Perang Bintang Bikin Kasus Penembakan Brigadir Joshua Jadi Rumit

Perintah Presiden Joko Widodo: Tuntaskan!

PRESIDEN Joko Widodo sudah memerintahkan Polri terbuka dan mengusut tuntas terkait proses penyelidikan kasus penembakan antar anggota yang menewaskan Brigadir Joshua Hutabarat di rumah dinas Kadiv Propam Polri, Jum’at (8/7/2022).

“Saya kan sudah sampaikan, usut tuntas, buka apa adanya. Jangan ada yang ditutup-tutupi, transparan. Sudah!” tegas Presiden Jokowi di sela kunjungan kerjanya di Pulau Rinca, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, Kamis.

Jokowi mengatakan transparansi menjadi sangat penting dalam penyelidikan kasus penembakan yang menewaskan Brigadir Joshua, sehingga tidak muncul keraguan masyarakat terhadap institusi Polri.

“Ini yang harus dijaga. Kepercayaan publik terhadap Polri harus dijaga,” papar Presiden Jokowi.

Terkait kasus baku tembak antar anggota Polri tersebut, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menonaktifkan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Karo Pengamanan Internal (Paminal) Polri Brigjen Hendra Kurniawan, dan Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Pol. Budhi Herdy Susianto.

Menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, penonaktifan tersebut dalam upaya menjaga transparansi, objektivitas, dan akuntabilitas Polri dalam mengungkapkan kasus baku tembak antar anggota tersebut.

Bagaimana pengamat politik Rocky Gerung dalam melihat kasus penembakan Brigadir Joshua ini, berikut petikan dialognya bersama wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam Kanal Rocky Gerung Official, Jum’at (22/7/2022).

Presiden Jokowi sudah dua kali menyampaikan peringatan kepada Kapolri agar kasus tewasnya Brigadir Joshua Hutabarat dibuka seterang-terangnya. Dan polisi seperti kita ketahui Kapolri dalam hal ini sudah mulai mengambil langkah-langkah yang menurut saya luar biasa, karena sudah menonaktifkan tiga orang.

Ferdy Sambo, Kadivpropam dinonaktifkan, yang ada di pusaran peristiwa Karopaminal (Karo pengamanan internal) yang melarang kelurga Joshua untuk membuka peti mati dan kemudian ternyata dengan berhasilnya dibuka peti mati dan difoto-foto itulah kemudian menjadi tabir yang sekarang sudah terbuka.

Kemudian Kapolres Metro Jakarta Selatan yang skenarionya bolong-bolong, ini kelihatannya belum belajar penulisan skrip, mesti belajar dengan script writer kalau mau membuat skenario. Dan Pak Jokowi, terakhir kemarin, hari Kamis, mempersoalkan.

Ini menurut saya menarik saya karena saya jadi teringat pernyataan Pak Mahfud MD bahwa ini bukan hanya pertaruhan Pak Listyo Sigit loh karena ternyata harusnya menjadi pertaruhan Pak Jokowi juga.

Betul memang karena polisi di bawah Presiden Jokowi juga kan. Dan di negara-negara lain kasus seperti ini selesai di tingkat kabupaten karena profesionalitas. Di sini ini terpaksa kepala negara musti ngomong karena berkepanjangan.

Hal itu terjadi karena penundaan untuk memperlihatkan kausalitas. Karena, publik meragukan teori sebab-akibat yang diterangkan oleh Kapolres Metro Jakarta Selatan, lalu terbuka peluang untuk menduga-duga, ada kausalitas lain.

Lalu orang sibuk dengan, bagaimana membuktikan kalau jenazahnya sudah jadi jenazah korban itu. Dia nggak bisa lagi bicara. Ya nggak dong, jenazah itu bisa bicara. Mayat itu punya kemampuan bicara. Bahasa kita dengan jenazah itu namanya otopsi.

Jadi kira-kira begini, biarkan sang korban itu sebagai jenazah untuk bicara, mendahului apa yang diucapkan oleh Kapolres atau pejabat Humas Kapolri. Kan sebelum jenazah bicara nggak boleh ada orang bicara. Jenazah itu bicara dengan memakai bahasa otopsi.

