Jalani Sidang Etik, Sambo Harus Dihukum Berat

Sidang etik Irjen Ferdy Sambo.

MANTAN Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo mulai, Kamis (25/8/2022), menjalani sidang etik terkait kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat alias Brigadir Joshua di rumah dinasnya di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, ada 8 Juli 2022.

Sidang diselenggarakan terkait tindakan Sambo membunuh Brigadir Joshua yang disertai dengan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mengaburkan motif dan kronologi kejadian, seperti merusak tempat kejadian perkara (TKP), merusak barang bukti yang di antaranya berupa CCTV di lokasi kejadian, dan sebagainya.

Sidang secara tertutup, dipimpin Kabaintelkam Polri Komjen Ahmad Dofiri, dan menghadirkan 15 saksi yang tiga diantaranya juga merupakan tersangka kasus pembunuhan Brigadir J, yakni Bharada Richard Eliezer yang hadir secara virtual, Bripka Ricky Rizal dan Kuat Maruf.

Selebihnya adalah lima orang dari Patsus Brimob, lima dari Patsus Provost dan dua saksi dari luar Patsus.

Saksi dari Patsus Brimob: mantan Karopaminal Brigjen Hendra Kurniawan, mantan Karoprovos Brigjen Benny Ali, mantan Kapolres Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto, mantan Kaden A Biro Paminal Kombes Agus Nurpatria, dan mantan Kabag Gakkum Roprovost Divpropam Polri Kombes Susanto.

Saksi dari patsus Provos adalah RS, AR, ACN, CP, dan RS, sedang dua saksi dari luar patsus adalah HM dan MB.

Menjelang sidang digelar, wartawan mendapat informasi, Sambo membuat permohonan maaf kepada seluruh pihak yang terdampak kasus tewasnya Brigadir J. Dia menuangkan permohonan maaf itu di atas selembar kertas yang ditandatangani dan bermaterai.

Surat itu bertanggal 22 Agustus 2022.

Bahkan, sebelumnya, Sambo sudah mengajukan pengunduran dirinya sebagai anggota Polri. Tapi, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan, saat ini Polri telah menerima surat itu dan sedang menindaklanjuti.

“Ada suratnya, tapi sedang dihitung oleh tim sidang karena memang ada aturan-aturannya,” kata Sigit kepada wartawan di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (24/8/2022).

“Ya suratnya ada, tapi tentunya kan dihitung apakah itu bisa diproses atau tidak,” tambahnya.

Menurut pengamat politik Rocky Gerung, posisi seseorang dalam kedudukan tertinggi harus bertanggung jawab sampai akhir.

Nggak boleh mengundurkan diri, itu (jelas) terlarang. Kalau orang membuat kesalahan itu pertanggungjawabkan dulu, baru ia minta konsekuensi: dipecat atau dimaafkan; dibui atau direhabilitasi,” tegasnya.

“Satu kejahatan moral itu bersifat final, nggak mungkin ada diskresi. Moral itu skalanya nominal. Bermoral atau tidak bermoral,” lanjut Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal Rocky Gerung Official, pada Kamis, 25 Agustus 2022.

Berikut petikan dialog Hersubeno Arief dengan Rocky Gerung selengkapnya.

Hari ini berlangsung sidang kode etik Irjen Pol. Ferdy Sambo.

Ya itu, akhirnya persidangan Pak Sambo nanti akan jadi banyak elemen atau banyak variabel. Dari soal etik itu benar-benar, lalu kriminalnya soal lain. Tapi ada soal yang orang samar-samar melihat, posisi seseorang dalam kedudukan tertinggi harus bertanggung jawab sampai akhir. Nggak boleh mengundurkan diri, itu terlarang.

Kan kalau orang membuat kesalahan itu pertanggungjawabkan dulu, baru ia minta konsekuensi: dipecat atau dimaafkan; dibui atau direhabilitasi. Jadi kita juga musti belajar. Nanti tiba-tiba presiden di ujung pemerintahannya gagal lalu minta mengundurkan diri. Nggak bisa, Anda akan diproses mengapa gagal dengan janji-janji Anda. Anda minta dipuji terus. Kita musti kasih kritik.

