Harga BBM Dipaksa Naik, Ekonomi Rakyat Tercekik, Marwan Batubara: Ada Mafia Bermain
Jakarta, FNN - Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di tengah keterpurukan ekonomi masyarakat menimbulkan pro dan kontra di kalangan para ahli.
Salah satu yang mendukung kenaikan harga BBM adalah Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia (UI). Ia menyarankan pemerintah supaya mengadopsi konsep The Golden Mid-Way, sebuah konsep dengan langkah menaikkan harga BBM bersubsidi sekitar 30 - 40 persen. Ari Kuncoro yang sedang disorot BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) UI karena jumlah kekayaannya yang naik drastis, mendukung kenaikan sebesar 40 persen.
Namun, masih banyak para ahli yang mengkaji tentang wacana kenaikan harga BBM bersubsidi dan memiliki hasil analisis yang mendukung rakyat agar tidak terjadinya kenaikan harga BBM. Salah satunya adalah Marwan Batubara, koordinator Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN).
Dalam acara diskusi publik bertema 'Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak di Tengah Keterpurukan Kehidupan Masyarakat, Apa Imbasnya?' yang diadakan oleh majelis aktivis Pro Demokrasi (ProDem) di Jakarta Utara, Marwan menolak dengan tegas rencana pemerintah menaikkan harga BBM.
Menurut Marwan, kenaikan harga BBM itu merupakan hal yang wajar terjadi karena Indonesia telah menjadi negara net-importir sejak tahun 2004. "Yang kita konsumsi lebih banyak daripada kita produksi," ucapnya.
Acara tersebut menampilkan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan dan juga Pengamat Intelejen, Suripto sebagai pembicara. Sejumlah aktivis hadir dalam diskusi tersebut.
Marwan megatakan, supaya harga minyak dapat lebih murah, harus dilakukan melalui kontrak jangka panjang, sehingga tidak tidak perlu mengikuti harga fluktuasi yang tinggi.
"Harus kita gugat ini, kenapa tidak kontrak-kontrak yang panjang? Karena di situ ada mafia yang bermain. Nah nanti beli harga pasar, harga pasarnya itu kita bisa ada tambahan semacam uang premannya, berapa dollar per barel misalnya," katanya menegaskan.
Marwan mengatakan, kontrak jangka panjang sebenarnya dapat dilakukan sejak Sudirman Said menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Termasuk juga upaya pembangunan kilang baru yang tidak ada sampai sekarang meski telah ditandatanganinya berbagai MoU atau Nota Kesepahaman. Serta di zaman Presiden Joko Widodo ada Refining Development Master Plan (RDMP), yaitu master plan untuk membangun kilang.
"Tapi intinya, ini juga tidak jalan, kenapa bisa begitu? Karena mafia berkepentingan untuk kita terus mengimpor (minyak). Yang kedua karena Singapura juga berkepentingan untuk kita terus impor. Ketiga, kilang minyak Singapura itu ada dua pusat, ada Exxon ada Shell," ujar Marwan.
"Ini juga faktor bagaimana mafia berperan. Jadi, ada tiga setelah bicara kontrak jangka panjang. Beli minyak tidak transparan, beli BBM juga sama tidak transparan, bangun kilang juga tidak. Jadi, dengan seperti ini sebetulnya, kebijakannya itu tidak lepas dari kepentingan mafia di satu sisi dan komitmen pemerintah di sisi lain," ujarnya.
Marwan memberikan catatan penting bahwa dengan mengutip laporan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Marwan mengatakan yang dinikmati oleh keluarga miskin hanya 5 persen untuk solar dan 16 persen untuk pertalite bersubsidi. Bahkan pemerintah tidak ada komitmen untuk memberantas mafia.
"Saya juga mencatat tentang ada kasus 'Papa minta saham'. Ketemu ada nama orang tertentu yang dicurigai sebagai mafia. Orang ini jadi buron, lari ke London. Kalau memang mau memberantas mafia, mestinya kan dikejar. Tapi, ternyata beberapa bulan kemudian, pak Jokowi dengan orang ini, ada di acara Nasdem," tuturnya.
Dirinya juga menjelaskan tidak dapat berjalannya sistem harga berkelanjutan juga disebabkan karena pemerintah melakukan pencitraan politik di tengah tahun-tahun politik.
Tidak sekedar mengkritik pemerintah, Marwan turut memberikan solusi terhadap masalah BBM. Ia menyarankan solusi yang berkelanjutan, salah satunya dengan subdisi tepat sasaran yang dapat dilakukan dengan teknologi informasi (TI).
Marwan juga mencoba menggaungkan masalah BBM menjadi isu bersama. "Ini bukan isu antara oposisi dan yang berkuasa. Jadi usulnya adalah jadikan ini isu bersama, jangan dipakai untuk kepentingan politik, hilangkan yang namanya mafia-mafia sesuai komitmen Jokowi. Jangan justru bilang mau memberantas, tapi faktanya berteman dengan mafia," ujarnya.
Marwan meminta supaya pemerintah terbuka secara adil dan benar dalam menangani BBM. "Jika tidak ada mafianya, ya buka saja," katanya.
"Kita mau transparan. Jangan ada praktik-praktik mafia yang sudah berlangsung sampai saat ini," ujarnya (Rac).