Karena itu, forensik itu adalah cara untuk meminta sang jenazah untuk bicara sendiri. Itu yang nggak dilakukan. Jadi, kalau sekarang ada otopsi baru, itu berarti otopsi lama bohong-bohongan. Dan, mesti dihukum itu mereka yang membuat otopsi bohong-bohongan.

Jadi hormati jenazah itu, jangan manipulasi tubuh sang jenazah ini dengan segala macam skenario. Biarkan ilmu forensik minta dengan sopan supaya si jenazah itu bicara. Karena itu diperlukan otopsi ulang.

Kira-kira itu soal teknisnya. Sekarang soal yang agak politis, karena Presiden Jokowi akhirnya sedikit memaksa untuk lakukan keterbukaan segala macam. Ini juga sebagai sinyal bahwa soal-soal pengambilan keputusan itu akhirnya musti tunggu semacam sinyal dari Presiden.

Karena kalau nggak ada sinyal dari presiden justru interpretasi diantara para bintang di Polri itu yang bermain. Dan, opini publik diayunkan oleh macam-macam interpretasi itu. Tapi sekali lagi Pak Jokowi bertanggung jawab penuh, bukan sekedar minta supaya masalah itu selesai.

Jadi, karena hal ini ada komando tertinggi dari institusi yang kadangkala di belakangnya ada latar belakang politik. Pergantian Kapolri itu sangat bias politik. Seringkali publik menduga lebih dahulu, padahal sebetulnya dugaan itu dipermainkan oleh opini publik.

Hal yang dulu kita anggap sudahlah kalau Kapolri itu ditunjuk saja, nggak usah ada semacam fit and proper test, sehingga melibatkan partai politik, kalangan intelijen juga bermain untuk menentukan siapa yang layak jadi Kapolri. Jadi bagian-bagian ini sekaligus kita pakai momentum untuk betul-betul mengatakan bahwa profesi itu diatur etika profesi, bukan oleh etika para politisi.

Saya membayangkan gini, ini rujukannya kan kita biasanya nonton film-film Hollywood atau seri-seri film di Amerika. Kalau ada kasus-kasus begini biasanya Kapolres atau Kapoldanya pasti sudah ketakutan karena walikotanya akan selalu menekan.

Karena kalau ada sebuah kasus tidak terungkap, persoalannya dia tidak akan terpilih lagi pada pemilihan walikota berikutnya. Jadi lebih baik dia ganti itu komisaris polisinya daripada dia yang harus diganti. Saya membayangkan dilema yang dihadapi Pak Jokowi sekarang seperti itu juga.

Iya, Pak Jokowi merasa, sudah dia nggak bakal terpilih lagi jadi nggak ngurus lagi siapa yang jadi kepala polisi. Jadi ini sebetulnya karena tadi saya ucapkan bahwa berdempet antara variabel profesi dan variabel politisi itu.

Hal yang musti kita batalkan dari awal reformasi itu supaya polisi itu betul-betul hanya bekerja berdasarkan peralatan forensik yang dia punyai, bukan berdasarkan bisikan, si ini punya potensi untuk menjadi ke Kapolri karena diproteksi dulu.

Jadi gen di antara Istana dan kepolisian itu justru yang membuat semua soal akhirnya dicurigai orang. Kan kecurigaan itu datang karena polisi dianggap itu bagian dari peralatan politik presiden. Kan itu, bukan hanya dalam kriminal tapi dalam banyak soal itu. Dalam soal korupsi juga, dan apalagi dalam soal kampanye presiden.

Jadi, keberpihakan polisi kepada kepala negara, itu justru yang membuat banyak orang curiga sehingga kasus seperti tadi, peristiwa kriminal biasa di rumah seorang petinggi polisi, terpaksa musti diusut sampai ke atas itu latar belakangnya apa, ada problem sebelumnya.

Itu mungkin yang membuat kasus ini jadi njlimet cara pengungkapannya. Tapi tetap kita kasih pujian awal bahwa Pak Listyo itu tahu tentang program ini, lalu diambil-alih dengan menunjuk Wakapolrinya sebagai pejabat sehingga nggak ada kasak-kusuk lagi.

Karena ini langsung Wakapolri maka bintang-bintang yang lain disuruh diam saja karena ini langsung Wakapolri yang adalah asisten khusus.

Dalam keadaan ini dia adalah asisten yang dipercaya bahwa dia tidak akan dipengaruhi oleh bintang-bintang yang lain karena dia langsung di bawah Kapolri pangkatnya.

