Damaikan Ukraina-Rusia: Indonesia Bahaya, Bisa Diabaikan Amerika!

Presiden Joko Widodo beserta Ibu Iriana Joko Widodo memulai rangkaian kunjungan luar negeri ke empat negara yakni Jerman, Ukraina, Rusia, dan Persatuan Emirat Arab, Minggu (26/6/2022). ANTARA/HO-Biro Pers Setpres/Muchlis Jr/am.

PRESIDEN Joko Widodo bertolak mengunjungi empat negara, yakni Jerman, Ukraina, Rusia hingga Uni Emirat Arab (UEA), dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Ahad (26/6/2022).

Dalam keterangannya sebelum keberangkatan, yang disaksikan secara daring dari Jakarta, dia menyampaikan bahwa kunjungan ke Jerman dalam rangka menghadiri KTT G7 yang diselenggarakan pada 26-28 Juni 2022.

Posisi Indonesia dalam G7 adalah sebagai negara mitra sekaligus diundang sebagai negara Ketua G20.

Agendanya, setelah itu, Jokowi akan menemui Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky di Kiev, Ukraina, dan Presiden Rusia, Vladimir Putin di Moskow, Rusia, untuk mengajak keduanya membuka ruang dialog perdamaian atas perang yang terjadi antara kedua negara.

Kemudian setelah itu Jokowi akan berkunjung ke Uni Emirat Arab untuk melanjutkan kembali pembahasan kerja sama ekonomi dan investasi antara Indonesia dengan Uni Emirat Arab.

Jokowi berinisiatif ingin menjadi “juru damai” masalah Ukraina dengan Rusia. Topik menarik ini dibahas wartawan senior FNN Hersubeno Arief dan Rocky Gerung dalam Kanal Rocky Gerung Official, Senin (27/6/2022). Berikut ini petikannya.

Jokowi kemarin terbang ke Jerman itu menghadiri acara G7. Sebenarnya fokus G7 lebih pada kredensial, ketemu-ketemu soal kerjasama. Tapi ada yang serius yaitu Jokowi ke Ukraina dan Rusia.

Sebenarnya apa agendanya yang diharapkan Jokowi dari kunjungannya itu, mengingat bagaimanapun profil Indonesia sekarang ini di dunia internasional bukan high-profile lagi. Ini beliau bukan diundang tapi mencoba menginisiatif untuk mengupayakan perdamaian di kawasan itu.

Ya itu problemnya karena bagi publik atau pengamat politik internasional kita akan jadi penengah di situ. Apalagi yang datang figur Presiden Jokowi, yang dianggap oleh dunia internasional kemampuan dia untuk berdiplomasi rendah sekali.

Kan kalau kita menjadi penengah kita musti punya moral standing yang kuat bahwa bangsa ini juga utuh sehingga akan didengar oleh internasional. Bahwa ekonomi kita cukup tangguh untuk menjadi landasan, kita tidak ada problem dalam negeri, lalu ingin keluar negeri menyelesaikan masalah orang lain.

Kan dia disebut sebagai daya tahan dalam negeri untuk dijadikan profil dalam diplomasi internasional. Kalau sekedar ingin ketokohannya, Jokowi bisa kirim beberapa orang yang mungkin justru lebih diterima di dunia internasional, Pak JK (Jusuf Kalla) atau Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) misalnya, yang punya pengalaman diplomasi.

Jadi kalau langsung Presiden Jokowi datang ke Ukraina dan Rusia, itu artinya dia mau bikin headline di dalam negeri, bukan di luar negeri. Kan tidak akan dianggap oleh luar negeri, ini ngapain presiden.

Lain kalau misalnya ada keputusan PBB minta beberapa negara, termasuk Indonesia, untuk jadi semacam yang dulu biasa disebut komisi penengah. Jadi ini sebetulnya orang akan anggap pencitraan saja.

Apalagi kalau politik internasional itu dikaitkan dengan financial player yang melihat Indonesia ini negara yang bakal mengikuti Sri Lanka, mau bangkrut, karena enggak mampu mengolah inflasi, enggak mampu mengelola utang, segala macam.

Jadi soal-soal semacam ini akan diulas dengan sangat tajam oleh masyarakat internasional. Tapi okelah karena Indonesia punya semacam prinsip ikut serta dalam membangun perdamaian dunia, lalu dianggap sebagai itu sesuatu yang sensasional.

