Keserakahan di Tengah Pandemi (1) Tinjauan Kritis Terhadap Kepemimpinan Otoriter dan Oligarki di Indonesia
Oleh Gde Siriana *)
ISI buku ini diawali dengan kondisi sebelum serangan Pandemi COVID-19 datang hingga gejala-gejala yang nampak sebagai dampak dari pandemi, terutama pada aspek kesehatan masyarakat, ekonomi negara maupun ekonomi masyarakat.
Dan, ketika dibandingkan dengan utang yang dicetak pemerintah Presiden Joko Widodo untuk mengatasi pandemi dan pemulihan ekonomi. Penulis sampai pada hipotesis: ada yang salah dalam cara pemerintah merespons dan mengatasi pandemi.
Penulis akan mengkonfirmasi hipotesis tersebut, untuk mendapatkan jawaban terhadap dua hal. Pertama, bagaimana kepemimpinan presiden Jokowi dan sejauh mana mendayagunakan kapasitas negara yang terbatas dalam merespon dan memperkecil dampak pandemi.
Kedua, sejauh mana oligarki yang ada memanfaatkan situasi krisis untuk kepentingannya.
Metodelogi dalam penyusunan buku ini adalah pendekatan kualitatif-deskriptif dengan studi kasus penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia yang membandingkan antara kondisi sebelum dan di masa pandemi.
Analisa dan pembahasan didasarkan pada telaah kepustakaan, wawancara, FGD (Focused Group Discussion atau Diskusi Kelompok Terpandu) dan informasi berbagai media, termasuk artikel-artikel penulis yang telah dimuat di Koran Tempo, The Jakarta Post, Forum News Network (FNN),
Rakyat Merdeka On Line (RMOL), Teropong Senayan dan Law-Justice.
Pandemi Covid-19 telah menunjukkan bahwa ketidakmampuan Presiden Jokowi dalam merespon dan mengatasi pandemi telah menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa, baik itu tenaga medis maupun masyarakat umum.
Tidak itu saja, penderitaan masyarakat bertumpuk sebagai dampak pandemi pada ekonomi rakyat, tetapi di sisi lain bantuan pemerintah tidak memadai dibandingkan dengan beban yang harus dipikul masyarakat.
Ironisnya, utang yang diciptakan pemerintah dengan alasan penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi tidak dapat dirasakan oleh masyarakat sebagaimana yang dibayangkan dari besarnya nilai utang yang ditarik pemerintah.
Kepemimpinan populis Jokowi menyebabkan kebijakan pemerintah terlambat, saling tumpang tindih serta membingungkan rakyat dan birokrasi di daerah, sehingga pelaksanaan PSBB dan PPKM tidak efektif dalam menekan angka kasus dan jumlah korban jiwa akibat pandemi.
Rakyat merasakan negara tidak hadir dalam situasi krisis karena rakyat harus bertahan hidup di tengah ancaman penularan virus dengan mengandalkan pertolongan teman, tetangga dan saudara.
Kebijakan pemerintah, salah satunya dalam belajar daring, diputuskan
dengan tidak memahami situasi dan kondisi masyarakat yang sedang kesusahan maupun persoalan ketimpangan sarana-prasarana, sehingga kebijakan ini justru menambah beban masyarakat.
Kepemimpinan populis Jokowi yang meremehkan Covid-19 sejak awal pandemi juga menyebabkan masyarakat tidak waspada, sehingga tidak mengambil keputusan yang tepat untuk merespon situasi krisis.
Misalnya, banyak pelaku ekonomi kecil dan menengah yang masih mengambil kredit atau melakukan eskpansi usaha sesaat sebelum status pandemi diumumkan pemerintah karena yakin dengan sikap pemerintah bahwa pandemi tidak akan melanda Indonesia.
Hal ini kemudian menjadi beban berat masyarakat yang berkepanjangan,
usahanya macet sekaligus tercekik pembayaran cicilan pinjaman.
Penulis mengajukan model kepemimpinan 4T untuk merespon pandemi dan situasi krisis yang diakibatkannya, yaitu Tanggap, Terstruktur, Teratur dan Terukur. Dengan model kepemimpinan ini, misalnya Tracing, Tracing, dan Treatment (3T) dapat dioptimalkan dan terarah sejak awal.
Kepemimpinan otoriter Jokowi selama pandemi juga semakin nampak dari politik pemerintahannya yang lebih mengedepankan kekuasaan daripada pendekatan kesehatan.
Menyikapi kedaruratan pandemi dengan cara menyiasati aturan-aturan yang berlaku dengan memberi kekebalan hukum kepada pejabat negara
melalui UU No.2 tahun 2020, ini merupakan jalan pintas darurat yang anti nilai-nilai demokratis.
