Pengamat Kebijakan Publik Pastikan Luhut Binsar Gagal Puaskan Jokowi Atasi Persoalan Minyak Goreng

Jakarta, FNN - Pengamat Kebijakan Publik, Achmad Nur Hidayat menyatakan keyakinannya bahwa Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan akan gagal dalam menjalankan perintah Presiden Jokowi mengurus minyak goreng.

Menurutnya, menteri andalan Jokowi ini tidak akan berhasil menurunkan harga minyak goreng yang sampai saat ini masih tinggi di pasaran.

“Orang banyak menyatakan, seorang jenderal tidak pernah gagal dalam menjalankan misinya. Tetapi untuk kali ini saya berani mengatakan beliau akan gagal,” katanya kepada wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Hersubeno Point, Kamis, 26 Mei 2022.

Dia kemudian membeberkan sejumlah alasan yang mendasari alasan kegagalan Luhut Binsar Pandjaitan ini.

Yang pertama adalah pak Luhut ini adalah sosok yang tidak independen terhadap pengusaha sawit.

“Kalau kita ingat ada tersangka yang disangkakan oleh kejagung terkait penyalahgunaan ekspor CPO di mana harusnya ada aturan DMO dan DPO yang dipenuhi oleh satu perusahaan kalau dia tidak memenuhi itu maka dia tidak bisa ekspor, nah ini dilanggar," tutur Achmad Nur Hidayat.

Achmad Nur Hidayat menyatakan, pelaku ada tiga perusahaan besar, pertama Wilmar, kedua Musim Mas, dan yang ketiga adalah Permata Hijau.

“Ketiga orang ini ya sayangnya, berarti 2/3 dari tersangka ini adalah orang Batak. Masalahnya adalah karena ada kekhasan satu suku ya, Pak Luhut juga orang Batak, jadi kekhasan satu suku itu seringlah menurut saya sering bertemu, berinteraksi," ucapnya.

Bahkan, Achmad mengaku mendapat informasi, bahwa Komisaris Wilmar yang menjadi tersangka itu suka bolak-balik ke kantornya Pak Luhut.

“Dan itu kayak ada satu ruangan. Kalau dia mau ketemu Pak Luhut dia tinggal masuk aja, dia bukan orang asing di kantor Menko Marves," paparnya.

Achmad menambahkan bahwa meski Jubir Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pertemuan semacam itu biasa, dia menganggap bos Wilmar ini tidak biasa.

“Iya, biasa itu kan buat menetralkan, tapi tidak biasa kalau orang yang diundang itu sering bolak-balik. Dia kalau masuk menemui Pak Luhut tinggal masuk aja, nggak perlu ada protokoler. Itu kan berarti sudah lebih dari biasa kalau menurut saya," ujarnya.

Oleh karena itu Achmad menilai, Luhut tidak independen terhadap pengusaha sawit. Kalau sudah tidak independen berarti dalam rumusan kebijakannya, Luhut tidak akan mencari satu titik harga yang di mana itu harga sebetulnya menguntungkan publik dan sudah menguntungkan para pengusaha meskipun marginnya sedikit.

Alasan kedua kata Achmad, adalah distribusi dari minyak kelapa sawit yang menjadi akar masalah ini sangat kompleks dan sulit untuk disimplifikasi.

"Dalam arti begini, namanya distributor, kita lupakan dulu produsennya, distributor ini selalu mencari harga yang tinggi. nah di satu sisi dia dapat harga dari produsen sekian, dan dia melihat di pasar itu ada dua, satu pasar minyak curah, satu pasar kemasan," ucap Achmad Nur Hidayat.

Menurut Achmad, yang namanya orientasi bisnis para distributor jelas akan memilih untung yang lebih besar.

“Mereka akan bilang 'Lebih baik saya kasih ke pasar kemasan'. Kenapa? let's say dia di level di pasar kemasan itu bisa Rp18.000, sementara di pasar tradisional di bawah jauh ya, kalau kita mau patok itu mungkin sebesar Rp12 ribuan," ujarnya.

Dari kenyataan ini menurut Achmad bahwa harga minyak curah tidak mungkin di level yang rendah, yang ada adalah dilepas semuanya ke pasar kemasan. Akhirnya minyak goreng kemasanlah yang ada di masyarakat.

“Dan kita saksikan hari ini minyak curah nya tidak ada di masyarakat," katanya.

Alasan yang ketiga, Achmad Nur Hidayat mengatakan bahwa harga minyak sawit internasional sudah tinggi, dan terakhir berada di angka 1.500 Dolar AS (Rp21,8 juta) per metrik ton.

"Jadi ini sudah di level dalam pungutan ekspor yang ditetapkan BPDPKS ini sudah level tertinggi yang dikenakan pungutan ekspor sekitar 375 US Dollar per ton. Kalau harga di atas itu harga pungutan ekspor udah nggak bisa naik lagi karena ini batas tertinggi," ucapnya.