Jadi begitulah etika bekerja. Etika sifatnya absolut. Dan yang absolut itu tidak boleh dicicil. Sekali bikin kesalahan etis, ya sudah terima tanggung jawabnya. Mau dia jenderal, mau dia kopral, sama-sama.

Fungsi dia adalah mempertanggungjawabkannya. Bertanggungg jawab itu harus dalam kedudukan sebagai petahana. Jadi kedudukan riil hari ini, present position dia apa. Sebagai jenderal, ya dia akan disidang sebagai jenderal. Nggak bisa mengundurkan diri. Itu persoalannya.

Kalau ini etika yang dijunjung tinggi, saya kira hukuman yang harus dikenakan pada Pak Sambo harus sangat berat. Mengapa kita musti mengatakan harus sangat berat karena beliau itu jenderal dan Kepala Divisi Propam yang tugas utamanya adalah menjaga etik dari seorang polisi.

Itu kan polisinya polisi. Ini bukan soal sentimen. Tapi ini bagaimana ketika ada orang yang diberi tanggung jawab dan dia mengkhianati tanggung jawabnya, hukumannya tidak boleh sama dengan orang biasa-biasa saja.

Itu dalam pidana namanya pemberatan. Tapi kita mengerti bahwa semua orang merasa kalau dia memegang posisi kedudukan pemimpin overside itu seperti Propam itu, lalu dianggap oke dia musti justru diberi keringanan. Ya nggak bisa itu. Demikian juga MKD DPR. Kan seringkali anggota MKD itu terlibat juga dalam hal yang sederhan, tapi nanti dimaafkan di MKD.

Ya nggak bisa. Justru karena di MKD maka dia harus lebih terhormat dari orang yang dia periksa. Itu pantasnya begitu. Tetapi, satu hal yang sering disalahartikan, etik itu seolah-olah semacam tata tertib. Jadi orang yang melanggar tata tertib itu seolah pelanggaran kecil. Padahal bukan.

Etik itu melanggar moral, bukan melanggar tata tertib. Kalau tata tertib ya namanya etika. Itu bedanya. Jadi lembaga etik beda dengan lembaga etika. Jadi, hal musti kita pastikan bahwa kalau pelanggaran etik itu berlangsung, itu artinya moral dia nggak boleh kita perbaiki lagi atau nggak boleh kita kasih tawar-menawar.

Karena satu kejahatan moral itu final, nggak mungkin ada diskresi. Lain kalau pidana masih bisa ada potongan hukuman. Kan orang itu hanya boleh disebut bermoral atau tidak bermoral. Kalau dibilang dia bermoral separuh, itu artinya tidak bermoral. Bermoral 90 persen juga tidak bermoral. Moral itu skalanya nominal. Bermoral atau tidak bermoral. Itu intinya.

Nah, sekarang fokus perhatian publik pasti di Indonesia, bahkan dunia di mana diaspora Indonesia di luar negeri dengan gampang mengakses info-info semacam ini, tertuju pada Polri yang sedang melakukan sidang kode etik Ferdy Sambo.

Dan ini, kalau kita lihat bahwa “public disthrush” gara-gara Ferdy Sambo semakin meluas, dan diakui oleh pimpinan Polri, termasuk Pak Listyo Sigit, yang selalu ngomong bahwa persepsi publik. Tapi patokannya lembaga survei. Bagaimana perlakuan Polri pada dia akan menjadi sorotan: apakah dia bebas merdeka atau diborgol? Yang pasti fokus publik akan tertuju pada perlakukan Polri terhadap dia.

Nah itu yang dituntut. Bahkan publik nuntutnya berlebih, karena mungkin terlalu lama pembiaran soal-soal semacam ini. Bukan sekadar di kepolisian, tetapi juga di Kejaksaan, pokoknya lembaga penegak hukum, bahkan DPR.  Jadi, kejengkelan orang itu sudah di puncak.

