KH Abdurrahman Wahid: Sampul Bernama Buloggate dan Bruneigate
Gus Dur dipaksa meninggalkan Istana Negara setelah dimakzulkan. Anehnya, sampai kini belum ada bukti bahwa Gus Dur korupsi dana Bulog dan sumbangan Sultan Brunei.
Oleh Dimas Huda - Wartawan Senior FNN
KH Abdurrahman Wahid adalah presiden Indonesia yang mengenyam pemakzulan pasca-reformasi. Presiden ke-4 ini diberhentikan melalui Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Ia dituding terlibat dalam skandal Bulog dan Brunei atau Buloggate dan Bruneigate.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 23 Juli 2001 pukul 15.00 Waktu Indonesia Barat. MPR menggelar rapat paripurna untuk pemungutan suara pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid. Hasil pemungutan suara adalah 591 suara mendukung pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid serta mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden pengganti.
Sidang Istimewa MPR digelar setelah melalui memorandum pertama pada 1 Februari 2001. Kemudian disusul memorandum kedua pada 30 April 2001, disertai permintaan DPR kepada MPR agar diadakan sidang istimewa.
Presiden Abdurrahman Wahid menanggapi memorandum itu dengan mengeluarkan ketetapan yang menyatakan pembubaran MPR/DPR, penyelenggaraan pemilu dalam setahun, dan penangguhan Partai Golkar.
Inilah yang mempercepat kejatuha Gus Dur. MPR menyetujui pemberhentian Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri melalui Sidang Istimewa pada 23 Juli 2001.
Sebelum SI digelar, sudah didahului suasana mencekam di Ibukota. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 29 Januari 2001, DPR menggelar Sidang Paripurna membahas hasil kerja Panitia Khusus (Pansus) investigasi dugaan penyimpangan dana Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera) Badan Urusan Logistik (Bulog). Pansus DPR menyerahkan laporan setebal 27 halaman kepada Ketua DPR Akbar Tandjung yang berisi dua kesimpulan utama.
Pertama, Presiden Abdurrahman Wahid diduga berperan dalam pencairan dan penggunaan dana Yanatera Bulog. Kedua, Presiden inkonsisten dalam pernyataannya mengenai aliran dana dari Sultan Brunei.
Sidang Paripurna itu berjalan alot. Akbar Tandjung selaku pemimpin sidang beberapa kali terpaksa menghentikan sidang dan memberi waktu untuk lobi karena kebuntuan pembahasan.
Sidang juga diwarnai aksi walk out enam anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) yang tak setuju sidang dilanjutkan. Meski begitu, Sidang Paripurna dilanjutkan dan tetap memutuskan menerima laporan Pansus DPR yang menurut F-KB tidak memenuhi asas legal formal Tata Tertib DPR.
Rapat Paripurna DPR yang dimulai sejak pukul 09.40 itu baru mencapai kata sepakat pada pukul 20.30, setelah seluruh anggota Dewan yang hadir bisa menghindari voting yang sudah membayang-bayangi saat break dan lobi intensif dilakukan.
Sementara sidang krusial itu berlangsung, suasana di luar Gedung DPR/MPR juga tak kalah menegangkan. Belasan ribu orang dari elemen mahasiswa dan masyarakat umum berdemonstrasi di halaman Gedung DPR/MPR.
Ini bukan demonstrasi tunggal. Mereka terbelah dalam dua kubu: pro dan anti-Presiden Abdurrahman Wahid.
Kubu anti-Gus Dur tentu saja meneriakkan tuntutan agar Gus Dur turun dari jabatan presiden. Lain itu mereka juga meneriakkan slogan “reformasi sampai mati”.
Sementara kubu pro-Gus Dur selain mendengungkan dukungan, juga meneriakkan slogan-slogan anti Orde Baru dan Golkar.
Untunglah demonstrasi dengan jumlah massa yang tergolong besar itu berakhir tertib. Menjelang petang hari, kedua kubu demonstran membubarkan diri dengan mengambil jalan terpisah. Meski demikian hari itu memang sungguh menegangkan.
Demonstrasi besar tak hanya terjadi di Jakarta saja. Aksi massa juga terjadi Purwokerto dan nyaris pecah jadi bentrokan antarkubu. Di Makassar ratusan mahasiswa anti-Gus Dur menggeruduk Gedung DPRD dan melakukan aksi pencopotan foto presiden. Sementara itu, sekitar 2.500 massa pro-Gus Dur juga berunjuk rasa memenuhi Gedung DPRD DI Yogyakarta.
Situasi gawat di ibu kota dan beberapa kota itu tak membuat Presiden Abdurrahman Wahid terusik. Dari kantornya di Bina Graha, Gus Dur dengan santai memberi komentar bahwa tak ada sesuatu yang mengkhawatirkan. Juga terhadap segala tuntutan mundur dari jabatan presiden dari mahasiswa, masyarakat, dan sebagian anggota DPR , Gus Dur bergeming. "Saya tidak akan mundur karena yang mengangkat saya adalah MPR," ujar Gus Dur.
