urusan bagasi terjadi pada 6/11 di Bandara Sukarno Hatta, untuk penerbangan yang sama. Bedanya saja petugas check-in ngotot dan terkesan menyalahkan penumpang. Setelah ribut akhirnya petugas kontrolnya datang. Dia mengatakan bahwa pembayaran tiket kami termasuk kursi dan bagasi berbayar. Tapi mereka tetap minta bukti dari saya. Saya tetap bertahan bahwa itu kesalahan penerbangan. Saya tidak mau membuka email di hp yang menjadi bukti pembayaran. Penerbangan itu tidak boleh menyusahkan saya. Akhirnya mereka mengalah, dan bagasi saya bisa masuk. Namun, saya tidak mendapatkan kata maaf dari gadis-gadis cantik petugas check-in itu. Bahkan setelah saya katakan harusnya kalian meminta maaf. Gadis cantik petugas check-in di Indonesia dan di Belanda adalah gadis-gadis dari perusahaan yang sama. Termasuk lelaki berkulit hitam di desk kontrol di Schiphol itu. Tapi kenapa mereka berbeda dalam melayani manusia yang sama? Itu adalah soal budaya. Anak saya yang kuliah di antropologi sebuah universitas papan atas Indonesia memberitahu bahwa dosennya melarang mahasiswi untuk berkata "maaf pak, ijin bertanya..", pada saat dosen mempersilakan mahasiswa berdialog. Dosen antropologi itu sudah bolak-balik kuliah di luar negeri. Kata dosen anak saya itu, tidak ada urgensinya meminta maaf untuk sesuatu yang tidak perlu dimaafkan. Faktanya itu memang jadi budaya kita. Dalam setiap event bahkan arisan ibu-ibu, seringkali datang ucapan maaf seperti "teman-teman sekalian terima kasih atas kedatangannya, mohon maaf seribu maaf atas pelayanan kami dan makanan kami yang kurang memuaskan.., harap maklum..bla..bla.. bla. Namun, kata maaf ini belum jelas benar kegunaannya. Apakah maksudnya untuk dipuji tentang keenakan makanan atau pelayanan? Sebuah klise? Budaya modern mengharuskan kata maaf itu datang dari sebuah kesalahan atau kekhilafan. Hal ini akan spontan keluar dari mulut orang Belanda, "Oh, sorry meneer", jika terjadi kesalahan. Atau dia melihat kita tidak nyaman atas sikapnya. Apalagi jika pemerintahan membuat suatu keputusan sensistif. Saya melihat sendiri ekspresi wajah perdana menteri Belanda Mark Rutte ketika mengumumkan soal pengetatan aturan Covid 19. Mukanya sedih. Bahkan, dia tidak menghadiri pemakaman ibu kandungnya yang wafat pada saat wabah Covid-19 tinggi di sana. Tapi bukankah kita bangsa pemaaf? Bahkan ada joke yang bercerita, ketika kaki seseorang ditindih kaki orang lain tidak sengaja dalam sebuah kerumunan, orang yang tersakiti malah berkata "maaf ya mas, kakimu gak sengaja di atas kakiku". Atau dalam beberapa kali kecelakaan yang mengakibatkan kematian di jalan tol, pihak keluarga korban misalnya mengatakan "kami pasrah pada Allah. Itu sudah takdirnya. Kami memaafkan penabrak anak saya". Apalagi kalau menjelang lebaran, orang-orang Indonesia paling sering mengirimkan postingan mohon maaf lahir dan batin. Dulunya cuma habis lebaran. Sekarang bahkan lebaran haji dan banyak hari lain yang dianggap suci dimanfaatkan berkirim permohonan maaf lahir batin. Dalam ajaran Islam bahkan diperintahkan untuk memaafkan saudara se iman dalam tempo maksimal 3 hari. Kita juga sebagiannya berusaha memaafkan para pejabat koruptor dengan mengubah pengertian korupsi dengan pungli, beberapa saat belakangan ini. Biar hukumannya murah. Bahkan, menjadikan mantan koruptor komisaris BUMN. Dimaafkan. Tapi, secara paralel, tema sejarah kita dilukiskan penuh dendam kesumat. Baik cerita perang Bubat antara kerajaan Sunda versus Jawa. Dendam sejarah terwarisi sampai saat ini. Ketika saya masih kuliah di ITB atau mungkin pas tinggal di Bandung, ada restoran Gajahmada tepat di Jl. Dago, belakang ITB. Namun, restoran itu tidak bertahan lama, tutup, karena sepi pembeli. ]Teman