Oligarki dan Demokrasi Anti Klimaks

Oleh Tamsil Linrung

Jakarta, FNN - Demokrasi bisa naik, bisa turun, bergantung pada banyak faktor. Musabab paling pokok adalah karakter dan gaya kepemimpinan. Bila pemimpinnya dzolim, demokrasi akan mati namun dibedaki seolah-olah hidup.

Oleh karena itu, membahas demokrasi Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari sudut pandang kepemimpinan Presiden Jokowi. Namun sayangnya, di bawah kepemimpinan beliau, Indonesia tak cuma paceklik ekonomi, tetapi juga resesi demokrasi.

Oligarki tumbuh sehat, dinasti politik bahkan dimulai dari diri presiden sendiri. Anak dan menantu diberi ruang menjadi kepala daerah dari negara yang dipimpin oleh ayah dan mertua. Ini adalah sejarah pertama di Indonesia sekaligus cermin paling buruk dinamika demokrasi kita.

Berlimpah ruah argumentasi demokratis yang dapat diajukan menjadi pembela. Tetapi, seorang negarawan sejati tak akan pernah membiarkan keluarganya duduk dalam tahta kepemimpinan daerah dari negeri yang dipimpinnya, karena berpotensi mengundang kontroversi, cemoohan dan persepsi buruk dari rakyat.

Oligarki adalah musuh biadab demokrasi. Bukan hanya Covid-19, wabah oligarki juga menjadi pandemi dalam konteks politik Indonesia hari ini. Kemasan setiap pengambilan keputusan selalu dipoles seolah-olah demokratis. Tetapi esensinya tetaplah memperkuat oligarki.

Politik turun-temurun adalah bagian dari wajah oligarki yang mencengkeram Indonesia hari-hari ini. Wajah politik turun temurun terlihat sejak awal pemerintahan periode kedua, selain dari terang benderangnya politik dinasti yang dipertontonkan di hadapan kita.

Publik bisa meraba relasi oligarki kekuasaan dan politik turun temurun itu.

Nikmat oligarki bahkan sempat menggelontorkan wacana amandemen UUD 1945 terkait Presiden 3 Periode. Saat itu, banyak yang bertanya-tanya, lompatan besar apa yang telah dilakukan sehingga wacana presiden 3 perode dimunculkan? Kolumnis produktif Tony Rasyid sempat mengulas berkali-kali tentang wacana yang sulit dijangkau akal sehat ini.

Pertanyaan tersebut harus selalu diajukan agar fokus perhatian kita selalu berpulang kepada substansi. Kita tahu, sebagian dilema demokrasi Indonesia hari ini adalah fenomena buzzer politik. Siapa pun yang mengkritisi kebijakan pemerintah, buzzer selalu siap membela. Bila ada persoalan serius atau blunder politik, buzzer dengan cekatan akan mengalihkan perhatian publik.

Anti Klimaks

Indonesia punya catatan demokrasi yang panjang. Ada klimaks, ada anti klimaks. Hari ini kita berada pada ruang demokrasi anti klimaks.

Anti klimaks itu ditandai oleh indeks demokrasi Indonesia yang semakin turun. The Economist Intelligence Unite menempatkan indeks demokrasi Indonesia pada rangking 64 dunia dan menjadi pencapain terburuk selama 14 tahun terakhir. Kita bahkan berada di bawah Malaysia dan Timor Leste, negara baru pecahan Indonesia.

Penurunan indeks demokrasi tersebut terjadi seiring dengan menguatnya oligarki. Oligarki menjadi kuat karena dua hal. Pertama, karena politik kita berbiaya mahal. Pemilihan Presiden ditengarai beberapa pihak mencapai triliunan rupiah. Angka ini fantastis dan sulit bahkan mustahil dipenuhi oleh kandidat secara mandiri. Maka kandidat Pilpres berjejaring dengan para pengusaha sehingga menjadi cikal bakal terbentuknya oligarki.

Kedua, adanya presidential threshold, selain mengerdilkan demokrasi, juga menjadi sumber petaka oligarki. Untuk mengusung calon presiden, partai politik sejak awal harus bersekutu demi memenuhi ambang batas pencalonan. Padahal, ambang batas tak lebih dari keengganan partai politik besar memunculkan figur-figur alternatif dalam kontestasi Pilpres.

Sebagai akibat dari fenomena itu adalah melemahnya kekuatan oposisi. Kita tahu, oposisi adalah nyawa demokrasi. Partai politik yang hari ini nyata-nyata beroposisi terhadap pemerintah hanya Partai Keadilan Sejahtera. Dalam beberapa sikap, juga Partai Demokrat. Sementara rekonsiliasi politik yang beraroma elitis hanya menambah daftar panjang kuasa oligarki politik.

