Operasi Politik: Apapun Caranya, Anies Baswedan Tak Boleh Jadi Capres

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. (Foto: Dok. Pemprov DKI Jakarta)

DALAM beberapa hari ini, muncul isu ada upaya menjegal Anies Baswedan maju Pilpres 2024. Jika dilihat dari elektabilitasnya yang selalu berada di tiga besar, menjegal Anies sesungguhnya bukan perkara mudah, tapi karena Anies tidak punya partai, hal itu juga bukan tidak mungkin.

Isu adanya upaya penjegalan Anies pertama kali didengungkan Ketua Bappilu Partai Demokrat Andi Arief. Andi membangun asumsi tersebut dari pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut, belum tentu sosok yang elektabilitas tinggi bisa maju pada 2024.

Sebab, kewenangan mengajukan capres-cawapres ada di partai politik. Asumsi kemudian dia kuatkan dengan klaim mendengar kabar adanya upaya untuk menjegal koalisi yang akan mencalonkan Anies. Hal itu dilakukan agar Anies tidak mendapatkan tiket untuk maju Pilpres.

“Saya mendengar ada upaya menjegal koalisi yang mencalonkan Anies. Anies tidak mendapat koalisi,” ucapnya, seperti dikutip Twitter @Andiarief_, Ahad (28/8/2022).

Elektabilitas Anies Baswedan itu adu cepat dengan bakal dikeluarkannya sprindik. Anies berupaya untuk tampil sederhana dan tidak ada partai, tapi popularitas dia itu terletak pada kapasitas intelektualnya, dan prestasi dia yang memang diperlihatkan di DKI Jakarta.

“Jadi kalau dilihat dari posisi awal kemerdekaan kita, politisi kita sekarang itu betul-betul kacung-kacung neokolonial saja tuh,” tegas pengamat politik Rocky Gerung saat dialog dengan Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief dalam Kanal Rocky Gerung Official, Rabu (31/8/2022).

“Kompetisi itu artinya, biarkan orang bertarung. Bukan dijegal dulu. Itu dijegal oleh petarungnya, bukan oleh kekuasaan. Ganjar Pranowo dan Anies biarkan saja bersaing,” lanjutnya. Berikut petikan dialog lengkapnya.

Halo Bung Rocky, apa kabar?

Enak enak... Yang tidak enak adalah menunggu harga BBM.

Oke, kita tinggalkan dulu per-Sambo-an karena kemarin sudah rekonstruksi walaupun orang kemudian mencatat ada beberapa kejanggalan kenapa tiba-tiba soal adegan penembakan kepala oleh Ferdy tidak ada. Karena sebelumnya muncul informasi soal itu, bahkan itu disampaikan oleh Kapolri mengutip pernyataan dari Barada Richard.

Yes, yaitu skenario yang belum selesai. Polisi tentu berupaya untuk mencari cara supaya win-win solution, kira-kira begitu. Karena bagaimanapun ini menyangkut nama-nama yang akan terlibat kiri-kanan itu.

Jadi kelihatannya soal Sambo ini tetap akan diproduksi. Karena diproduksi, itu artinya diperlihatkan proses hukumnya. Tapi, di ujung ada kebimbangan bagaimana jika hakim memutuskan lain. Jadi itu soalnya.

Ya, ya. Jadi ada semacam unfinish skenario gitu.

Iya, unfinish crime.

Atau unfinish political konspirasi.

Bisa juga begitu. Kalau itu lebih tepat. Konspirasi politik nggak pernah finish.

Kita mau ngomongin juga soal political konspirasi ini yang diteriakkan oleh Demokrat dan kemudian dibenarkan oleh PKS, soal skenario menjegal Anies Baswedan. Saya kira ini tidak kalah menariknya dan saya heran sih kenapa Demokrat dan PKS baru teriak sekarang. Kita juga sudah tahu.

Iya sudah pasti itu. Berkali-kali kita bahas soal itu. Dalam setiap saat begitu elektabilitas Anies Baswedan naik, sprindiknya bertambah. Begitu kira-kira. Jadi, elektabilitas Anies itu adu cepat dengan bakal keluarnya sprindiknya. Karena kita bisa bayangkan, Anies berupaya untuk tampil sederhana dan  tidak ada partai.