saya Jumhur Hidayat, yang mengaku keturunan Raja Panjaluh-Sumedang, menyakini bahwa perang Bubat itu sebuah produk penyimpangan sejarah. Sejarah diciptakan untuk permusuhan antara Jawa versus Sunda. Sayangnya hal ini sudah mendarah daging. Dendam kesumat. Kultural. Begitu juga jika kita membaca Arok-Dedes karya Pramoedya Ananta, isinya juga perang turun-temurun di kerajaan Jawa, penuh dendam. Lalu apakah bangsa kita bangsa pemaaf atau pendendam? Ini adalah wilayah kaum antropolog. Saya kesulitan mendapatkan jawaban sampai saat ini. Sebenarnya saya sudah janjian ketemu dengan ahli sejarah Indonesia, Professor Gert Oost Indie yang akan diwakili Professor Steijden untuk membahas ini di Belanda kemarin. Saya melemparkan pertanyaan tentang benarkah Bangsa Indonesia itu dulu ada? Benarkah Indonesia bangsa pinggiran? Professor Steijden berjanji untuk mengatur pertemuan setelah tanggal 3/12, tapi saya keburu kembali ke tanah air. Di museum antropologi di Leiden, yang saya kunjungi beberapa minggu lalu, yang menampilkan beberapa pameran Asia (Indonesia, Jepang, China Korea) dan Bangsa Astek, Meksiko, hall Indonesia paling depan. Sayangnya yang paling menonjol di stan Indonesia adalah puluhan jenis Keris. Bukankah keris simbol perang? Kembali kepada kata maaf, faktanya itu bagian dari kata penting dalam masyarakat beradab. Jika koruptor mencuri uang rakyat, itu tidak bisa dimaafkan. Jika pejabat bisnis alat kesehatan untuk pandemi Covid itu tidak bisa dimaafkan. Jika pemimpin pemberantasan korupsi harta kekayaannya naik berkali lipat selama menjabat itu tidak bisa dimaafkan. Jika saya mengutuk UU Ciptaker lalu dipenjara 10 bulan, kemudian hari Mahkamah Konstitusi mengatakan UU itu bertentangan dengan UU Dasar 1945, perbuatan penangkapan itu tidak bisa dimaafkan. Tapi mereka harus minta maaf. Koruptor misalnya harus minta maaf. Saya telah membahas ini dalam tulisan saya dahulu tentang permohonan maaf eks presiden Korea Selatan sebelum dia bunuh diri lompat dari bukit di belakang rumahnya. Katanya, "Kepada rakyatku, maafkan aku". Dia bunuh diri karena malu dituduh korupsi. Kata maaf harus dibudayakan sebagai bagian integritas manusia. Tidak memaafkan juga bagian penting integritas, seperti terhadap koruptor dan penjual pengaruh kekuasaan. Itu kata-kata penting masyakarat beradab, disamping ucapan terima kasih (thanks) dan mohon/silakan (please). Kata maaf ini mungkin pernah ada di Indonesia atau mungkin telah disalahkan artikan. Mudah-mudahan bangsa ini akan mampu masuk pada tema peradaban. Bukan sekedar adu kuasa dan cepat kaya serta sifat menang sendiri. Penulis Aktivis KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia)

Catatan dari Hotel Karantina Hari Kedua: Sumbangan Pemikiran untuk Pelancong Mancanegara

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan TADINYA saya tidak akan menulis pengalaman ini. Namun karena saya di-share tontonan diskusi "Karantina 10 Hari: Menyelamatkan atau Menyesatkan", talk show Priyadi Abadi di YouTube, dengan Narsum Artha Hanif (ASITA), Salam Ibrahim (lembaga perlindungan konsumen penerbangan dan parawisata), Ivo Kwok (Profesional Tour Leader) dan Davy Batubara (Astindo), saya tergelitik untuk menulis. Pertama, para pembicara mewakili Stakeholder isu ini merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah, seperti membuat kebijakan Karantina 10 hari bagi pendatang perbatasan, baik WNI maupun orang asing. Hal ini membuat banyak bisnis mereka yang dirugikan, karena rencana tour yang sudah direncanakan menjadi berantakan. Kedua, kritik saya mungkin memperkuat kritik yang muncul dalam diskusi tadi. Misalnya usulan seorang pembicara agar Karantina dilakukan di rumah saja, khususnya bagi WNI, yang