Padahal, sebetulnya waktu kita menyebutkan Indonesia itu non-blok dan ikut memberi perdamaian dunia, itu betul-betul karena faktor figur dari Presiden Soekarno yang sangat kuat kemampuan dia untuk tampil secara profesional dan intelektual di forum internasional.

Nah ini Jokowi bisa berbahaya kalau ada wawancara dengan Jokowi tentang apa sebetulnya yang sekarang relevan untuk dijadikan dasar Indonesia ikut dalam perdamaian dunia. Enggak ada. Enggak ada point-nya nantinya.

Itu bahayanya di Asia Tenggara, Indonesia sudah bukan lagi pemimpin Asia Tenggara, Indo-Pasifik, Indonesia diabaikan oleh Amerika Serikat. Jadi soal-soal semacam itu. Tapi kita mau lihat ini sebagai seperti yang saya terangkan, akan jadi berita di dalam negeri lalu dieksploitasi oleh buzer atau pendengung bahwa kita berhasil bertemu.

Bukan bertemu point kita, apa yang akan diusulkan. Amerika Serikat tentu tetap dalam posisi, Indonesia ini mencla-mencle. Tak tahu apa posisinya tiba-tiba ada di sana di tengah-tengah ketegangan NATO dan Rusia.

Padahal Amerika Serikat menginginkan posisi Indonesia dalam politik proksi. Indonesia ambil inisiatif. Inisiatif itu nggak ada basisnya. Kira-kira begitu jika saya gambarkan percakapan yang sekarang berlangsung. Mungkin pers Eropa sekarang udah dapat redaksi untuk cari tahu apa point-nya yang akan kita tanyakan pada presiden Indonesia.

Kira-kira kita perlu mengucapkan ini dengan serius, bukan kemudian dianggap kita selalu nyinyir kepada Jokowi. Tapi serius kita pertanyakan soal ini karena sekali ini buzer tidak mungkin bisa menggoreng seperti biasa saja karena pers International pasti langsung menyoroti itu.

Dan saya kira ini sangat berbahaya. Itu bisa menjadi satu dari itu beberapa hal yang (kalau memang tidak ada pokoknya) akan semakin memperburuk citra Indonesia di mata internasional.

Karena kemarin kita juga membahas bahwa Jokowi ini sudah mulai disorot dunia internasional dalAm soal menggunakan isu radikalisme untuk menindak musuh-musuhnya di dalam negeri.

Yang kedua, ini kan juga masuk ke wilayah yang sangat berbahaya kalau kita masuki. Meskipun ada pengamanan yang sangat ketat, risikonya sangat tinggi. Jadi jujur memang, saya dalam beberapa hari ini bertanya-tanya kenapa Pak Jokowi tetap mengambil langkah itu.

Okelah kalau bertemu dengan dengan Zalensky mungkin itu bisa dianggap sebagai sebuah dukungan, tapi bertemu dengan seorang Putin yang profilnya di dunia internasional luar biasa tinggi, yang dia dengan negara-negara besar seperti Amerika dan negara Eropa pun dia bisa abaikan, apalagi dengan Indonesia?

Ini yang bahaya adalah pasca-kunjungan itu, yang nggak ada point. Kan tetap orang melihat point Indonesia apa? Mungkin Putin juga akan memakai kaus oblong. Ellon Musk saja pakai kaos doang. Putin bagaimanapun juga ingin memanfaatkan posisi Indonesia sebagai bemper di dalam persaingan dengan Amerika Serikat.

Jadi idenya tentu bagi Putin ya gue manfaatin saja, mumpung Presiden Jokowi datang, lalu dia puter headline-nya nanti bahwa Indonesia itu sebetulnya lebih cocok bergaul dengan Rusia karena Presiden Soekarno dulu juga ada di dalam blok Rusia. Itu lebih gila lagi.

Lalu Amerika marah besar dan kita nggak punya kemampuan untuk menahan kemarahan Amerika. Karena, bahkan satu peluru pun kita masih tergantung pada Amerika dalam soal persenjataan.

