Pencopotan Atribut Kampanye PDIP dan Ganjar– Mahfud di Bali Membuat Hubungan PDIP – Jokowi Kian Memanas

Jakarta, FNN - Hubungan antara PDIP dengan Presiden Jokowi sebagai petugas partai kian memanas. Berbagai atribut PDIP dan baliho Ganjar - Mahfud di Gianyar Bali dibersihkan menjelang kunjungan Presiden Jokowi ke Bali, Selasa (31/10/23) kemarin. Pembersihan yang dilakukan oleh Satpol PP dibantu petugas kepolisian dan aparat TNI itu, dinilai oleh PDIP sebagai bentuk provokasi, sebuah tindakan yang tidak dapat diterima, apalagi dilakukan di Bali. Seperti kita diketahui Bersama bawha Bali adalah provinsi yang secara tradisional dari satu Pemilu ke Pemilu lain suaranya selalu dikuasai oleh PDIP, sehingga Bali juga disebut sebagai kandang  banteng.

Menyikapi keadaan terseut, Plt. Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya, menyatakan bahwa penertiban atribut politik itu dilakukan untuk menjaga estetika selama presiden melakukan kunjungan di Gianyar, Bali.

“Kalau melihat agenda kunjungannya di Gianyar ini, saya tidak melihat ada yang terlalu penting ya. Karena kemarin Jokowi ke Gianyar untuk melihat proses belajar mengajar di SMK Negeri 3 Sukawati, kemudian mengecek harga-harga kebutuhan pokok di Pasar Bulan Gianyar, lalu menyerahkan bantuan dan bertemu dengan para warga yang mendapat bantuan sosial,” ujar Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, dalam kanal You Tube Hersubeno Poin edisi Rabu (1/11/23).

Menurut Sang Made, penertiban atribut kampanye tidak hanya berlaku untuk atribut PDIP dan pasangan capres - cawapres Ganjar - Mahfud, tetapi juga partai-partai lain.  Tetapi, karena di Bali yang dominan PDIP dan Ganjar - Mahfud maka tampak mencolok sekali penertiban atribut PDIP dan Ganjar - Mahfud. Setelah kunjungan Jokowi berakhir, atribut-atribut tersebut dikembalikan ke tempat semula.

Penjelasan tersebut dianggap tidak cukup memadai sehingga PDIP menganggap bahwa penertiban tersebut mempunyai tujuan tertentu. Ketua bidang kehormatan DPP PDIP Komaruddin Watubun menyatakan mereka akan melakukan investigasi.  Komarudin menilai penurunan baliho itu sebagai upaya untuk memprovokasi. Dia mengingatkan agar banteng tidak diganggu jika sedang diam.

“Kalau banteng jangan diganggu, banteng kalau diam jangan diganggu, karena kalau dia bangun dia brutal, itu banteng,” kata Komarudin.

Peristiwa pencopotan atribut PDIP dan baliho pasangan Ganjar - Mahfud ini semakin memanaskan tensi hubungan antara PDIP dengan Presiden Jokowi. Pasca-pencawapresan Gibran, panasnya hubungan antara Megawati dengan Jokowi tidak bisa lagi ditutup-tutupi.

Selain Komarudin, beberapa tokoh PDIP yang lain juga mulai speak up, seperti Hasto Kristiyanto, Jarot Saeful Hidayat, Ahmad Basara, dan Adian Napitupulu. Narasi kemarahan dari para kader dan petinggi PDIP itu bertebaran di berbagai media.

Serangan terbaru PDIP terhadap Jokowi datang dari politisi PDIP, Masinton Pasaribu, dan dilakukan secara terbuka di forum Paripurna DPR. Masinton mendesak agar DPR mengajukan hak angket atas putusan Mahkamah Konstitusi yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.

 “Manuver dari Masinton ini tidak boleh dianggap sepele dan jangan dianggap bahwa ini adalah inisiatif pribadi dari Masinton. Saya kira ini semacam dia diminta untuk mengecek kedalaman air seberapa besar respons publik dan terutama juga respons di kalangan DPR, karena jika hak angket itu disetujui oleh DPR maka peluang untuk memakzulkan Presiden Jokowi jadi terbuka dan potensinya sangat besar karena sekarang ini Jokowi tidak lagi didukung oleh mayoritas partai di parlemen,” ujar Hersu.

Hersu juga menyatakan bahwa sekarang posisi Jokowi di parlemen sangat rentan dan tertekan karena kalau koalisi pendukung Ganjar - Mahfud bersatu dengan koalisi perubahan yang mengusung Anies - Cak Imin maka komposisi mereka di DPR sudah lebih unggul.

Merespons munculnya kemarahan PDIP karena atributnya dicopot, Presiden Jokowi mengingatkan agar pemerintah daerah berhati-hati. Jokowi memerintahkan agar setiap kali melakukan penertiban atribut kampanye harus berkomunikasi dengan partai politik.

Sebelumnya, ketika memberikan pengarahan kepada para pejabat kepala daerah, Presiden Jokowi juga mengingatkan agar mereka bersikap netral. Jokowi menyatakan bahwa selain Menteri Dalam Negeri yang akan mengawasi mereka, Jokowi sendiri juga akan melakukan evaluasi, bahkan kata dia setiap hari akan dilakukan evaluasi bila mereka diketahui miring-miring alias tidak netral.

“Siapa yang percaya dengan pernyataan Pak Jokowi dan keluarganya sekarang ini. Netralitas Jokowi sendiri dipertanyakan. Akan sulit berharap Jokowi bersikap netral ketika putranya menjadi salah satu kontestan pada pilpres 2024,” ujar Hersu.

Permasalahannya bukan hanya menjadi kontestan, tapi proses menjadi kontestannya itu, yaitu proses lolosnya Gibran menjadi calon wakil presiden, melalui proses yang sangat tidak etis di Mahkamah Konstitusi, karena posisi pamannya yang menjadi ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman. Saat ini sedang dilaporkan ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Meminjam istilah Prof. Jimly Asshiddiqie, kesalahan ketua MK Anwar Usman ini sudah cetho welo-welo, dia conflict of interest. Jadi, kalau memang MK imparsial, seharusnya Anwar Usman dijatuhi sanksi.

Yang juga menjadi pertanyaan dan jawabannya ditunggu-tunggu masyarakat adalah apakah jika Anwar Usman dinyatakan bersalah dan diberhentikan dari Mahkamah Konstitusi bisa berdampak pada pembatalan Gibran sebagai Cawapres?

“Jadi, kalau sekarang PDIP dan tim pemenangan nasional Ganjar - Mahfud mempertanyakan motif di balik pencopotan atribut kampanye PDIP dan Ganjar – Mahfud, ya tidak terlalu salah. Karena memang sangat terlihat bahwa Presiden Jokowi, seperti pernah dia katakan sebelumnya, akan cawe-cawe dalam proses pilpes 2024. Kalau sudah begitu, apapun langkah yang dilakukan oleh pemerintah pasti akan dicurigai, apalagi kalau dilakukan secara terbuka seperti yang dilakukan di Bali,” pungkas Hersu.(sof)

288

Related Post