Oligarki harus dilawan, tak boleh dibiarkan tumbuh subur, menjadi kanker yang menggerogoti demokrasi. Sebab, oligarki mereduksi partisipasi politik dan kedaulatan rakyat yang secara keseluruhan berujung pada tumbuhnya sikap anti demokrasi.

Celakanya, sikap anti demokratis tersebut dapat merembes pada rakyat kebanyakan. Karena oligarki cenderung mengandalkan kekuatan finansial, suara rakyat dikalkulasi dalam nominal rupiah. Rakyat dididik melihat pesta demokrasi sebagai musim amplop.

Rakyat hanya dibutuhkan sebagai stempel demokrasi semata. Usai memperoleh suara rakyat, pemerintahan yang tersandera oligarki cenderung tidak memusatkan pikiran pada kesejahteraan mereka. Sebaliknya, oligarki justru memaksakan kehendak dengan produk-produk kebijakan yang menguntungkan investor.

Salah satunya bisa kita lihat pada pengesahan UU Cipta Kerja yang mendapat pertentangan dari masyarakat kelas menengah dan buruh. Sebagai buntut UU yang ditengarai pro-investor tersebut, baru-baru ini lahir Peraturan Presiden nomor 10 Tahun 2021 yang memberikan izin investasi minuman keras di empat provinsi di Indonesia.

Kebijakan tersebut seperti kacamata kuda. Hanya berfokus pada investor dengan harapan dapat mengatrol ekonomi bangsa yang sedang sulit, tanpa mengaca karakter umum manusia Indonesia secara umum. Beruntung, kebijakan ini lalu dianulir setelah mendapat respon keras sejumlah kalangan.

Keberpihakan kepada pemilik modal pastilah semakin memperlebar jurang kesenjangan. Laporan Bank Dunia menyebut sebanyak 10% orang kaya memiliki 77% seluruh kekayaan negara. Sementara berdasarkan laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TP2K, Oktober 2019) menunjukkan bahwa 1% orang di Indonesia bisa menguasai 50% aset nasional. Jika dinaikkan jadi 10% keluarga maka ini menguasai 70%. Artinya sisanya 90% penduduk memperebutkan 30% sisanya.

Dilema DPD RI

Oligarki menjadi kian sempurna ketika lembaga legislatf sebagai pengawas pemerintahan menjadi bagian dari oligarki. Faktanya, partai-partai politik saat ini sebagian besar merupakan pendukung pemerintah.

DPD RI sendiri, dalam posisinya yang lemah menjadi serba dilematis. Kita tahu, fungsi dan kewenangan DPD RI sangat terbatas. Jangankan menyuarakan aspirasi rakyat, untuk menyuarakan kepentingan DPD sendiri, terkadang masih menemui kendala. Sejumlah kalangan bahkan menyebut lembaga ini sebagai anak tiri senayan.

Padahal, dalam konteks perlawanan terhadap oligarki, DPD RI punya nilai lebih. Pertama, wakil-wakil rayat yang duduk di lembaga ini bukan representasi partai politik dan oleh karena itu, sepak terjangnya relatif aman dari kepentingan partai dan oligarki. Kedua, memiliki legitimasi yang sangat kuat karena anggotanya dipilih langsung oleh rakyat provinsi yang diwakilinya.

Tetapi tentu, DPD RI bukan berarti tidak dapat berbuat apa-apa. Banyak yang telah dilakukan. Hanya, dalam konteks mengurai benang kusut oligarki, upaya yang dilakukan menemui kendala ketika belum apa-apa sudah dipandang sebelah mata.

Untuk mengefektifkan dirinya, sebagian Anggota DPD bersuara melalui kanal-kanal publik, baik melalui webinar, melalui tulisan di media massa, menggalang civil society, dan lain-lain. Hal pertama dan paling utama dijaga tentulah terlebih dahulu menjauh dari pusaran oligarki itu sendiri.

Pemerintahan harus dikritisi secara proprsional, agar tidak jauh keluar dari jalur yang semestinya. Terlebih, berbagai persoalan sosial politik akhir-akhir ini merebak sebagai rangkaian sistem politik yang memihak oligarki, seperti praktik korupsi, pelanggaran HAM, dan lain-lain.

Sementara itu, masyarakat dibuat saling menegasi pada aneka persoalan yang menjauhkan pikiran mereka dari peromlematika bangsa sesungguhnya.

Reformasi lambat laun disandera oligarki dan secara langsung mengamputasi demokrasi. Bila tidak ada komitmen kuat dari kita semua, oligarki akan semakin menguat dan mencengkeram sendi-sendiri demokrasi kita hingga lumpuh tak berdaya.[]

Penulis adalah anggota DPD RI

368

Related Post