pemerintah memantau mereka via aplikasi Peduli Lindungi. Saya mulai dengan cerita saya ketika mertua saya memberitahu saya untuk menonton pengumuman penting Mark Rutte, Perdana Menteri Belanda atas kebijakan baru saat itu. Itu tanggal 26 November, sehari sebelum saya ulang tahun 27 November. Tanggal 26 November ini adalah pengumuman yang sudah direncanakan oleh pemerintah Belanda secara periodik. Sebelumnya Rutte mengumumkan tanggal 12 November. Kami memerlukan pengumuman itu karena kami telah memesan (reservasi) restauran untuk makan malam (dinner) keluarga. Pengumuman itu sudah diprediksi, melihat situasi coronavirus yang semakin bertambah, maka akan ada pengetatan. Benar saja terjadi pembatasan waktu buka restoran, yakni dari pukul 20.00 menjadi pakul 17.00. Untungnya itu berlaku tanggal 28 November. Diakhir pidatonya, Rutte menyatakan akan menyampaikan pidato terkait isu ini pada 12 Desember. Kebijakan Rutte ini banyak ditentang anak-anak muda anti vaksin dan anti aturan pembatasan. Beberapa kali terjadi demo rusuh di berbagai kota Belanda. Namun, Rutte tetap tegas. Sejak pengumuman tanggal 26/12 ini restoran dan museum, misalnya, mewajibkan pengunjung memakai masker, bahkan jika ke toilet meninggalkan meja makan. Sebelumnya saya beberapa kali mendapat kemudahan masuk museum dan restoran hanya dengan bukti vaksin di Indonesia. Memang secara umum saya harus melakukan antigen test, gratis dan mudah dijangkau, untuk kemudian bisa di upload ke QR Code, untuk ke restoran atau museum. Sejak tanggal 28/12 itu saya melihat antara lain pelayan restoran mengusir pengunjung anak2 muda yang tidak punya antigen test, serta keamanan stasiun kereta api menegur orang yang tidak menggunakan atau kelupaan pakai masker. Untuk pengguna transportasi darat dan ferry (air) memang tidak dibutuhkan antigen test, seperti bus maupun kereta api, kemanapun. Namun, hotel sudah mulai banyak mensyaratkan. Sebagiannya masih membolehkan dengan syarat test antigen hanya ke restoran hotel. Sejak 28/11 keramaian pertunjukan atau pertandingan olahraga sudah dilatang total. Stadion bola tidak boleh ada penonton lagi. Sekolah tetap jalan, namun universitas dilakukan online. Untuk sekolah, guru dan murid melakukan test sendiri dua kali seminggu. Alat test dapat dibeli di apotek manapun dengan harga terjangkau. Keponakan saya pada saat kami berkumpul beberapa hari lalu, melakukan test Antigen sendiri, karena dia takut membahayakan kakek-neneknya yang berusia 80 an tahun. Anak-anak muda menyadari bahwa mereka kuat menahan virus Corona namun berbahaya jika menjadi OTG. Saya sudah menceritakan bagaimana pemerintah melakukan kebijakan di Belanda. Grafik Covid-19 yang naik akan mengakibatkan pengetatan. Sebenarnya mirip dengan kebijakan PPKM di Indonesia. Bedanya kebijakan di Belanda bisa diprediksi dan mencakup kebijakan lintas boder. Terkait lintas perbatasan, pemerintah melalui aku resmi memberitahu sebagai berikut: "You must self-quarantine for 10 days if you travel to the Netherlands after staying in a very high-risk area, including where there is a variant of concern. If you get tested on day 5 you might be able to shorten the quarantine period". Saya masuk ke Belanda dengan menunjukkan bukti sudah divaksin. Tidak perlu Karantina karena Indonesia masuk kelompok katagori "high risk" tapi tidak "very high risk". Juga tidak perlu test PCR di Bandara Schiphol ketika tiba. Sebagai perbandingan saja, saat ini, menurut "our world in data", vaksinasi Indonesia baru 36,3% sedangkan Belanda sudah dua kali lipat, yakni mencapai 73%. Pada 28 November, pemerintah Indonesia menaikkan masa Karantina dari 3 hari menjadi 10 hari. Pada saat pengumuman sebelumnya, 2/11, pemerintah