Tidak itu saja, ini memberi pintu kepada oligarki dan pemburu rente yang berjenis Peng-Peng untuk memanfaatkan situasi krisis demi keuntungan ekonomi yang besar dan kepentingan-kepentingan lainnya.
Berbagai suara kritis di masyarakat terhadap cara presiden Jokowi menghadapi pandemi disikapi sebagai ancaman bagi kekuasaan, sehingga semua yang mengkritisi pemerintah dianggap sebagai oposisi.
Bahkan buzzer pun dikerahkan untuk melawan kritik-kritik yang menjadi viral di media sosial dan membentuk opini bahwa kritik tersebut dilandasi dendam politik Pilpres 2014 dan 2019.
Ini menjadi bukti presiden Jokowi juga gagal menyelesaikan pembelahan sosial (divided society) yang merupakan residu Pilpres. Ketidakpercayaan masyarakat muncul sebagai akibat dari berbagai kebijakan pemerintah dan kepemimpinan Jokowi yang populis-otoriter.
Kepercayaan publik sesungguhnya adalah modal dasar yang diperlukan pemerintah di saat negara sedang krisis agar dapat memobilisasi semua sumber daya yang ada dan membangun solidaritas seluruh masyarakat, dengan demikian pelaksanaan kebijakan dan program untuk mengatasi pandemi menjadi efektif karena didukung seluruh masyarakat.
Kapasitas kesehatan negara selama ini tidak mendapat perhatian khusus
pemerintah agar lebih seimbang dengan populasi penduduk sehingga pelayanan kesehatan kepada masyarakat lebih memadai.
Bahkan tidak ada persiapan jauh-jauh hari untuk menambah kapasitas kesehatan sebagai bentuk respons yang paling mendasar dan utama untuk menyelamatkan kesehatan rakyat manakala terjadi pandemi hebat seperti Covid-19.
Setidaknya ada waktu 3 bulan untuk mempersiapkan kapasitas kesehatan, yaitu antara Desember 2019-Maret 2020.
Lumpuhnya layanan kesehatan di rumah sakit memberi kontribusi pada
banyaknya korban jiwa selama pandemi di Indonesia. Our World in Data per 20 Oktober 2021 mencatat jumlah kematian Covid-19 Indonesia (143.120 jiwa) merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara, dan tingkat kematian (rasio kematian terhadap jumlah kasus) di Indonesia nomor dua di Asia Tenggara setelah Myanmar (3,38 persen).
Dampak pandemi telah berdampak kuat dan dalam pada perekonomian
nasional. Tetapi sesungguhnya sebelum pandemi, ekonomi Indonesia di era
Presiden Jokowi sudah menunjukkan performance yang rendah, bahkan bisa disebut buruk.
Rendahnya kinerja ekonomi Indonesia pada 2014-2019, setidaknya dapat dilihat dari empat indikator, yakni pertumbuhan yang stagnan, beban berat APBN akibat utang pemerintah yang semakin membengkak untuk menutup defisit, kurs rupiah yang melemah terhadap Dolar AS, serta tingginya angka kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan.
Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum pandemi hanya sekitar 5 persen per tahun.
Pada kuartal ke-1 tahun 2020 ekonomi Indonesia masih tumbuh 2,97 persen. Tapi pada kuartal ke-2 merosot tajam hingga terkontraksi 5,51
persen, kuartal ke-3 kembali minus 3,49%, dan menutup tahun 2020
terkontraksi 2,07 persen.
Indonesia resmi mengalami resesi setelah kuartal ketiga tahun 2020. turunnya pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita menurunkan Indonesia dari negara berpendapatan menengah atas (upper middle income country) menjadi negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income country).
Pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 2019 tercatat 4.050 dollar AS, namun pada tahun 2020 pendapatan per kapita Indonesia hanya sebesar 3.870 dollar AS.
Utang yang ditarik untuk mengatasi krisis kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional telah menambah beban keuangan negara, dimana
sebelum pandemi utang pemerintah dan BUMN sudah menumpuk.
Sedangkan penerimaan negara dari perdagangan dan pajak tidak mampu
untuk menyelamatkan APBN kecuali menambah lagi utang.
Di sisi lain, situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan di masa pandemi
memperbesar potensi BUMN bangkrut. Ekonomi masyarakat pun dalam menghadapi situasi sulit dalam jangka panjang karena Usaha Menengah Kecil Mikro (UMKM) membutuhkan anggaran yang besar untuk bangkit
kembali di saat daya beli masyarakat telah merosot. (Bersambung)
*) Penulis Buku “Keserakahan di Tengah Pandemi”