Dana KPU Belum Turun, Pemilu Bisa Ditunda: Bagian Skenario Tiga Periode?
HINGGA tulisan ini dibuat, KPU RI berharap pemerintah segera mencairkan anggaran tahapan Pemilu 2024 untuk tahun 2022. Dana yang belum cair itu sebesar Rp 5,6 triliun dari Rp 8,6 triliun yang dianggarkan.
“Kami yakin anggaran akan segera turun,” kata Komisioner KPU Idham Kholik, kepada wartawan, Jumat (24/6/2022).
Idham menyebut pihaknya sudah melakukan berbagai cara agar anggaran tersebut segara dicairkan. Salah satunya audiensi dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Semua proses sudah kami tempuh. Kami sudah sampaikan kepada Bapak Presiden pada saat kami audiensi beliau sangat mendukung penyelenggaraan Pemilu serentak 2024,” kata Idham.
Ia menyebut KPU juga menjalin komunikasi lebih intensif dengan pemerintah. Idham berharap pemerintah menaruh perhatian khusus terkait pencairan anggaran tersebut.
Sebelumnya, KPU menjelaskan terkait anggaran Rp 8,06 triliun pada 2022 yang dibutuhkan institusinya dalam pelaksanaan tahapan Pemilu 2024. Anggaran triliunan rupiah itu rencananya dialokasikan untuk KPU Pusat dan Daerah.
Kebutuhan anggaran KPU Tahun 2022 Rp 8,06 triliun, yang akan dialokasikan untuk: 1. KPU (Pusat): Rp 0,9 triliun. 2. KPU Provinsi (34 Satuan Kerja): Rp 1,3 triliun. 3. KPU Kab/Kota (514 Satker): Rp 5,7 triliun.
Pihak KPU menyebut sudah ada dana sebesar Rp 2,4 triliun yang teralokasi pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) KPU Tahun 2022. Sehingga, ada kekurangan Rp 5,6 triliun yang masih dibutuhkan.
Kekurangan dana yang dibutuhkan belum bisa dialokasikan sepenuhnya. Sebab, Kementerian Keuangan masih menunggu penetapan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Tahapan Pemilu 2024.
Persoalan belum turunnya anggaran Tahapan Pemilu 2024 itu dikhawatirkan bisa menjadi alasan penundaan Pemilu. Inilah yang dibahas kali ini di dalam Kanal Rocky Gerung Official, Senin (18/7/2022), oleh wartawan senior FNN Hersubeno Arief bersama pengamat politik Rocky Gerung. Berikut petikannya.
Ada soal serius berkaitan dengan Pemilu. Saya baca sampai bulan lalu dana untuk tahap pertama dari pelaksanaan Pemilu, sekitar 5,6 triliun kalau nggak salah, belum turun tapi saya dengar dari teman-teman KPU sampai sekarang juga belum turun, sampai akhir bulan ini juga belum turun. Nah, itu akan jadi serius persoalan.
Iya betul ini dua hal sedang kita kalkulasi, yaitu penghormatan publik kepada institusi kepolisian itu yang betul-betul akhirnya merosot lagi, dan semua WA grup itu langsung berpikir bahwa kasus Brigadir J ini adalah pembunuhan berencana. Itu sebetulnya jadi semacam keterangan awal bahwa apa pun yang akan diucapkan oleh Humas Polri, akan di-discount sedemikian rupa.
Jadi ini bahayanya kalau satu peristiwa itu yang seharusnya secara mudah diterangkan pada publik, tetapi diatur atau dicicil keterangannya, keterangan resminya, menimbulkan semakin lama dugaannya, semakin berbahaya.
Dan inisiatif dari keluarga untuk melaporkan itu langkah yang paling tepat. Karena dengan itu lalu seluruh isu sebetulnya bisa dikendalikan melalui peristiwa pelaporan ini. Dilaporkan sebagai satu tindak pidana dan akhirnya proses hukum harus berjalan mengikuti laporan itu.
Jadi itu prinsip pertama. Jadi lebih bagus juga sehingga seluruh sensasi bisa kita, ya dugaan-dugaan sensasional itu bisa juga kita akhirnya harus bersabar sampai di pengadilan.
Tapi yang nggak mungkin kita bersabar adalah kepastian pemilunya jadi apa tidak? Kalau KPU sendiri merasa bahwa pemerintah ragu-ragu, padahal KPU cuma pelaksana. Apa yang diragukan? Timbul lagi dugaan yang lebih berat dari dugaan terhadap kasus tembak-menembak polisi itu.
Artinya ada tembak-menembak di antara para politisi yang berupaya untuk cari semacam celah supaya ada kepastian ini mau jadi atau tidak. Di dalam proses tembak-menembak politisi biasanya tembak-menembak kursi atau tembak-menembak upeti.
Ini sebetulnya yang menjadi acuan kita bilamana membaca politik Indonesia. Apalagi Bu Megawati kemarin dengan nada yang betul-betul mencemaskan Indonesia bisa masuk di dalam jebakan seperti Sri Lanka. Ini Ibu Mega sendiri yang bilang.
Ibu Mega menganggap bahwa ada kecemasan karena situasi politik dunia, situasi ekonomi. Jadi semua orang berpikir bahwa sangat mungkin pemilu juga ditunda. Tapi itu kan kalkulasi. Yang bukan kalkulasi adalah fakta bahwa anggaran Pemilu enggak diturunkan oleh pemerintah.
Jadi itu sebetulnya dasarnya kenapa orang berpikir bahwa ada sesuatu yang hendak diucapkan pemerintah, tetapi dia nggak mau berterus terang, yaitu brankas kita kosong sebetulnya. Kan nggak enak kita mau Pemilu tapi pinjem dari tetangga. Masa mau pesta pinjam tetangga. Sebetulnya kalkulasi ekonomi akan mendikte politik. Jadi kira-kira itu intinya.
