Jabotabek Level 1, Pemerintah Gak Paham Menghidupkan Ekonomi Butuh Kepastian
MENTERI Dalam Negeri Tito Karnavian membatalkan status Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jabodetabek ke Level 2. Dengan pembatalan itu, status Jakarta tetap PPKM Level 1 hingga 1 Agustus 2022.
Pembatalan itu diketahui dari dokumen Instruksi Mendagri Nomor 35 Tahun 2022 tentang PPKM Pada Kondisi Covid-19 di Wilayah Jawa-Bali. Ketentuan ini juga berlaku untuk wilayah aglomerasi Jabodetabek.
Dalam aturan itu termaktub Jakarta berstatus PPKM Level 1. “Khusus kepada Gubernur DKI Jakarta untuk wilayah kabupaten/kota dengan kriteria Level 1,” begitu bunyi Inmendagri yang ditandatangani Tito Karnavian pada 5 Juli 2022.
Instruksi ini berlaku mulai 6 Juli hingga 1 Agustus 2022. Padahal, baru saja pemerintah pusat mengumumkan perpanjangan PPKM Jawa dan Bali yang naik ke level 2. Dasar hukumnya tertuang dalam Imendagri Nomor 33 Tahun 2022 yang berlaku 5 Juli-1 Agustus 2022.
“Beberapa daerah terpaksa harus dinaikkan menjadi Level 2, yaitu seluruh kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta, Kota/Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota/Kabupaten Bogor, Kota/Kabupaten Bekasi, Kota Depok, dan Kabupaten Sorong,” ujar Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri Safrizal ZA lewat keterangan tertulis, Selasa, 5 Juli 2022.
Peraturan tentang PPKM Level 2 Jabodetabek ini kemudian direvisi dalam Inmendagri 35/2022. Poin ke-14 Imendagri 35/2022 tertulis, Inmendagri 33/22 dicabut. Pada saat Instruksi Menteri ini berlaku, maka Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2022 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Jadi jelas, di sini Pemerintah tampak bingung. Pengusaha juga bingung. Yang paling bingung justru rakyat. Persoalan ini pun dibahas wartawan senior FNN Hersubeno Arief bersama pengamat politik Rocky Gerung dalam Kanal Rocky Gerung Official, Kamis (7/7/2022). Petikannya.
Pemerintah kemarin sudah membatalkan pemberlakuan PPKM level 2 di daerah Jabodetabek. Itu hanya sehari saja diberlakukan. Sehari kemudian diralat. Ini memang disambut dengan lega oleh para asosiasi pengusaha mall.
Tapi mereka sering mengaku bingung dengan kebijakan pemerintah. Apalagi Pak Luhut (Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan) juga memberlakukan syarat booster yang dua minggu lagi akan diberlakukan. Aturan pemerintah membuat mereka bingung.
Pada akhirnya kita masuk dalam semua jenis kebingungan dan kebingungan itu pertanda bahwa pemerintah nggak bisa bikin ekstrapolasi dari problem. Kan dia bisa proyeksikan kenapa musti level 2. Kalau nggak ada dasar itu artinya asal-asalan saja.
Dan bisnis tentu membutuhkan kepastian, kalau mau larang ya larang supaya kami enam bulan ke depan bisa bikin proyeksi penyesuaian strategi rencana bisnis.
Jadi kelihatannya pemerintah juga nggak paham bahwa untuk menghidupkan ekonomi itu butuh kepastian. Model kepastian bentuknya eksternalities, yaitu hal-hal yang menghambat tidak ada soal. Yang penting bisnis itu konsisten di dalam perencanaan. Itu sebetulnya yang diinginkan oleh teman-teman para pebisnis.
Ketidakkonsistenan itu menunjukkan bahwa memang koordinasi makro di Istana enggak ada. Bahkan orang bisa menilai kalau begitu akal-akalan ini dalam rangka seolah-olah serius saja kan. Apalagi lalu dibilang ya sudah dibatalkan yang level 2 diturunkan ke level 1, tapi harus booster dulu.
Ya sama juga problemnya itu. Kan musti dibuktikan bahwa booster itu efektif untuk mencegah. Faktanya rakyat justru melihat banyak betul orang yang sudah dibooster sampai vaksin tiga kali tetap saja kena.
Jadi, meyakinkan publik itu yang dari dulu nggak bisa dipastikan pemerintah. Pak Luhut nanti bingung sendiri lagi, lalu dia ngomong bahwa yang dimaksud bukan booster tapi mereka yang sadar untuk vaksin tiga kali. Tapi, intinya memang ini republik yang membingungkan.
Ya kan pasti ketika menentukan level 2 atau level 1 ada justifikasi yang jelas. Tiba-tiba kalau kemudian level dua lalu hanya sehari diubah lagi menjadi level satu, ya wajar kalau nanti pemerintahnya bingung, pengusaha bingung, rakyat juga bingung. Walhasil karena bingung ya orang memutuskan lagi ya sudah di rumah saja, jangan ke mall lagi karena nanti pasti akan repot juga.
Jadi itu yang disebut kemampuan untuk melihat hasil, untuk membayangkan hasil, justru dibatalkan oleh asumsi-asumsi yang kacau. Kan kalau hasilnya kita ingin supaya Jakarta itu turun jumlah infeksinanya, mustinya dari awal dipastikan saja kan.
Jadi nanti orang bilang oh kalau begitu sudah enak nih, sudah level 1, bisa jalan-jalan lagi. Dua hari kemudian naikin level 2 lagi tuh. Padahal nggak ada data yang bagaimana mengambil data dari periode yang cuman satu hari. Lalu apa gunanya Pak Luhut sebagai raja bigdata kalau tidak bisa bikin prediksi.
Lo, pemerintah selalu basisnya begitu, yang kita lakukan semua berdasarkan bigdata. Bahkan, kita sedot data publik itu lewat aplikasi-aplikasi yang tidak dimaksudkan untuk fungsi itu. PeduliLindungi dipakai buat beli migor itu kan demi nyolong big-data.
Pertamina untuk masuk aplikasinya musti tulis hobi Anda apa? Itu apa urusannya hobi dengan orang membeli bensin. Jadi memang pemerintah mau nyolong bigdata sebetulnya dengan cara yang buruk. Itu yang kemudian orang pertanyakan.
Lo, kalian kan punya bigdata kok dalam waktu yang singkat big datanya bisa terombang ambing. Jadi ini big lie juga akhirnya. Jadi big bohonglah. Jadi ini cuma menambah keyakinan publik bahwa berbohong itu memang kebiasaan yang diresmikan oleh negara. Berbohong dalam negeri sampai berbohong luar negeri. (mth/sws)