Tetapi, popularitas dia itu terletak pada kapasitas intelektualnya dan prestasi dia yang memang diperlihatkan di DKI. Tetapi, justru itu yang membuat Anies makin cepat bolak-balik dipanggil KPK, misalnya. Kan dipanggil bolak-balik KPK menggali kasusnya nggak ada. Itu sudah bikin orang merasa bahwa ini nggak bakal jadi.

Karena begitu tadi, konspirasi kekuasaan tidak menginginkan Anies. Itu saja soalnya. Lepas kita suka atau tidak suka, kita kritik Anies atau kita puji, tapi dia berhak untuk menikmati kebebasan dia dalam upaya pengeksplorasi diri dan potensi dia untuk menjadi presiden. Itu yang mustinya kita bayangkan.

Kalau di ujung nggak ada soal, tapi jangan dijegal di depan dong. Itu juga ngaco. Kalau mau jegal pakai 20%, sudahlah. Tetapi ini masih menjegal seseorang dengan konsprirasi politik. Memang PKS dan Demokrat membaca itu, makin lama makin jelas arah untuk menjegal Anies.

Tapi kita nggak tahu apakah Anies bisa dijegal. Kan tetap popular vote-nya tinggi sekali dan itu orang akan melihat bahwa kalau begitu kekuasaan bisa putuskan saja bahwa hanya boleh ada satu calon, yang lain nggak boleh. Yang menantang akan di-KPK-kan. Kan gampang.

Dan sebenarnya sudah bisa kita baca kok. Kelihatannya formula E, dia akan jadi pintu masuk. Nanti kalau dan nggak harus soal terima duit loh, ini soal administratif juga bisa di-KPK-kan.

Ya, itu hal yang mungkin pembukuannya kurang rapi atau ada satu unsur yang belum dimasukkan dalam pertanggungjawabannya. Itu semua soal akuntansi teknik saja. Ya betul, tanpa terbukti pun kalau sudah cacat administrasi pasti dibawa ke KPK. Tapi seolah-olah itu soal yang besar.

Tetapi, karena Anies itu elektabilitasnya naik terus maka akan dicari dimana akuntansi pemerintah DKI itu cacat. Jadi, cacat administrasi bisa berubah menjadi upaya untuk menjegal jalan politik seseorang. Itu buruknya begitu kekuasaan kita.

Iya. Jadi, buat Anda, para pendukung Anies Baswedan, banyaklah berdoa dan tunggu perjalanan takdir. Karena seperti apapun mereka membuat konspirasi, tapi kalau jalan takdirnya jadi, ya akan jadi juga.

Betul. Kalau soal sprindik kan semua calon presiden yang diusung itu juga sprindiknya ada sebetulnya. Ganjar tetap ada soal KTP, Erick Thohir pasti kemarin juga sudah dilaporkan potensi untuk dapat sprindik.

Jadi, kelihatannya memang diajukan semua. Di awal oke silakan maju semua, presiden bahkan dan siapapun silakan maju. Tapi dia hanya ingin satu, yaitu yang dia setujui.

Yang dia setujui, kendati punya masalah tetap diagung-agungkan. Itu soal kita di situ selalu. Jadi ketiadaan semacam penghormatan respek terhadap potensi seseorang. Anies berpotensi, Ganjar berpotensi, semua berpotensi.

Itu bagusnya kita mulai, selalu kita katakan biarkan yang berpotensi itu berkelahi dulu dalam kompetisi politik, baru konspirasi bolehlah di colong-colong. Ini belum dimulai, konspirasi politiknya sudah mau menghambat.

Dan jangan salah bahwa hambatan yang sama juga bisa berlaku untuk PDIP.

Ganjar sudah diagung-agungkan supaya PDIP bikin blunder maka PDIP juga bisa dikendalikan dalam permainan politik itu. Tetapi, kalau PDIP serius misalnya pasang seorang yang kena isu Istana, itu sprindiknya keluar dua hari kemudian, walaupun sprindik pada PDIP masih banyak. Kira-kira begitu jalan pikirannya.

Saya kira persoalan bangsa kita sekarang ini yang satu ada satu kelompok yang ingin terus berkuasa dengan berbagai cara; yang kedua politisi kita semua juga secara etika juga punya cacat sehingga mudah disandra oleh kekuatan.

