Covid Baru Mereda, Masyarakat Diteror Lagi dengan Kenaikan BBM

Jakarta, FNN - Hitung-hitungan harga kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya subsidi pertalite dan solar sudah banyak diangkat bicara oleh beberapa pihak. Mulai dari pengamat yang berpendapat harga pertalite seharusnya Rp10.000 sampai Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati bilang harga BBM subsidi seharusnya Rp17.200 per liter.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengaku masih banyak pertimbangan dan perhitungan yang harus dilakukan secara detail oleh para menteri ekonomi yang sesuai dengan arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Kenaikan harga BBM ini membuat beberapa pihak menyampaikan fakta-fakta menarik terkait hitungan keekonomian mereka dalam berapa besar kenaikan harga BBM ini.

Salah satunya adalah Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati yang mengatakan bahwa harga Pertalite dijual dengan harga yang jauh dari harga keekonomian. Nicke juga menyampaikan bahwa harga Pertalite saat ini sebesar Rp7.650 per liter yang seharusnya dijual Rp17.200.

Nicke juga menyayangkan selisih dari harga penjualan Pertalite sebesar Rp9.550 per liter ini tentu saja akan sangat membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) karena Pertalite masuk ke kategori BBM subsidi.

Sedangkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati juga mengungkapkan perhitungannya bahwa harga keekonomian Pertalite seharusnya dijual di kisaran Rp14.450 per liter. Sedangkan untuk harga keekonomian solar senilai Rp13.950 per liter.

"Saya akan melakukan beberapa penjelasan maupun kemarin di DPD mengenai kondisi dari APBN terkait subsidi BBM. Jadi supaya bisa lebih menjelaskan dan sekaligus memberikan juga transparansi mengenai desain dari kebijakan pemerintah dari subsidi BBM yang jadi perhatian masyarakat luas," papar Sri Mulyani.

"Subsidi dan kompensasi itu identik, tapi poinnya membayar untuk komoditas energi yang harganya tidak berubah walaupun harga di luar sudah berubah," tambahnya.

Dengan demikian, maka pemerintah harus memberikan subsidi dan kompensasi melalui Pertamina dan PLN untuk rakyat. Alhasil, belanja negara akan naik menjadi Rp3. 106,4 triliun atau naik sebesar Rp392 triliun.

Sementara itu, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah mengutarakan dukungannya terhadap rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Menurut Said, beban subsidi energi ini memang sudah terlalu berat bagi keuangan negara.

"Tata kelola BBM bersubsidi kita tahun ini menghadapi tekanan karena migrasi pembeli dari Pertamax ke Pertalite," ucap Said dalam keterangannya, Rabu (32/8/2022).

Said Abdullah juga menyarankan untuk kenaikan harga BBM jenis Pertalite sebaiknya maksimal sebesar 30% dari harga yang berlaku, atau menjadi sekitar Rp10.000 per liternya.

"Kenaikan harga BBM maksimal 30% sudah mempertimbangkan dampak inflasi agar tak terlalu tinggi," kata Said.

Selain itu, Said juga mendorong pemerintah untuk dapat membatasi akses untuk Pertalite. Said menyarankan opsinya bisa dengan menyalurkan subsidi langsung kepada penerima yang datanya diintegrasikan dengan data keluarga miskin ataupun membatasi penyaluran dengan berdasarkan jenis kendaraan.

Ungkapan Said Abdullah, juga serupa dengan Josua Pardede, _Chief Economist Bank Permata_ yang mengatakan bahwa konsumsi BBM bersubsidi lebih banyak oleh kalangan mampu.

"Artinya, siapapun bisa mengakses BBM bersubsidi tersebut jika tanpa pembatasan," ujar Josua, Selasa (30/8/2022).

Menurut Josua, dengan pola subsidi yang selama ini dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat cukup besar, maka perlu dilakukan penyesuaian harga secara bertahap agar gejolak sosial yang ditimbulkan dapat tertangani.