Jadi sejak awal sebenarnya kita bisa sederhanakan kasus ini karena ada soal Perang Bintang yang kemudian membuat kasus yang gampang jadi susah.

Kadi kembalikan pada prinsip bahwa tubuh korban itu mampu untuk bicara melalui bahasa yang disebut forensik dan keahlian otopsi. Jadi sudah, kita sampai di situ, semua hal kita taruh dulu dalam tanda kurung, nanti tanda kurungnya kita hilangkan, soal selingkuh, soal siapa yang menyuruh, apakah betul senjata itu senjata yang menyebabkan kematian, atau ada senjata lain.

Apakah jenazahnya itu di rumah Pak Sambo atau sebetulnya dia masih hidup waktu dibawa ke situ. Ya macam-macam. Semua itu kan bisa diterangkan nanti kalau betul-betul yang disebut otopsi kedua ini betul-betul otopsi secara forensik dan secara saintifik. Itu intinya kan?

Jadi sudahlah, hilangkan variabel yang lain supaya kita fokus pada prinsip habeas corpus, bahwa jenazah itu atau tubuh korban itu harus mampu untuk membela diri di depan pengadilan melalui peralatan otopsi dan forensik, ilmu hukum kriminal.

Iya, saya percaya dengan profesionalisme dari dokter-dokter kepolisian. Tapi persoalannya bukan persoalan forensik yang dilakukan pihak kepolisian, tapi bagaimana menyajikan hasil dari forensik. Karena dicoba ditutup-tutupi, tidak boleh dibongkar jenazahnya, dan sebagainya.

Nah ini yang kemudian membuat akhirnya publik menganggap bahwa semua tidak bisa dipercaya. Karena itu kemudian pengacara juga minta bahwa harus ada tim forensik dari TNI. Dia dia minta seluruh forensik dari TNI, baik TNI AL, TNI AD, dan TNI AU. TNI AL sudah menyatakan bahwa mereka bersedia saja asal ada perintah dari Panglima TNI.

Ya, itu jadi kita bayangkan bagaimana hal yang sederhana menjadi rumit karena kekonyolan awal dari pihak kepolisian yang tiba-tiba langsung dari awal menyatakan bahwa ini ada soal sexual harassment dan ini ada saling membela diri, tembak-menembak.

Jadi sebelum seluruh fasilitas yang memungkinkan kita tahu apa yang terjadi, sudah diucapkan lebih dahulu kesimpulannya oleh pihak Polres Metro Jakarta Selatan. Padahal orang anggap kalau dari awal sudah tahu, itu kenapa nggak dibuka dari awal.

Kalau dari awal di situ ada kejahatan kenapa tidak ada police line di situ. Jadi itu yang menyebabkan akhirnya semua merasa kita nggak percaya lagi itu. Maka minta tolong TNI. Jadi bayangkan satu peristiwa yang simpel akhirnya variabelnya jadi panjang lebar. Demikian juga soal-soal yang lain.

Soal ekonomi, politik, itu pasti orang berpikir nggak ada yang benar ucapan dari dalam kekuasaan. Lalu orang pun curiga. Jadi, kecurigaan sudah jadi semacam tata bahasa baru pada kita. Nanti bahayanya kalau presiden juga memberi sinyal bahwa itu bohong. Iya, tapi setelah publik marah di seluruh Indonesia.

Nggak ada satu orang pun di Indonesia (dalam dugaan saya) yang percaya apa yang diucapkan di awal kasus ini sehingga kita bongkar lagi dari awal. Dan, membongkar itu juga menimbulkan psikologi baru, karena jenazah itu kok dibongkar lagi.

Tetapi keluarga tetap menganggap oke, demi kebenaran, silakan. Kita ingin agar seluruh kemampuan bangsa ini untuk menentukan sebab-akibat setelah peristiwa itu harus dibuka pada publik.

Sekarang ada problem kedua itu, apa yang sedang dipikirkan para penyidik untuk menyusun bahasa. Jangan sampai terjadi autopsi ketiga lagi. Itu yang artinya kita habis sebagai negara hukum dan kepercayaannya itu betul-betul nggak ada lagi. Dan citra polisi langsung ambruk. (Ida/mth)

1551

Related Post