Rocky Gerung: Bahwa di Atas Raja Masih Ada Ratu!
Jakarta, FNN – SOAL Megawati dan Jokowi di Rakernas PDIP yang bicara keras yang tampak diarahkan kepada Presiden Joko Widodo dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo diulas oleh wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam dialog dengan Rocky Gerung dalam kanal Rocky Gerung Official, Rabu (22/6/2022). Petikannya.
Ini Anda kelihatannya mengikuti kehebohan netizen soal bagaimana Pak Jokowi menghadap Megawati? Bagaimana menurut Anda? Saya ingin tahu bagaimana tafsiran Anda melihat video-video itu.
Ya, kita akhirnya tidak bisa membedakan itu pertemuan privat atau publik. Kalau itu ruang publik, enggak di situ tempat Presiden. Presiden itu punya formalitas sendiri. Jokowi bukan Presiden, tapi tubuh presiden dia, itu harus dihormati. Kalau Pak Jokowi datang sebagai kader PDIP ya oke saja.
Tapi, jangan itu di-vlog-kan bahwa itu Pak Presiden sedang bertemu dengan Ibu. Ya apa point di situ tuh. Mau melecehkan Presiden. Itu sinyalnya begitu kan? Itu yang disebut sebagai kita mendua menafsirkan itu. Bahasa psikologi nausea, rasa mual melihat foto itu kan.
Seolah Ibu Mega lagi ngajari dan Pak Jokowi posturnya memang minta diajari. Jadi, kirim-mengirim bahasa tubuh itu membuat kita merasa ya ada point-nya juga Bu Mega. Kenapa dia musti panggil Pak Jokowi, karena sebelumnya Pak Jokowi nantang-nantangin kan dengan melalui proksi Ganjar. Itu bahasa tubuh kita. Tapi juga kita anggap Ibu Mega kurang sopan sebetulnya. Dia itu Presiden. Jadi kemenduaan itu membuat kita disgusting atau mual bahkan melihat politik. Apalagi itu kemudian diviralkan vlog-nya itu. Jadi, mungkin sekali disengaja supaya diperlihatkan bahwa di atas Raja masih ada Ratu. Kira-kira begitu.
Tapi realitasnya tidak seperti itu sebenarnya. Karena jauh sekali, kelihatannya Pak Jokowi sekarang ini juga sudah jadi kekuatan sendiri. Pak Jokowi sudah bisa memilih kekuatan sendiri, Pak Jokowi bisa memilih koalisi sendiri. Itu seperti yang disinggung oleh Bu Megawati.
Bu Mega mengingatkan juga soal sistem pemerintahan kita ini presidensial. Tidak ada koalisi-koalisi. Saya kira ini maksudnya mungkin mengingatkan Jokowi bagaimanapun juga ini partai pemenang Pemilunya adalah PDIP. Dan Anda itu adalah petugas partai PDIP. Jadi sebenarnya yang memerintah itu PDIP, bukan partai lain atau figur lain.
Kalau itu Ibu Mega juga salah. Kalau PDIP yang memerintah sebagai partai pemenang, itu artinya PDIP membentuk koalisi partai pemenang. Itu artinya sistem parlementer juga jadinya. Kalau dia bilang dia menang, memenangkan Pak Jokowi, orang bertanya berapa persen Pak Jokowi menang pada waktu itu. Tentu pasti di atas 50%. Mungkin 56%.
Sekarang suara PDIP itu berapa, 56%? Kan enggak juga. Suara PDIP kan 20%, bahkan secara nasional 19%. Jadi, PDIP cuma dapat 19 persen, Jokowi dapat 56 persen. Itu artinya, ada kira-kira 30% persen bukan suara PDIP. Suara siapa? Ya suara Muslim, suara partai lain, dan macam-macam.