"Sebagai langkah awal, pemerintah dapat menaikkan harga BBM (Pertalite) ke level Rp10.000 per liter untuk mengurangi beban anggaran negara saat ini dan kuota BBM bersubsidi tahun mencukupi," jelas Josua.

Josua berpendapat dengan hal ini maka, jika melihat dari kondisi psikologis masyarakat saat ini, harga BBM berada di level Rp10.000 ini dapat mengurangi beban subsidi BBM agar nilai subsidi APBN tidak membengkak ke angka Rp700 triliun, atau tetap di Rp502,6 triliun.

Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), Anthony Budiawan juga beropini dalam kenaikan harga BBM ini. Melalui cuitan akun Twitter pribadinya @AnthonyBudiawan, mengatakan bahwa rencana kenaikan harga BBM ini walaupun belum resmi dari pemerintah, akan tetapi hampir seluruh fraksi di DPR yang menolak kenaikan harga BBM tersebut.

"Wacana kenaikan harga BBM: 6 menolak, 2 abstain, 1 setuju. Hanya Nasdem yang setuju BBM naik. Alasannya, 70%-80% dikonsumsi orang kaya? Jadi, rakyat kurang mampu, paling sedikit 138,9 juta penduduk, selama ini konsumsi BBM apa?" tulis Anthony (1/9/2022).

Anthony juga menambahkan data dari Bank Dunia tentang jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 2021 sebanyak 138,9 juta jiwa dengan pendapatan rata-rata di bawah Rp31.086,7/orang/hari.

"Menurut Bank Dunia, jumlah penduduk miskin Indonesia 138,9 (2021), dengan pendapatan di bawah Rp31.086,7/orang/hari ($5,5 kurs PPP 2011): di bawah Rp1 juta/orang/bulan. Mereka antara lain terdiri dari petani, nelayan, buruh, tenaga honorer, usaha mikro, sektor informal, etc," ujar Anthony.

Selain itu, dari sembilan fraksi yang ada di DPR, hampir seluruhnya menolak kenaikan harga BBM, enam fraksi yang menolak kenaikan ini antara lain Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Lalu ada dua dari mereka yang abstain yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Sedangkan satu yang menyetujui dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

Ketua Komisi VII DPR fraksi Nasdem Sugeng Suparwoto menyatakan kalau selama ini menurutnya subsidi BBM tidak tepat sasaran dan malah banyak dinikmati oleh kalangan mampu, maka dari itu perlu dialihkan.

"Maka dari itu harga BBM harus disesuaikan. Karena subsidi yang selama ini dikeluarkan tidak tepat sasaran atau orang mampu, sehingga perlu dialihkan. Sebab kan tidak adil, bagaimana dengan mereka yang tidak punya kendaraan? Jadi, subsidi dikurangi dan direlokasi untuk yang tidak punya kendaraan," ujar Sugeng.

Selain itu, menurut Sugeng harga BBM yang sekarang ini sangat jauh dari harga keekonomian.

"Keuangan negara harus kita akui jebol. Hari ini dengan kuota 23 juta kiloliter itu asumsinya semua meleset. Indonesian Crude Price (ICP) yang semula dipatok 63 dolar AS/barel meleset menjadi rata-rata 104,9 dolar AS/barel," tambah Sugeng, selaku politisi Partai Nasdem.

Dalam perkembangannya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan para menteri selalu menyampaikan perhitungan harga riil bila BBM (Pertalite maupun solar) tidak disubsidi pemerintah. Akan tetapi, memang perhitungannya berbeda-beda.

Jokowi juga menyampaikan bahwa harga murni Pertalite apabila tidak disubsidi maka akan mencapai Rp17.100 per liternya. Pernyataan ini disampaikan Kepala Negara saat Silahturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD pada Jumat, 5 Agustus 2022 silam.

"Coba di negara kita bayangkan, kalau Pertalite naik Rp7.650 harga sekarang ini kemudian naik jadi, harga yang benar adalah Rp17.100, demonya berapa bulan? Naik 10% saja demonya dulu tiga bulan," ujar Jokowi. (Fik)

510

Related Post