Dengan harga begitu, kata Achmad, maka tiap produsen CPO tidak lagi punya insentif untuk melepasnya ke pasar dalam negeri ataupun malah mengubahnya menjadi minyak goreng karena harganya sudah tinggi.

“Mereka berpikir 'ya saya ingin mendapat profit, saya lepas aja keluar, ke ekspor. Toh tidak ada larangan ekspor kan hari ini'," tuturnya.

Hal semacam ini kata Achmad akan menambah the complicated lagi ketersediaan CPO-nya di dalam negeri.

“Jadi. dengan harga yang sebegitu sudah tinggi ya CPO itu menjadi ngapai cuman dijadikan minyak goreng yang maunya juga harganya rendah gitu," tegas Achmad.

Keempat kata Achmad, alasan mengapa Luhut Binsar Pandjaitan akan gagal menurunkan harga adalah karena minyak goreng masih dikuasai oleh pasar oligarki.

“Jadi Pak Luhut tidak punya kemampuan untuk meminta seluruh oligarki ini tunduk. Toh oligarki ini adalah orang yang berjasa besar dalam pemenangan presiden sekarang," kata Achmad Nur Hidayat.

Jadi dengan logika begitu, maka oligarki ini power-nya lebih besar dibandingkan oleh power-nya atasannya pak Luhut sekalipun.

“Oleh karena itu saya melakukan prediksi bahwa Pak Luhut ini akan gagal menurunkan minyak goreng sampai ke level Rp11.500. Kalau bicara turun, bisa saja mengklaim turun Rp100 perak, Rp200 perak, tapi apakah itu sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat?," ujarnya menambahkan.

Achmad Nur Hidayat menilai, meski nantinya Luhut Binsar Pandjaitan berhasil menurunkan harga minyak goreng, tidak menjamin angkanya akan stabil seperti itu.

"Rp11.000 pun bisa tercapai, tetapi apakah bisa sustain? Bisa aja dalam satu waktu, secara nasional bahkan saya ingin sampaikan, itu bisa sehari, dua hari, seminggu, mungkin bisa. tetapi ini Enggak akan sustain karena persoalannya adalah yang memproduksi minyak goreng ini adalah swasta sementara yang memaksa harganya ke level rendah adalah negara, kan nggak matching," tuturnya.

Achmad Nur Hidayat memberikan tiga saran yang akan efektif tapi sulit untuk Pemerintah dalam mengatasi polemik minyak goreng ini.

"Harusnya, saya juga sarankan itu ada tiga tahap kalau Pak Luhut ingin berhasil, dan saya kira ini adalah tahapan yang cukup panjang proses yang gak bisa sebulan, dua bulan," ucapnya.

"Di antaranya adalah kita sarankan BUMN yang ada, yang sudah ada, itu ditambah investasinya untuk dia masuk ke minyak goreng. Jadi pemain terbesar minyak goreng bukan lagi swasta tapi BUMN ini," ujarnya.

Saran yang kedua, Pemerintah harus memastikan orang yang terlibat dalam pembuatan kebijakan adalah orang yang benar-benar berpikir untuk kepentingan publik.

"Saran yang kedua adalah orang yang kemudian terlibat dalam policymaking ini adalah orang yang berpikir kepentingan publik, jadi penempatan nanti orang-orangnya kemudian termasuk yang di Kementerian Perdagangan ini orang-orang yang berani melawan oligarki," kata Achmad Nur Hidayat.

"Sehingga dia nanti membuat law enforcement yang tegas terhadap orang-orang atau pelaku-pelaku usaha yang bermain-main dengan harga," tuturnya menambahkan.

Terakhir, Achmad Nur Hidayat menyebutkan bahwa untuk jangka panjang, Pemerintah harus menetapkan satu harga untuk minyak goreng.

"Jadi minyak goreng itu enggak boleh ada minyak goreng kualitas rendah dijual ke masyarakat bawah dalam bentuk minyak curah, sementara ada minyak goreng kualitasnya tinggi ditambah kemasannya bagus dijual ke masyarakat atas," ujarnya.

Saya kira harusnya kalau dalam sistem yang lebih adil, minyak goreng itu harus satu jenis saja. dia grade-nya yang memang layak ya, standar buat masyarakat," ucap Achmad.

Akan tetapi, ketiga saran tersebut tampaknya akan sangat sulit dibuat oleh Pemerintah, mengingat oligarki akan sulit untuk dilawan.

Oleh karena itu, Achmad menilai Luhut Binsar Pandjaitan akan gagal. “Jenderal yang tidak pernah gagal dalam tugas, mohon maaf Pak Luhut ya, untuk kali ini Anda akan gagal," pungkasnya. (ida, sws) 

304

Related Post