Negara Hukum untuk Kedaulatan Rakyat, Bukan Kekuasaan Belaka!
Jakarta, FNN – Menko Polhukam Mahfud MD mempertanyakan, “Mengapa DPR hanya diam saja ketika ada meledak kasus Brigadir Joshua ini?” ucap Harsubeno Arief mengutip pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD dalam kanal YouTube Hersubeno Point yang berjudul “Fahri Hamzah: Komisi III DPR, Sudah Jadi Komisi Tega”.
Dalam video tersebut Hersubeno mengangkat kembali topik yang dia dengar dari Gelora TV, Rabu (17/8/2022) dengan topik “77 Tahun Kemerdekaan: Negara Hukum dan Masa Depan Indonesia” dengan pembicara Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah dan Ketua Fraksi Demokrat MPR RI Benny K. Harman, serta pengamat hukum dan tata negara Refly Harun.
Fahri Hamzah mengutarakan keresahan yang dirasakan oleh dirinya dan juga temannya, “Karena sistem seperti sekarang ini memang mempersulit wakil rakyat untuk tetap menjadi wakil rakyat ini ada problem juga pada sistem kita”.
“Tantangan paling besar bagi negara kita ini adalah tentang negara hukum ini. Hal itulah yang menjelaskan kenapa pasal 1 UUD Negara Republik Indonesia yang terutama pasca amandemen dalam bentuk dan kedaulatan itu mencantumkan konsepsi-konsepsi dasar,” tambahnya.
Fahri Hamzah menambahkan, dalam pasal pertama UUD 1945 menjelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik, serta kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Baru kemudian pasal atau ayat ketiganya adalah negara Indonesia adalah negara hukum.
Dari hal tersebut Fahri Hamzah menambahkan bahwa Indonesia sebagai negara hukum harus jelas penegakannya.
“Indonesia sebagai negara hukum harus menganggap bahwa setelah persoalan bentuk negara dan persoalan kedaulatan rakyat, maka negara hukum adalah perintah yang paling penting yang menjadi dasar kita untuk membaca negara dari hari ke hari. Jangan sampai perhatian kita itu beralih kepada soal jalan debatan dan lain-lain,” tegasnya.
Benny K. Harman menangapi dan berpendapat bahwa Indonesia ini belum merdeka secara hukum. Karena ada dua alasan. “Pertama, hukum yang kita bikin dari awal sampai sekarang ini kan material, hukum pertama yang kita bikin ini rakyat tidak dilibatkan,” ujarnya.
Hal itu disebabkan hanya yang memiliki kekuasaan yang membentuk hukum, sedangkan rakyat hanya menjalani hukum tersebut.
“Yang kedua, hukum yang mereka buat itu bukan berasal dari jiwa rakyat. Tapi hukum itu banyak diimpor dari luar. Sumber materialnya dari luar, sumber material dari luar ini dirumuskan sedemikian rupa menjadi aturan hukum dan itulah yang dilaksakan oleh rakyat kita,” tambah Benny Harman.
Benny Harman juga berpendapat tentang pelaksanaan dan penegakan hukum yang tidak adil karena substansi hukumnya sendiri sudah tidak adil.
Padahal makna kemerdekaan tadi adalah kedaulatan dalam bidang politik dan kemandirian dalam bidang ekonomi. Polemik inilah yang membuat negara kita sekarang ini tampak rapuh karena tidak berbasiskan pada hukum sebagai fondasi awalnya, akan tetapi berbasiskan kekuasaan.
Benny juga menggambarkan situasi ini dengan adanya kasus internal di Polri. Dari kasus tersebut dapat dilihat bagaimana proses penegakan hukum yang dilandasi kekuasaan.
“Ini kan perkembangan ini salah satu model contoh bagaimana sebetulnya aktor-aktor penegak hukum ini bekerja secara menonton, secara formalistik, teknik birokratik gitu ya, yang membuat publik juga kalau lembaga resmi saja menyampaikan informasi bohong begitu, siapa lagi yang kita percaya,” tandas Benny Harman.
Usia 77 tahun kemerdekaan Indonesia harusnya menjadi tonggak evaluasi perjalanan kita dalam bernegara. Banyaknya permasalahan dalam penegakan hukum membuat masyarakat bertanya kembali tentang landasan negara kita yang katanya 'negara hukum'. (Fikri)