Mengimajinasikan Kembali Pendidikan Kedokteran Indonesia

Oleh Ganis Irawan, Sp.PD *)

PERKEMBANGAN teknologi informasi membuat ilmu pengetahuan berkembang dengan lebih cepat dalam dua dekade terakhir. Kecepatan perubahan dalam ilmu pengetahuan merupakan dampak langsung dari semakin mudahnya komunikasi dan pertukaran data antar individu dari berbagai belahan dunia. Dalam bidang Kedokteran kita bisa menyaksikan fenomena ini selama masa penanganan Pandemi Covid-19 ; pengetahuan kita tentang penyakit baru ini berkembang dalam hitungan minggu atau bulan, bukan lagi tahunan seperti ketika kita menghadapi new emerging disease sebelum tahun 2000.

Perkembangan teknologi informasi juga mendorong munculnya suatu kerangka normatif baru relasi antar- manusia. Salah satu norma baru yang cukup jelas terlihat adalah “kesesuaian dengan kerangka kerja atau protokol yang paling banyak digunakan secara global”. Sebuah norma standar yang berkaitan erat dengan tren crowdsourcing dan kokreasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagaimana kita saksikan dalam 2 tahun terakhir, Pandemi Covid-19 ikut memperkuat pembentukan norma ini. Tanpa penyesuaian terhadap kerangka kerja umum yang digunakan banyak negara, Indonesia bukan saja akan mengalami kesulitan dalam pengadaan vaksin dan obat-obatan tapi juga akan kesulitan mendorong – misalnya- perbaikan moda terapi yang lebih sesuai dengan karakteristik respon klinis warga negara Indonesia.

Kedua hal tersebut di atas menyadarkan kita bahwa dunia Kedokteran Indonesia perlu untuk bisa segera melakukan penyesuaian kerangka pikir dan kerangka kerja agar bisa beradaptasi dengan perubahan yang akan semakin cepat dan agar dapat terlibat dalam konektivitas global tanpa kehilangan identitas nasionalnya. Perubahan fundamental semacam ini membutuhkan perubahan sejak proses awal yang menghasilkan para dokter Indonesia : Pendidikan Kedokteran Indonesia.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2013 (UU Dikdok) merupakan pilar penyangga utama bangunan Pendidikan Kedokteran Indonesia saat ini. Sayangnya UU Dikdok 2013 tampak tidak akan mampu mengakomodir dua kebutuhan yang disebutkan di atas. Dua hal utama yang – kalau boleh disebut – menjadi penghambat adalah : pertama, kerangka pikir UU Dikdok 2013 terlihat di dominasi pendekatan hirarki dan kedua, mengabaikan kerangka kerja yang dianut oleh semua negara lain.

Pendekatan hirarki lazim dianggap sebagai penghambat kemampuan adaptasi sebuah organisasi. Kerangka pikir hirarkis UU Dikdok 2013 menyulitkan adaptasi terhadap perubahan yang saat ini cenderung terjadi secara modular (dan cepat). Perubahan modular memungkinkan terjadi perbaikan fungsi keseluruhan hanya dengan merubah salah satu bagian saja dari sebuah “bangunan” utuh. Kerangka hirarkis UU Dikdok 2013 tidak memungkinkan hal semacam ini terjadi. Sebagai contoh, sistem pendidikan kedokteran Indonesia kesulitan menerapkan pendidikan keterampilan dan etik tentang Telekonsultasi dan Telemedicine kepada para mahasiswanya, padahal teknologi telekonsultasi dan telemedicine berkembang pesat dalam 10 tahun terakhir. Hal semacam ini membuat dunia kedokteran Indonesia seperti berlari mengejar kereta api cepat yang melaju 200km/jam.

Ketidaksesuaian UU Dikdok 2013 dengan kerangka kerja global tampak pada bagaimana undang-undang ini menerapkan ujian nasional untuk menseleksi kelulusan dokter. Padahal di semua negara lain tidak ada yang menerapkan ujian nasional untuk meluluskan dokter. Secara praktis hal ini akan memunculkan masalah dalam hal pengakuan internasional terhadap kualitas lulusan dokter Indonesia dan juga masalah dalam mengakomodir masuknya WNI yang menjalani pendidikan dokter di luar negeri.

Ujian nasional juga tidak sesuai dengan karakter berpikir global hari ini yang cenderung desentralistik dan menghargai lokalitas. Keragaman geografis dan budaya di Indonesia rasanya lebih tepat untuk didekati secara desentralistik, sehingga lulusan kedokteran di suatu provinsi bisa lebih kompatibel terhadap permasalahan kesehatan utama di provinsi tersebut.

*) Penulis adalah Kabid Kerjasama Lembaga Negara PB IDI dan Sekjend Perhimpunan Kedokteran Digital Terintegrasi Indonesia (Predigti). Disampaikan dalam FGD dengan Wakil Ketua MPR RI, 17 November 2021, Gedung MPR RI.

710

Related Post