menyatakan Karantina perbatasan hanya perlu 3 hari, bagi orang yang sudah divaksin penuh dan 5 hari bagi yang baru sekali vaksin. Alasannya karena keberhasilan vaksinasi di Indonesia dan menggiatkan ekonomi, khususnya turisme. Namun, kita tahu juga bahwa pertengahan November ada acara besar yang melibatkan semua elit negara, yakni balap motor GP di Mandalika, Lombok. Sebelum ada isu Omicron, sehabis "event Mandalika", pemerintah ternyata menaikkan kembali waktu Karantina menjadi 7 hari. Lalu sekarang naik lagi menjadi 10 hari. Pro-kontra Karantina 10 hari dalam diskusi "Karantina 10 hari: Menyelamatkan atau Menyesatkan" yang saya singgung di atas, tentu sangat relevan. Pertama, Karantina pelancong untuk di Jakarta mengeluarkan uang lebih besar di Jakarta dibanding kita travel di Belanda untuk hotel kelas yang sama. Pengeluaran saya di hotel Karantina ini mencapai Rp 16 juta lebih untuk sembilan malam. Penginapan dan makan. Makannya memang enak, tapi itu bukan pilihan. Di Belanda, misalnya saya menginap di Hotel Bastion Groningen dan Bastion Maastricht, saya membayar kamar seharga €60-70 plus makan perhari order mirip Go-Food €30 berdua. Khususnya kalau Doner Kebab yang besar, satu kali makan, kenyang sepanjang hari. Dengan €100 maka 9 hari akan keluar €900 atau Rp. 15.000.000. Kedua, menurut Debra Sullivan, Ph.D, MSN, RN, CNE, COI dalam "healthline", "it is not necessary to isolate if you: 1) are getting test as a travel requirement, 2) have not come into contact with anybody with Covid-19. 3) don't have any symptom. Untuk orang yang datang dari Belanda, misalnya, dengan kewajiban Antigen Test diberbagai space interaksi, sudah divaksin standar vaksin eropa/amerika dan di PCR test dua hari sebelum berangkat dan dites di bandara Sukarno Hatta, yang hasilnya negatif, tentu saja saya bingung maksud Karantina ini. Apakah perlu Karantina selama itu? Apakah anda pernah tahu bahwa "Health Declaration" menjadi syarat utama penumpang di Schiphol akhirnya tahu gate (gerbang) keberangkatan? KLM tidak akan meng-input pelancong meski memiliki tiket tapi tidak punya syarat yang diminta Indonesia, semisal surat vaksin dan hasil tes PCR negatif. Itu diverifikasi di Gate transisi sebelum masuk ke Gate sebenarnya. Apakah anda tahu "Health Declaration" yang memakan waktu 4 jam di bandara internasional Soekarno Hatta? Ketiga, Karantina di Hotel sebenarnya bisa membuat orang sehat menjadi sakit. Karantina di hotel kita hanya makan dan tidur maupun membaca atau menonton. Itu membosankan dan menggemukkan. Jika Karantina di rumah seperti di Belanda, dulu awal-awal Covid-19, pelancong dapat menghirup udara segar di rumah. Bisa olahraga dan mendapatkan cahaya matahari. Dalam teknologi digital yang canggih sebenarnya pemerintah Indonesia bisa mengontrol "self-quarantine" via koordinat peduli lindungi plus denda yang besar, misalnya Rp 5 juta jika melanggar regulasi. Ini juga bisa menghargai kedewasaan manusia traveller. Saya tertarik dengan kritik dari peserta diskusi yang mengatakan Karantina 10 hari yang untung pemilik hotel, bukan dia yang jadi agen perjalanan ke LN. Peserta itu mengeluh rombongan perjalanan ke Turki langsung cancel setelah tahu ada Karantina 10 hari. Saya juga senang kebanyakan pembicara mengkritik kebijakan pemerintah atas Karantina 10 hari ini. Sebenarnya yang perlu dipertimbangkan pemerintah secepatnya adalah ketelitian memeriksa para pelancong untuk mengklasifikasikan lebih baik lagi siapa yang harus dikarantina 10 hari? Siapa yang boleh dan kapan boleh karantina di rumah? Bagaimana membuat orang di Karantina hotel bisa berolahraga biar sehat dan tidak menjadi gemuk. Penulis Aktivis KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia)