Parpol, Politik Kriminal dan Otoritarianisme Korup Rezim Jokowi
Oleh Abdurrahman Syebubakar *)
Partai Politik (parpol) adalah salah satu pilar utama demokrasi. Tidak ada negara demokratis tanpa kehadiran (multi) parpol. Secara teoritis, parpol berfungsi sebagai kanal aspirasi rakyat, sarana pencerahan politik warga dan pengkaderan calon pemimpin bangsa.
Bagaimana realitasnya dalam perpolitikan kita?
Sejak Republik ini dihempas gelombang ke-2 demokrasi, paska lengsernya Presiden Soeharto medio 98, parpol tumbuh bak jamur di musim hujan. Para aktivis, tokoh agama, tokoh masyarakat, konglomerat, purnawirawan TNI/Polri, mantan pejabat, keluarga pejabat, selebriti, pewaris kuasa politik masa lalu, bahkan kelompok generasi milineal berlomba lomba mendirikan parpol.
Awalnya, tidak sedikit diantara mereka berdalih mendirikan ormas dan bersumpah di ruang publik bahwa ormas tersebut tidak akan menjelma jadi parpol. Faktanya, tanpa rasa malu mereka menjilat ludahnya sendiri. Ormas yang mereka dirikan dalam “sekejap” berubah jadi parpol.
Hingga saat ini, sebanyak 74 parpol yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dari 74 parpol tersebut, 16 lolos menjadi peserta Pemilu 2019. Diantara 16 parpol peserta Pemilu, terdapat 12 parpol lama, yaitu PDIP, Hanura, Nasdem, PAN, PKS, Gerindra, Golkar, PPP, Demokrat, PKB, PBB dan PKP Indonesia. Sementara sisanya, 4 parpol, merupakan pendatang baru yaitu Partai Perindo, PSI, Partai Berkarya, dan Partai Garuda.
Pasca Pemilu 2019, lahir belasan parpol, diantaranya Partai Gelora, Partai Ummat, Partai Masyumi Reborn, Partai UKM, Partai Kebangkitan Nusantara, Partai Dakwah Rakyat Indonesia.
Bukan rahasia lagi, parpol menjadi kendaraan politikus haus uang dan kekuasaan. Perekrutan anggota, pengurus, calon anggota DPRD/DPR, calon kepala daerah dan capres/cawapres dari parpol, berbasis transaksi - pola dagang sapi. Tak heran, parpol disesaki politikus pemburu rente. Yang dikejar hanya uang dan kekuasaan. Setelah itu uang dan kekuasaan lagi, begitu seterusnya.
Parpol laksana kerajaan. Kendali penuh ada di tangan ratu atau raja parpol dan keluarga terdekatnya. Sirkulasi kepemimpinan mandeg. Hampir tidak ada ruang tersisa bagi kelompok di luar keluarga dan kroni untuk memegang kendali parpol. Kecuali yang berkantong tebal, tentunya. Atau paling tidak, mereka yang menghamba pada ratu atau raja.
Dus, jika bukan keluarga kerajaan, parpol dikendalikan kalangan berduit dan hamba sahaya keluarga kerajaan.
PDIP adalah Megawati. Megawati dan keluarganya adalah PDIP. Tidak ada Demokrat tanpa SBY. SBY dan keluarganya menjadi simbol utama Partai Demokrat. Demikian pula dengan Gerindra, partai papan tengah yang sangat bergantung pada sosok Prabowo.
Sementara Partai Nasdem mutlak dikendalikan Surya Paloh, sang maestro media, yang juga eksodan politik dari Partai Golkar. Tanpanya, Nasdem sebagai parpol papan bawah hanya tinggal nama. Gejala patologis ini cukup akrab dengan realitas politik kekinian kita. Daftarnya bisa dilanjutkan!
Seturut dengan itu, parpol menjadi penyangga utama politik dinasti, politik kekerabatan, yang masih marak dalam pesta demokrasi elektoral kita. Sejumlah kepala daerah lahir dari rahim politik dinasti. Yang paling mencolok adalah Walikota Solo Gibran Rakabuming (anak sulung Presiden Jokowi) dan Walikota Medan Bobby Nasution (menantu Presiden Jokowi).
Selain mengerdilkan “panggung politik yang setara” bagi semua aspiran kontestasi elektoral dan menghambat sirkulasi politik kekuasaan yang terbuka dan sehat, politik dinasti juga rawan penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Para politikus pemburu rente yang menyesaki parpol hanya dekat dengan rakyat di masa Pemilu. Segala cara dimainkan guna mendulang suara rakyat. Tebar pesona, umbar janji, dan jual beli suara melalui politik amplop dan sembako, menjadi tradisi lumrah bagi para politikus pemburu rente.
Usai ritual pemilu lima tahunan, para politikus lupa pada rakyat. Yang diingat hanyalah trik mengembalikan uang mahar pencalonan. Jika memungkinkan, untung berlipat untuk pencalonan berikutnya. Memanfaatkan kekuasaan demi kekuasaan.
Dalam kamus politikus pemburu rente, tidak ada istilah “abuse of power” (penyalahgunaan kekuasaan). Ingkar janji, mendadak hilang ingatan adalah siasat umum mereka. Fungsi pendidikan politik terabaikan. Tutup buku untuk proyek pencerahan bagi warga. Nasib konstituen, nasib rakyat bukan lagi urusan para politikus pemburu rente.
Diharapkan berperan sebagai sarana penggemblengan calon pemimpin bangsa dan negarawan, parpol justru menjadi sarang koruptor. Hampir semua parpol kecipratan ulah koruptif dan perilaku menyimpang anggotanya.
Dari berbagai sumber, terungkap bahwa gerbong parpol pendukung Presiden Jokowi mendominasi kasus korupsi. Antara 2014 dan 2017, dari 31 kasus korupsi parpol, 22 diantaranya “sumbangan” koalisi parpol pendukung presiden Jokowi.
Pada tahun 2018, 21 kepala daerah terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, dan hampir seluruhnya berasal dari barisan parpol pendukung pemerintah. Delapan (8) kader PDIP, 5 Golkar, 2 Nasdem, 1 Perindo, dan 1 Partai Nasional Aceh, sisanya dari parpol non koalisi presiden Jokowi, yaitu 2 kader PAN dan 1 Partai Berkarya. Sementara Bupati Pakpak Barat, Sumatera Utara, kader Partai Demokrat, mendeklarasikan dukungannya kepada Jokowi pada pilpres 2019, tak lama berselang sebelum ditangkap KPK.
Di saat rakyat menderita akibat salah urus negara dan dampak pandemi COVID-19, para koruptor dari parpol berpesta pora menjarah uang negara. Sebut saja korupsi Bansos oleh eks Mensos Juliari Batubara, Wakil Bendahara Umum PDIP, yang memotong hampir 40% dari Rp. 6,8 triliun total anggaran Bansos Sembako Jabodetabek.
Sekitar dua minggu sebelumnya, pada akhir November 2020, eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari Gerindra terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK atas gratifikasi izin ekspor benih lobster, dibantu kader PDIP. Belum lagi menyebut skandal suap anggota KPU oleh Harun Masiku dari PDIP yang keberadaannya hingga kini masih raib.
Masih panjang daftar skandal korupsi era otoritarianisme korup rezim Jokowi yang banyak melibatkan elit parpol, baik di pusat maupun daerah.
Tak ayal, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2020 anjlok, dari 40 menjadi 37, membuat posisinya merosot 17 peringkat, dari 85 menjadi 102 di antara 180 negara. Posisi Indonesia berada di bawah Timor Leste dan Etiopia.
Anjloknya IPK Indonesia tersebut menunjukkan penyuapan, dan pencurian dana publik oleh pejabat negara dan politikus makin luas dan buas. Juga menggambarkan absennya kemauan politik negara dalam pemberantasan korupsi.
Alih alih memimpin perang melawan korupsi dan arus politik kriminal, presiden Jokowi justru memfasilitasi pembusukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Upaya membusuki KPK dilakukan secara sistematis sejak awal berkuasa, melalui skenario kriminalisasi Ketua Abraham Samad dan Wakil Ketua Bambang Widjojanto pada tahun 2015.
Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, pada April 2017, hingga kini menjadi misteri. Presiden Jokowi enggan memerintahkan pengusutan secara tuntas untuk membuka otak di balik penyerangan sadis ini. Hanya pelaku lapangan (diduga pemeran pengganti) yang dihukum ringan.
Puncaknya, revisi UU No. 30/2002 tentang KPK pada akhir 2019 yang mengebiri kewenangan luar biasa dari lembaga anti korupsi ini sehingga tidak bisa lagi melaksanakan tugasnya secara efektif.
*) Ketua Dewan Pengurus IDe
Alumnus Universitas Mataram (UNRAM)