Masih Soal Ancaman Politik Uang
By Abdurrahman Syebubakar
Jakarta, FNN - Saya mulai tulisan ini dengan mengutip penggalan catatan PBNU dalam Muhasabah 2017 dan Resolusi 2018, ikhwal residu demokrasi bahwa “mekanisme demokrasi telah menghasilkan dua ekses yang merusak, yaitu politik uang dan politik identitas. Jika politik uang merusak legitimasi, politik identitas merusak kesatuan sosial melalui sentimen primordial yang mengoyak anyaman kebangsaan.”
Pada saat yang sama, seorang politikus senior PDIP dalam sebuah dialog di TV One menyatakan dampak negatif politik uang bersifat terbatas dan jangka pendek. Sedangkan politik identitas menyebabkan kerusakan yang sangat luas dalam jangka panjang.
Baik PBNU maupun politikus PDIP cenderung menyederhanakan dampak negatif politik uang. Sebaliknya, melebih lebihkan dan “mendemonisasi” politik identitas.
Saya menduga pernyataan tersebut terlontar karena tidak memahami seluk beluk politik uang dengan segala daya rusaknya. Mungkin juga terselip agenda stigmatisasi Islam politik. Di lain pihak, menyepelekan praktek kotor politik transaksional berbasis pertukaran materi dan jasa, yang membusuki dunia politik Indonesia. Pun, politik gentong babi (pork-barrel politics) dianggap biasa, di mana para politikus menghambur-hamburkan uang negara demi dukungan politik, dengan mengorbankan kepentingan rakyat.
Gagal paham tentang daya rusak politik uang yang berhimpitan dengan fobia Islam politik, juga merasuki kalangan dengan sebutan pengamat politik, yang sebagiannya merangkap sebagai “industrialis survei” atau buzzerp kekuasaan. Bagi mereka, ancaman politik identitas lebih berbahaya daripada politik uang, karena tiga sebab. Pertama, politik uang bersifat temporal, hanya berlaku pada waktu tertentu. Kedua, malpraktik politik ini bersifat lokal, terjadi di daerah pemilihan saja. Terakhir, menurut mereka, berbeda dari politik identitas, politik uang tidak memicu keterbelahan di tengah masyarakat.
Tentu saja, pendapat tersebut sangat menyesatkan, jauh dari kaidah ilmiah dan fakta. Minus basis teoritik, dan bertolak belakang dengan begitu banyak hasil riset tentang politik elektoral, khususnya politik uang, di berbagai belahan dunia.
Sebagaimana saya kutip dalam tulisan bertajuk “Politik uang memicu ketegangan politik identitas” (fnn.co.id, 27 Maret 2021). Laporan Pembangunan Dunia 2017 oleh World Bank mencatat bahwa politik klientalistik [dimana politik uang menjadi komponen utama] merupakan sumber berbagai tantangan pembangunan global, mulai dari korupsi dan penyediaan layanan publik yang tidak memadai hingga kekerasan etnis dan penegakan hukum yang lemah.
Amerika Serikat, yang dijuluki “kampiun demokrasi”, tidak luput dari hantaman politik uang. Joseph Stiglitz, peraih hadiah nobel ekonomi asal AS, menyebut demokrasi di negaranya sebagai demokrasi "one dollar one vote" bukan lagi "one man one vote". Menurut Stiglitz, demokrasi one dollar one vote ini menjadi penyebab memburuknya ketimpangan sosial-ekonomi.
Bahkan menguatnya politik identitas dan hiper-nasionalisme disertai kekerasan rasial di AS, akhir akhir ini, disebut sebagai akibat langsung dan tidak langsung dari demokrasi one-dollar one-vote. Tidak lepas dari peran negatif komersialisasi politik ini, Noam Chomsky dan Francis Fukuyama, dua pemikir terkemuka rekan senegara Stiglitz, mendakwa negara mereka sebagai negara gagal.
Dalam buku “Democracy for Sale: Elections, Clientelism and the State in Indonesia” (2019), Edward Aspinall dan Ward Berencshot dari the Australian National University (ANU) mengonfirmasi bahwa politik klientalistik adalah akar dari berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia, mulai dari kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial yang persisten, perencanaan tata ruang yang buruk hingga layanan publik yang tidak memadai, dan korupsi.