Sejak awal terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999, banyak kalangan politik yang meragukan prospek kepemimpinan Gus Dur. Di masa transisi menuju demokrasi banyak harapan muluk yang musti dipikulnya. Ia diharap bisa mengakhiri krisis ekonomi, mereformasi militer dan birokrasi tinggalan Orde Baru, hingga memperbaiki hubungan antarkelompok masyarakat yang terpecah.
Greg Barton dalam bukunya berjudul “Biografi Gus Dur” (Januari 2020) melukiskan, dalam kondisi demikian Gus Dur nyaris sendirian.
Gaya Gus Dur yang eksentrik dan sulit ditebak sering menyulitkan dirinya sendiri. Langkah-langkah politiknya yang sering dianggap “ugal-ugalan”. Ambil contoh, ia memecat Wiranto atau memperbolehkan orang Papua mengibarkan bendera bintang kejora, sangat meresahkan.
Situasi jadi makin sulit bagi Gus Dur sejak April 2000. Saat itu Gus Dur memecat Menteri Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Greg Barton menyebut Gus Dur menilai Laksamana tak maksimal bekerja. Namun begitu, alasan yang beredar di media menyebut bahwa keduanya dipecat karena terindikasi melakukan korupsi. Gus Dur membantah alasan itu. Namun, pemecatan itu sendiri adalah langkah yang salah.
Gus Dur memecat Laksamana tanpa berkonsultasi dengan Megawati dan itu membuat hubungan keduanya menjadi dingin dan canggung. Pasalnya, kala itu Laksamana adalah “anak kesayangan” Megawati dan bintang cemerlang di PDI-P.
“Pemecatan Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla telanjur tak bisa diterima dan dipahami oleh PDIP dan Golkar yang kemudian mengajukan hak interpelasi di parlemen,” tulis Virdika Rizky Utama dalam bukunya berjudul “Menjerat Gus Dur” (Numedia Digital Indonesia, 2020).
Hanya berbilang pekan, posisi dan reputasi politik Gus Dur jadi kian gawat gara-gara dua skandal yang muncul hampir bersamaan: Buloggae dan Bruneigate.
Menurut Barton, kendati banyak orang tak percaya Gus Dus korupsi, dua skandal ini amat merugikan reputasinya. Musuh-musuh politiknya di DPR lantas memanfaatkan skandal ini untuk menekan kepemimpinan Gus Dur lebih keras lagi.
Virdika menyebut musuh-musuh politik Gus Dur datang dari empat kelompok. Dua kelompok adalah mereka yang kecewa karena kalah dalam Pemilu 1999 dan sisa-sisa Orde Baru. Tak ketinggalan juga jenderal-jenderal yang gusar dengan supremasi sipil yang dilaksanakan Gus Dur.
Kelompok keempat adalah kelompok Poros Tengah. Semula mereka adalah pendukung Gus Dur dalam pemilihan presiden 1999. Kelompok ini lalu berbalik jadi oposan karena gagal memperoleh konsesi politik dan ekonomi setelah Gus Dur naik jadi presiden.
Langkah-langkah untuk menjegal Gus Dur pun mulai bergulir sejak September 2000. Itu ditandai dengan terbentuknya Pansus DPR untuk menyelidiki kasus Buloggate dan Bruneigate.
Barton juga menyebut adanya langkah-langkah yang lebih konkret untuk mendelegitimasi kepemimpinan Gus Dur di DPR pada akhir November. Sebanyak 151 anggota dewan menyerahkan sebuah dokumen kepada Ketua DPR Akbar Tandjung yang berisi sejumlah alasan yang dinilai kuat untuk menjatuhkan Gus Dur dari kursi presiden.
Dari seluruh penandatangan dokumen itu, yang terbanyak adalah dari PDI-P (47 orang), Golkar (37 orang), dan Fraksi Reformasi yang berafiliasi dengan PAN atau Amien Rais (34 orang).
Alasan lain yang diajukan kelompok ini adalah perihal usulan Gus Dur untuk mencabut Tap MPR tentang larangan doktrin komunisme dan izin pengibaran bendera Bintang Kejora.
Kembali ke Buloggate dan Bruneigrate. Sampai saat ini Gus Dur tidak terbukti melakukan korupsi dalam skandal tersebut. Itu sebabnya, banyak pihak menduga Gus Dur dilengserkan bulan karena kasus korupsi itu. Kiai ini dicabut mandatnya karena ketegangan antara DPR/MPR dan pemerintah. Buloggate dan Bruneigate Hanya Sampul. (*)