Jadi hal-hal semacam ini memungkinkan kita untuk pada akhirnya harus merumuskan bahwa Presiden Jokowi sedang berupaya untuk menaikkan elektabilitasnya, yang sebetulnya nggak perlu lagi itu. Justru itu berbahaya bagi bangsa ini karena kan tetap ketegangan itu soal keputusan, mau pro NATO atau pro Blog Rusia dan proksinya China itu.

Jadi, sekali lagi, bagi mereka yang ingin mengamati politik dunia di dalam gejala kita sekarang kita masuk dalam realisme itu bahwa NATO sudah siap-siap buat menyerbu; Amerika Serikat sebagai superpower menganggap China sebagai pengganggu sementara, walaupun China pasti blingsatan juga kalau diancam betul-betul secara resmi oleh Amerika.

Karena ekonomi China nggak mampu untuk membiayai perang yang panjang, sementara Amerika menguasai ekonomi dunia, walaupun ada stagnasi tapi tetap orang pakai parameter Amerika, terutama kekuatan dolarnya.

Jadi kita balik lagi tadi bahwa Indonesia kalau mau menyatakan diri misalnya, kami ingin ada perdamaian. Di dalam negeri sendiri Islamofobi masih tumbuh, pembelahan-pembelahan segmented antara kaya dan miskin itu juga kuat sekali terjadi.

Jadi tidak ada dasarnya Indonesia ikut campur atau berupaya menunjukkan diri sebagai mampu untuk jadi jembatan konflik di Eropa. Jadi, sekali lagi, ya bagus juga sekedar memberitahu bahwa ya kita peduli, tapi kepedulian itu kan basisnya adalah kematangan politik dalam negeri yang justru fatal dalam banyak hal.

Ya, saya sepakat dengan Anda tadi bahwa harusnya begini ini mestinya level-levelnya, jangan langsung presiden. Presiden ini kan (kalau istilah permainan sepakbola) tinggal mengegolkan.

Kalau ada proses, di level-level bawah atau ministing tingkat kementerian baru kemudian ke level presiden. Ini kan langsung Pak Jokowi terjun bebas. Tapi, apapun kita berharap Pak Jokowi bisa pulang dengan selamat, dan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan, meskipun jujur kita mesti mengatakan kita pesimis.

Itu point kita selalu. Kan dalam diplomasi ada yang dibereskan supaya begitu presiden datang mutunya itu tinggalkan wawancara, atau tinggal deklarasikan bahwa sudah ada point yang dibuat Indonesia.

Di sini nggak ada satu berita bahwa Departemen Luar Negeri sudah lakukan semacam pertemuan Menteri Luar negeri, Departemen Pertahanan sudah bujuk-bujuk Putin supaya nahan sedikit-sedikit. Itu tidak terjadi. Tiba-tiba presiden datang ke situ.

Itu artinya, sama seperti pionnya belum berjalan, rajanya sudah maju ke depan. Lalu sasaran tembaknya terbuka di dalam the fields yang masuk ke ranah bidiknya. Kan berbahaya itu.

Ya, dalam hal ini, karena Pak Jokowi ini ke dunia internasional, ke luar negeri, ini mewakili bangsa Indonesia, mewakili kita semua juga. Tetapi kita musti menyuarakan itu karena ini wajah kita juga dipertaruhkan oleh Pak Jokowi di dunia internasional.

Itu point kita sudah begitu. Bahwa wajah Presiden itu adalah wajah bangsa. Tiba-tiba datang ke sana dan orangnya cerca atau orang lecehkan. Ngapain ini anak kecil ngikut-ngikut pertarungan orang gede-gede. Kira-kira begitu. Itu kalkulasi yang musti kita hitung.

Lain kalau kita memang sudah pastikan kita punya profil kuat maka kita akan didengar oleh Putin dan itu akan menjadi point bagi Amerika untuk mengukur kembali kekuatan Putin. Jadi kita mau kasih pesan pada Amerika sebetulnya, bukan pada Putin.

Dan Putin menganggap ya apa iya dia boleh, tapi ya ini kayak lampiran yang ditaruh di nomor 12 mungkin dalam desain politik Rusia. Atau jangan-jangan lampiran yang nggak sempat dijepret sehingga tercecer di mana-mana.

Mudah-mudahan pesimisme kita ini enggak terbukti. Kita selalu berharap yang terbaik untuk bangsa. (mth/sws)

430

Related Post