Jadi tidak bisa Ibu Mega klaim bahwa dia adalah petugas partai PDIP. Karena setelah diujikan ke publik, suara Jokowi waktu itu melampaui suara PDIP. Kan matematiknya begitu. Kenapa Ibu Mega menyebut itu koalisi ya karena dia jengkel saja kok koalisi nantangin dia. Itu kan?
Jadi, yang dimarahin Ibu Mega itu koalisi yang petentang-petenteng di depan PDIP. Padahal PDIP sendiri bikin koalisi. Kalau nggak bikin koalisi yang tidak bisa dapat juga yang 20 persen itu. Kalau misalnya Ibu Mega bilang saya bisa nentuin sendiri, ngapain masih main mata dengan Gerindra.
Lebih berbahaya lagi kalau Ibu Mega bilang, ini sistem presidensial. Nah, Ibu Mega musti bilang, dalam sistem presidensial tidak ada kuota 20% maka PDIP musti maju untuk mempersoalkan 20% itu. PDIP sendiri juga terima 20%. Itu artinya PDIP juga suka sistem parlementer dalam praktik.
Itu inkonsistensi dalam pidato Ibu Mega. Ibu Mega musti bilang, ini sistem presidensial, Pak Jokowi nggak boleh punya koalisi. Oleh karena itu, 20% musti dihilangkan. Kan begitu. Jadi harus berhati-hati. Justru karena 20% ya semua orang akhirnya berkoalisi.
Dari bahasa tubuh tersebut, kemudian pidato Ibu Mega juga menyinggung soal pencapresan bahwa itu adalah hak prerogatif yang diberikan kepada beliau dan kemudian menyatakan kalau ada kader PDIP yang mendua, bermain dua kaki, itu dipersilakan out. Di situ kan jelas yang dimaksud pasti Pak Jokowi dan Ganjar. Kan dua-duanya, Pak Jokowi punya agenda tiga periode, Ganjar ingin jadi presiden.
Ya, itu point saya. Selalu Ibu Mega mustinya konsisten saja. Tidak usah minta mereka mundur. Ya pecat saja. Kan Ibu Mega mengatakan bahwa hanya saya yang menentukan siapa yang boleh jadi presiden.
Nah Pak Jokowi masih ingin menjadi presiden sebelum minta izin Bu Mega, kenapa musti dipecat sebagai kader. Ganjar juga begitu. Berkomplot dengan Jokowi bikin tandingan dengan Mega. Ya dipecat dong. Bukan dikasih sinyal. Supaya juga Ganjar enak itu.
Dia akan diminta oleh Nasdem, misalnya, atau Gerindra. Jadi lebih fair. Ibu Mega juga musti ketat di dalam asas berpikir dan konsisten dalam keputusan politik. Kalau dibiarkan kasihan Ganjar juga.
Ganjar tidak mungkin mengundurkan diri itu. Karena prinsipnya adalah dia enggak tahu kalau dia bersalah kan? Kalau dia tahu dia bersalah maka dia mengundurkan diri. Tapi dia enggak tahu apa kesalahan dia. Nah, Ibu Mega yang tahu apa kesalahan Ganjar. Ibu Mega yang pecat.
Kan ada mahkamahnya tersendiri di PDIP. Jadi hal-hal semacam itu kalau dipertontonkan ke publik lalu orang boleh menganalisis juga bahwa PDIP juga tidak konsisten. Masih mau ngintip peluang tukar tambah. Nggak benar kan. Padahal orang juga ingin Ibu Mega itu tegak lurus dengan prinsip yang ada di dalam partai dan prinsip di dalam konstitusi.
Prinsip dalam partai siapa yang sudah menentang dipecat, tadi tidak dipecat. Prinsip dalam konstitusi sistem presidensial 20%, Ibu Mega enggak mau, itu berarti Ibu Mega sistem parlementer juga. Jadi kita hanya ingin melihat itu, lepas dari kepentingan PDIP, saya tidak ada urusan. Tapi cara berpikir itu yang mau kita koreksi. (mth/sws)