PKS Gugat PT 20 Persen: MK Mau Tolak Dengan Dalih Apalagi?

PKS gugat Presidential Threshold 20 persen.

RABU, 6 Juli 2022, ada moment penting berkaitan dengan soal yang sering kita gembar-gemborkan, soal nol persen. Ini tentang gugatan presidential threshold (PT) 20% yang diajukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut wartawan senior FNN Hersubeno Arief, ini menarik karena kita tahu selama ini hakim MK selalu menolak dan menolak dengan alasan ini legal standing dan mereka tidak bisa mengkalkulasi kerugian akibat pelaksanaan PT 20%.

Bagaimana pengamat politik Rocky Gerung melihat persoalan ini? Berikut ini petikan wawancara Hersubeno Arief dengan Rocky Gerung dalam Kanal Rocky Gerung Official, Rabu (6/7/2022).

Kalau partai politik seperti PKS, saya pengin tahu kira-kira apa lagi argumen dari Mahkamah Konstitusi untuk menolaknya. Dan saya yakin pasti akan ada upaya-upaya untuk menolak.

Ya, ada semacam keputusasaan, sebab seluruh fasilitas yang memungkinkan kita pergi ke MK membawa dalil judicial review, itu langsung dibatalkan aspek formilnya, yaitu legal standing, kan itu terus-menerus.

Padahal, ada aspek material, yaitu keadilan, kejujuran, peternakan oligarki. Kan semua itu diabaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Sekarang ada masalah, kalau misalnya semua diabaikan lalu mau ngapain begitu.

Jadi seumur hidup kita hidup dengan 20% karena nggak ada satupun yang punya legal standing sehingga orang bertanya-tanya, lalu legal standing-nya MK apa untuk menolak itu? Begitu filosofinya.

Padahal, sebetulnya diperlukan semacam kelegaan dari Mahkamah Konstitusi untuk menerima argumennya, bukan menolak secara formal dulu soal legal standing. Legal standing itu bisa disusupkan kemudian di dalam persidangan justru, supaya ini terlihat bahwa ini berhak nggak berhak.

Sekarang PKS dengan bagus mengajukan proposal judicial review karena dia punya legal standing untuk mencalonkan presiden versi dia sendiri. Nggak perlu ada koalisi kan? Itu sebetulnya dalil presidensialisme murni diajukan oleh PKS.

Jadi kita akan mendukung itu, termasuk kita juga mendukung Partai Bulan Bintang (PBB) yang juga sudah mengajukan judicial review, bersama-sama juga dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga mengajukan. Kita mau tunggu itu.

Sambil kita menunggu, kita perlu memberi semacam insentif bagi mereka yang menginginkan demokrasi ini dimulai dari titik nol. Jadi, kita akan mendorong terus supaya 0% itu diselesaikan.

Tapi ada hal lain yang bisa kita pikirkan bahwa kalau mau bermain dengan logika bahwa Presiden itu harus memperoleh dukungan parlemen, ya pakai hasil pemilu 2004, bukan 2019. Kan garis lurusnya begitu. Ini legitimasinya betul-betul real-time, bukan legitimasi yang diangankan ke belakang. Itu juga sudah banyak sekali kita bahas soal-soal semacam itu.

Oh iya, kalau soal tiket baru ini kelihatannya yang digugat oleh partai Gelora, dan sampai sekarang juga belum ada putusannya. Ini yang diajukan Gelora adalah dipisah antara Pileg dengan Pilpres.

Karena kalau masih tidak dipisah, tetap saja nanti partai-partai lama yang akan dipakai untuk mengajukan pencapresan. Dan ini saya kira agak konyol karena peta politik sudah berubah. Katakan sekarang PDIP yang 19,2 persen suaranya, mungkin sudah berubah, bisa jadi lebih turun atau lebih naik.

Begitu juga partai-partai lain. Pertanyaannya, partai baru yang nanti pada pilpres 2024 bagaimana? Mereka cuma jadi penonton saja kalau tetap dipertahankan dengan tiket lama seperti sekarang.

Ya, itu masuk akal sekali proposal Gelora, karena memang kalau kita melihat “asbabun nuzul“ dari PT 20%, kan PT 20% dulu dipasang untuk menghalangi SBY pada waktu itu. Dan nyatanya SBY bisa lampaui itu dan justru PDIP yang tenggelam. PDIP yang pasang perangkap ternyata SBY bisa lolos dari situ.

Dan memang dimaksudkan supaya presiden itu punya legitimasi. Karena itu, hal yang lebih penting dari pembicaraan kita adalah memastikan kalau pemilu legislatif lebih dulu dari presidensiil. Itu masuk akal kalau dikasih threshold. Jadi sudah ketahuan duluan kan.

Dan sebetulnya dengan mudah saja orang menyetujui juga nggak ada soal asal pemilu legislatif duluan. Kan begitu logikanya. Supaya nggak sekadar menganggap bahwa pemilihan kemarin itu sama perolehannya dengan pemilu yang akan datang. Kan kacau.

Betul tadi bahwa semua partai yang dianggap sudah memenangkan pemilu 2019, tidak dengan sendirinya akan menggunakan 2024. Kan begitu tuh. Saya membaca tadi di koran, PDIP sudah dapat 20 miliar rupiah dari Departemen Dalam Negeri karena dia punya jumlah anggota yang signifikan itu.

Apa betul nanti 2024 PDIP masih segitu? Mungkin sekali turun juga atau PKS tadi, mungkin dia naik sekali. Demikian juga dengan Gelora. Jadi kita musti jujur. Jangan kita berandai-andai saja. Ya mulai dengan fakta bahwa pemilu legislatif mendahului presiden, memungkinkan dipasang threshold karena bisa langsung ketahuan.