Dan, orang ingin tahu apakah peristiwa ini bisa membalikkan persepsi kita tentang kedudukan etis seorang pejabat tinggi. Kalau misalnya di kepolisian, ini akan dilakukan evaluasi kurikulum di jenjang kepolisian apa saja yang diterangkan di situ. Apakah ada pelajaran tentang etik atau bahkan tentang etos yang berhubungan dengan cara seseorang mengevaluasi dirinya sendiri.

Bukan dia dievaluasi orang lain tapi dia sendiri mampu mengevaluasi. Karena itu yang disebut sebagai etos kepemimpinan. Dia yakin bahwa dia punya mental untuk potensi berbohong. Dia yakin bahwa dia punya mental potensi untuk melakukan kejahatan, bahkan di dalam dirinya sendiri.

Jadi, itu mustinya ditanamkan dari awal bahwa pejabat tinggi justru punya peluang untuk melakukan kejahatan. Karena itu, self assasment dia itu yang musti ditegaskan. Ini penting. Kita kembali pada paham-paham lama bahwa ujian etis itu betul-betul harus radikal.

Mereka yang masuk kepolisian dengan menyogok, itu pasti nggak mungkin mendapat pengalaman etos yang luar biasa. Saya kenal pejabat Polri yang pinter sekaligus beretika. Dan itu sebetulnya makin lama makin sedikit dan lalu orang akan anggap seluruh kepolisisn yang akhirnya harus direformasi ulang, di-install.

Ini pelajaran penting, dan kelihatanntannya Pak Sigit itu ada dalam kerisauan dirinya sendiri mampu atau tidak dia melalukan hal itu. Tapi perlahan-lahan masyarakat mendorong Pak Sigit walaupun di ujungnya mungkin dia nanti diganti oleh Presiden Joko Widodo. Tapi Pak Sigit musti beri kuliah moral pada publik pada peristiwa ini.

Di DPR kemarin itu sudah bagus, Pak Sigit sebagai jenderal telah melakukan, melaporkan monitoring dia terhadap Sambo, bahkan dia ungkapkan dari hari pertama dia tahu dia sudah dapat semacam insting bahwa seperti ada sesuatu yang nggak benar. Itu penting, perwira lain juga mengikuti itu.

Jadi, sekali lagi betul, evaluasi kurikulum etis di kepolisian itu harus juga menjadi evaluasi seluruh institusi pemerintah, termasuk Istana yang sering berbohong.

Nah, kalau kita misalnya menuntuk Pak Ferdy Sambo dihukum sangat berat itu bukan karena sentimen pribadi, bukan karena kita mau campur tangan dalam urusan internal kepolisian, tetapi saya kira sangat wajar karena persoalannya justru biang kesalahan di bangsa ini adalah ketika masalah-masalah etika ini justru dianggap ringan dan mengatakan tidak ada dalam hukum.

Padahal produk hukum itu juga produk yang sangat buruk karena itu produk akal-akalan, produk kong kalikongan antara eksekutif, legislatif, dan oligarki.

Nah, itu betul. Jadi, kalau kita lihat dari atas itu bangsa ini masuk dalam satu jebakan permisifness, terlalu permisif dalam banyak hal. Kong-kalikong antara pejabat dan oligarki, begitu juga bahkan di universitas kong-kalikong, rektor kong-kalikong dengan dekan, dekan kong-kalikong dengan para penguji.

Sifat permisifness itu yang menggerogoti daya tahan moral kita. Dan itu yang berlangsung sampai LSM juga banyak yang begitu, para advokat juga begitu. Dan itu semua orang tahu.

Jadi, rakyat itu sebetulnya menonton hal yang harusnya nggak perlu mereka tonton. Akibatnya, rakyat juga ikut saja. Oke sialakan kalian korupsi, maka bagilah korupsi itu ke kami kalau lagi pemilu. Kami menerima serangan fajar. Bahkan terang-terangan. Antara ngeledek sambil oke ini pragmatisme.

Politik nggak bisa lagi dituntun dengan nilai dengan value. Ini yang akan kita bongkar supaya 2024 kalau terjadi peristiwa elektoral yang betul-betul bersih, bangsa ini bisa berlari dengan kecepatan etis yang luar biasa. Itu poinnya. (mth/sws)

322

Related Post