Memang, sejak reformasi bergulir, terutama pasca pemilu langsung pertama 2004, praktik politik uang meningkat tajam. Naik tiga kali lipat, dari sekitar 11 persen pada pemilu 2009 menjadi sepertiga pemilih, masing-masing, pada pemilu 2014 dan 2019.
Pada saat yang sama, terjadi kemerosotan di berbagai bidang, seperti terungkap dalam riset politik Aspinall dan Berenschot di atas. Dan daftar masalah selama enam tahun terakhir masih panjang, termasuk demokrasi dan kebebasan yang dibajak oligarki dan dan otoritarianisme, menguatnya feodalisme dan dinasti politik, serta meluasnya friksi dan ketegangan sosial.
Mengapa politik uang sangat berbahaya?
Politik uang mendatangkan ancaman serius terhadap berbagai sektor pembangunan melalui berbagai jalur, langsung maupun tidak langsung, dengan dampak negatif sistemik dan luas.
Secara ringkas, berikut penjelasan logis dibalik ancaman politik uang.
Politik uang merupakan wujud ketimpangan politik antara rakyat dan elit politik. Rakyat diposisikan tidak berdaya (powerless), dengan pilihan yang nyaris tidak ada, kecuali mempertukarkan aspirasi dan hak politik mereka dengan imbalan materi atau jasa.
Ketimpangan politik, yang saling mempengaruhi secara negatif dengan ketimpangan ekonomi (lihat Joseph Stiglitz dalam the Great Divide 2015, Amartya Sen dalam Development as Freedom 1999), menghambat mobilitas sosial, terutama masyarakat lapisan bawah. Pada gilirannya, mobilitas sosial yang rendah memicu makin parahnya ketimpangan ekonomi dan politik, seperti lingkaran setan.
Politik uang menegasikan kewajiban negara untuk merumuskan dan menjalankan kebijakan yang rasional, inklusif dan responsif terhadap kepentingan rakyat, terutama kelompok miskin dan marjinal. Dengan kata lain, penyelenggara negara merasa lepas dari tanggungjawab untuk merespon aspirasi dan kepentingan rakyat karena telah dipertukarkan dengan materi/jasa.
Pada saat yang sama, pertukaran hak politik dengan materi/jasa menyebabkan rakyat merasa tidak berhak ikut serta mewarnai dan memastikan kebijakan/program pembangunan berpihak pada kepentingan mereka. Dalam hal ini, kesempatan rakyat untuk meraih kehidupan sosial-ekonomi yang lebih baik, dengan sendirinya tersingkir.
Politik uang merusak prinsip dan kaidah demokrasi elektoral yang menjunjung tinggi “fair play” bagi kontestan politik kekuasaan, guna menjamin terpilihnya pemimpin berkualitas yang mampu mengelola potensi dan tantangan pembangunan.
Sebaliknya, politik uang berpotensi memenangkan calon berkantong tebal atau yang didukung para pemodal sehingga melahirkan pemimpin defisit kualitas dan integritas. Lebih jauh, pemimpin cacat legitimasi dan moral, sehingga tidak mampu memimpin jalannya roda pemerintahan secara efektif.
Politikus berbasis politik uang cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Jual beli jabatan dan obral proyek negara kepada para pemodal menjadi pilihan para politikus ini. Dengan pola seperti ini, korupsi makin merajalela (lihat Syebubakar dalam Vote-buying breeds Indonesia’s ubiquitous corruption, observerid.com 19/03/2021), dan oligarki bebas mengendalikan kebijakan negara.
Politik uang mendorong parpol memainkan politik dagang sapi dalam merekrut anggota, caleg dan calon pemimpin di pusat dan daerah. Akibatnya, parpol disesaki politikus pemburu rente. Niatnya hanya menumpuk uang dan meraih kekuasaan. Setelah itu, uang dan kekuasaan lagi, begitu seterusnya.
Sebagai penutup, saya berharap tulisan ini dapat membantu meluruskan klaim yang tidak berdasar dan “bias sentimen politik identitas” dari sejumlah kalangan, yang cenderung meremehkan bahaya politik uang.
Penulis Ketua Dewan Pengurus Institute for Democracy Education (IDe) dan Pegiat Demokrasi Sosial dan Anti-korupsi