Itu komorbidnya kebanyakan memang. Jadi, dari awal memang kehidupan politik kita sudah buruk. Penuh dengan intrik korupsi. Sekarang kita mau bayangkan misalnya ini negeri mau ke mana? Kalau kita bisa call para pendiri bangsa itu mereka akan mengatakan ini sudah berantakan.

Bayangkan misalnya, standar berpikir founding person kita dibandingkan dengan sekarang kan jauh betul tuh. Nggak ada kita dengar perkelahian ide, pertarungan nilai. Padahal founding person kita melakukan hal yang bermutu. Jadi kalau dilihat dari posisi awal kemerdekaan kita, politisi kita sekarang itu betul-betul kacung-kacung neokolonial saja tuh.

Neokolonialnya sekarang kita sebut oligarki. Jadi nggak ada perubahan mental di situ. Ini tanggung jawab siapa? Ya tentu bukan tanggung jawab lurah, tapi tanggung jawab lurah tertinggi kan. Jadi, kalau Presiden Jokowi nggak pernah kasih public address tentang ideas of democration, yang terjadi beginian, jegal menjegal. Kan itu inti dari politik artinya kompetisi.

Kompetisi itu artinya biarkan orang bertarung. Bukan dijegal dulu. Itu dijegal oleh petarungnya, bukan oleh kekuasaan. Ganjar dan Anies biarkan saja bersaing. Tapi Anies tidak punya partai, itu soal belakangan. Yang penting rakyat Indonesia tahu ide versus ide. Idenya Ganjar apa? Idenya Anies apa?

Idenya Erick Thohir apa? Supaya rakyat tahu oke ini pemimpin kita itu punya potensi. Bahwa kemudian dia dibatalkan oleh 20% itu urusan teknis. Tetapi, urusan etisnya selesai, urusan intelektualnya selesai. Di panggung semua orang bisa nonton. Jangan orang suruh nonton rekonstruksi Duren Tiga saja, sementara konstruksi tiga periode jalan terus.

Nah, menarik soal public address ini. Karena saya baru menyadari itu. Di mana-mana saya lihat sekarang ini banyak lembaga pemerintah, lembaga publik dan sebagainya, termasuk kemarin Ganjar di Unair itu kan langsung menyanyikan lagu yang kemarin dinyanyikan oleh anak-anak yang di Istana, lagu campursari itu.

Karena Pak Jokowi mengendorse itu maka kemudian orang kemudian ke bawah semua melakukan itu. Dan yang semacam itu kelihatannya yang lebih ingin disampaikan oleh Kepala Negara, bukan soal democration value. I

Itu, kita disulap atau disihir seseorang yang memang nggak punya kapasitas berpikir, lalu semua orang ikut pada sihir itu kan? Semua tiba-tiba nyanyi lagi itu. Ya apa poinnya lagu itu. Biar saja Farel yang menyanyikan itu.

Jangan dipakai itu sebagai alat untuk dapat dukungan atau mobilisasi jadikan penting pemimpin itu membedakan dengan anak kecil anak kecil lucu kalau pemimpin makhluk nyanyian begitunya nggak lucu pemimpin diminta untuk menyanyikan lagu house. Hai bisanya lagu hak asasi manusia lagu Green Economy lagu planet dapat dukungan atau mobilisasi.

Pemimpin itu mampu membedakan dengan anak kecil. Anak kecil lucu. Kalau pemimpin nyanyi begitu ya nggak lucu. Pepimpin diminta untuk menyanyikan lagu hak asasi manusia, lagu green economy, lagu planet ke depan. Itu yang nggak mereka pahami.

Karena itu numpang pada popularitas anak kecil. Padahal itu sebetulnya mengeksploitasi anak kecil juga karena yang bersangkutan nggak paham ini ngapain ya, tiba-tiba semua pejabat tinggi itu pakai lagu gue. Kira-kira begitu kata si Farel kan?

Jadi sebetulnya itu yang disebut pendangkalan, bukan sekadar pemburukan. Pendangkalan cara berpolitik, mengeksploitasi sesuatu. Kita nggak ada ide untuk membayangkan ada debat tentang masa depan planet. Bagaimana Indonesia masuk kembali dalam percaturan politik dunia. Nggak ada tuh. Yang ada di panggung dangdut lalu joged-joged. (Ida, sof)

472

Related Post