Tapi kalau kita lihat desain politik di belakang itu, wacana penundaan pemilu dan sebagainya, saya kira nanti justru mereka malah mendapatkan justifikasi, dengan alasan kan mereka dulu menggunakan justifikasi itu bahwa negara kita baru pulih dari pandemi, jadi pemilu bisa mengganggu, termasuk masalah anggaran. Jadi buat mereka yang ingin menunda pemilu ini jadi “blessing in disguise”.
Ya itu juga sebetulnya yang lagi dipikirkan hari-hari ini oleh Pak Jokowi. Dan Pak Jokowi tetap punya skenario kalau ditunda Pemilu, problemnya dia punya kemampuan untuk mengendalikan keadaan apa enggak? Kalau penundaan itu menguntungkan Jokowi, pasti dia akan tunda.
Nggak ada orang yang ingin berpura-pura di situ. Menunda artinya seluruh fasilitas masih bisa dia miliki, kemampuan manuver juga terkendali. Tetapi, bagi Jokowi kepastian itu enggak datang. Minimal kepastian dari PDIP bahwa oke kami akan lanjutkan program Jokowi.
Ada memang KIB bicara bahwa ya kita akan lanjutkan proyek-proyek Jokowi. Tetapi, KIB ini seringkali musti kita baca secara terselubung, karena nggak mungkin KIB bilang kami hendak menghentikan proyek-proyek itu. Jadi basa-basi politik ini yang membuat Pak Jokowi nggak dapat sinyal kuat.
Dengan kata lain, Jokowi kehilangan great pada semua fasilitas politik yang tadinya dia miliki. Parpol sudah nggak bisa dikendalikan lagi, ekonomi juga akhirnya Sri Mulyani langsung bicara ya kita memang ada dalam bahaya.
Jadi, Jokowi akhirnya merasa ini bagaimana dia tetap ingin dirawat relawan, dia ingin tetap ada deklarasi-deklrasi kebulatan tekad, dan pada saat yang sama oligarki merasa ini kita mau menyumbang apa enggak nih? Keragu-raguan itu yang membuat katidakpastian arah politik. Ketidakpastian itu justru menggerakkan oposisi. Oposisi selalu gembira kalau tidak ada ketidakpastian.
Tetapi oposisi sebenarnya tidak punya kemampuan untuk melakukan itu, menunda Pemilu atau apapun. Dan hanya berharap kalau bola memutar. Tapi kan realitasnya kita melihat bahwa memang ekonomi semakin berat. Dan tanda-tanda inflasi, meskipun kita disebut urutan ke-14 di antara 15 negara, tapi tetap saja kita menunjukkan tanda-tanda itu trajectory-nya juga sama dengan Sri Lanka.
Saya sebenarnya berusaha untuk tidak menyebut nama Sri Lanka. Saya khawatir sebenarnya negara kita punya kemampuan untuk menyelenggarakan pemilu, tapi dengan alasan untuk justifikasi penundaan Pemilu akhirnya dibuatlah bahwa negara nggak mampu. Jadi ya mau bagaimana kita dipaksa kalau misalnya tidak mampu. Pilih makan atau pilih tetap menyelenggarakan Pemilu tetapi tidak makan. Kan gitu nanti pilihannya.
Itu yang lagi disusun oleh pemerintah. Mau diajukan sebagai excuse dalam upaya untuk atau alibi paling nggak bahwa nggak mungkin kita lakukan Pemilu.
Tapi balik pada tadi, kalau itu diucapkan Pak Jokowi dan Jokowi tahu bahwa dia diuntungkan dengan itu, sebetulnya ada cara lain, yaitu lakukan saja konsolidasi baru supaya terlihat Jokowi sebetulnya punya kepentingan dengan pemilu, tetapi dia belum punya partai yang bisa mengamankan dia.
Kan itu lebih jelas kalau suasana itu diperlihatkan. Mustinya fair saja, Jokowi tetap adalah seorang politisi yang ingin agar supaya ada pada partai yang bisa lindungi dia nanti. Kan cuma itu problemnya. Jadi kalau ditunda pun dan Pak Jokowi nggak dapat kejelasan siapa yang akan merawat dia pasca lengser, itu juga berbahaya.
Nah, persiapan-persiapan politik ini yang saya kira belum rapi. Kalau dibilang Pak Jokowi sudah mampu nggak mengasuransikan dua putranya itu sebagai pengganti dia nanti, atau nggak secara politis bisa berbunyi di 2024. Ternyata nggak juga.
Jadi itu kecemasan seorang pemimpin yang sudah berada di ujung tebing, tapi untuk mengatakan bahwa saya bisa tinggalkan bangsa ini secara aman, dia nggak bisa ucapkan itu. Padahal tebingnya sudah ditunggu-tunggu dibawa oleh oposisi.
Oposisi memang nggak punya kemampuan, tapi keadaan kelihatannya sedang berpihak pada posisi itu. Makin banyak orang yang percaya bahwa 0% itu adalah hal yang mutlak musti diiyakan. Banyak yang lihat bahwa gerakan buruh dan emak-emak serta mahasiswa itu enggak bisa dicegah.
Jadi oposisi justru kalau oposisi di luar ya buat kita senang-senang saja. Yang potensi beroposisi dari dalam itu makin lama makin banyak. Itu yang akan menggerakkan kita.
Akhirnya mereka yang sedang berkuasa sekarang, terutama partai-partai politik, mengerti bahwa keadaan nggak bisa diselamatkan. Tapi kalau kita mengucapkan kan itu tidak akan didengar. Tapi kan kasak-kusuk dan bisik di antara polisi kan kita dengar setiap hari. (Ida/mth)