Itu yang sering saya sebut, kita jangan beli kucing dalam karung. Kita musti beli kucing dalam karung yang bolong supaya langsung kelihatan kucingnya.  Jadi logika Gelora betul, kalau mau 20 persen atau mau berapa persen pun, itu harus dengan hasil pemilu pada 2024, bukan hasil pemilu 2019, dan yang pasti suasana batin rakyat juga sudah berubah.

Kan dulu PDIP itu menang karena ada calonnya, yaitu Pak Jokowi. Nah, sekarang nggak ada calonnya, masa’ masih sama suaranya. Ajaib.

Jadi, sekaligus matematika itu mau kita meluruskan. Bukan kita anti-20% tanpa alasan. Kita juga setuju kalau misalnya dibuat urutan berpikir itu. Lakukan dulu perhitungan hasil pemilu 2024, baru tetapkan threshold.

Jadi hal yang seringkali kita peribahasakan sebagai “jangan taruh gerobak di depan kuda” nggak akan jalan gerobaknya. 

Dan ngomong-ngomong sebenarnya apa yang kita sebut sekarang sebagai oligarkis, kemudian bagaimana memperpanjang periode dan sebagainya, itu kan semua muaranya di 20% itu dan kemudian tiket lama yang digunakan untuk pilpres berikutnya.

Sekarang sebetulnya dilema juga dihadapi oleh Pak Jokowi, karena kelihatan sekali yang sering kita sebut Pak Jokowi sebagai land duck, karena Pak Jokowi sekarang  setelah di akhir masa jabatannya, nggak punya positioning apapun. Karena tiket-tiket itu semua dikuasai oleh partai-partai politik.

Sebetulnya kalau kita mau berbicara hal yang lebih taktik politik atau siasat politik itu, sebaiknya Pak Jokowi bilang saja bahwa kami pemerintah punya pengertian baru tentang pemilu.

Karena rakyat menuntut dihapuskannya threshold, itu bagus buat demokrasi karena partai-partai politik masih ngotot pakai threshold. Tapi pakai threshold yang dibuat dengan ukuran 2024.

Dengan cara seperti itu Pak Jokowi punya kemampuan juga untuk masih bisa manuvering, sehingga ada peluang Pak Jokowi mungkin dielu-elukan lagi oleh partai-partai lain walaupun dia tidak akan terpilih.

Tetapi, pengaruh Pak Jokowi masih akan terasa karena semuanya datang dengan tiket baru, bukan tiket kadaluwarsa. Dengan cara itu Pak Jokowi meninggalkan legacy juga bahwa Jokowi melakukan pembaruan tahapan Pemilu demi memenuhi prinsip threshold itu.

Jadi, harus logis juga kita membantu Pak Jokowi supaya ya batalin saja tiket-tiket itu. Kalau belum bisa lewat MK, bikin saja Perpu. Apa susahnya. Itu kan cuma Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017. Bikin saja Perpu bahwa undang-undang itu dibatalkan, nanti menunggu perubahan UU baru, tetapi rakyat langsung tahu Pak Jokowi mengerti tuntutan rakyat.

Itu yang lebih penting sebetulnya. Rakyat ingin tahu Pak Jokowi pro rakyat atau pro oligarki. Jadi kalau dia pro rakyat, dia akan mengerti bahwa rakyat menginginkan politik ini bersih.

Kalau mau pasang threshold, jangan pakai threshold yang dipasang oligarki, yaitu mengumpulkan suara di 2019 yang sudah kadaluwarsa untuk menjadi alasan supaya tidak ada pesaing di 2024. Jadi, bersainglah secara jujur. Itu pentingnya. Karena itu, pemisahan pemilihan umum itu ya masuk akal juga sebetulnya. Jadi betul proposalnya Gelora itu baik sebagai pikiran akademis.

Jadi ada dua hal sekarang yang musti kita cermati dari Mahkamah Konstitusi. Katanya sih bocorannya DPD bakal ditolak. Tapi kalau PKS agak susah ditolak karena legal standingnya di mana. Kemudian Gelora itu juga jadi menarik.

Jadi kalau dua ini diseriusi Mahkamah Konstitusi atau kita mungkin enggak terlalu berharap Mahkamah Konstitusi terlampau serius, tapi Pak Jokowi kan sebenarnya bisa menggunakan instrumen ini, tanpa harus kelihatan beliau berbenturan dengan partai-partai politik, tapi kalau kemudian MK memutuskan kan Pak Jokowi aman. Biar terkesan cuci tangan bersih, tapi target beliau juga tercapai.

Kalau saya lebih jauh lagi. Pak Jokowi sudahlah cabut saja. Kan Pak Jokowi sudah dianiaya oleh PDIP. Ya sekaligus saja lakukan semacam bukan balas dendam, tapi semacam teguran konstitusional atau siasat konstitusinal. Lalu orang akan anggap, wah Pak Jokowi cerdas dan cerdik, membatalkan tiket PDIP.

Dan itu artinya mengembalikan tiket pada rakyat, bukan menggusur PDIP. Ini membatalkan tiket saja, gampang. Dan tiket itu memang harus dibatalkan karena kadaluwarsa. Kan malu juga PDIP memakai tiket kadaluwarsa untuk masuk ke bioskop untuk nonton film. Kan dianggap itu nyelonong.

Jadi begitulah. Pemilu itu kan semacam tontonan politik, pakai tiket yang baru dibeli dong, bukan tiket kemarin, dianggap tiket terusan. Tidak bisa dong. Tiket terusan itu batal setelah kadaluwarsa. (mth/sws)

438

Related Post