Rocky Gerung: Dari Presiden Sampai Menteri, Sibuk “Blingsatan”
MESKI masih 2 tahun lebih masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, kasak-kusuk mencari pasangan Capres-Cawapres 2024 mulai dilakukan. Padahal, juga baru reshuffle kabinet, semua dikasih masuk ke dalam, sampai partai nonparlemen yang pendukung pun dimasukkan.
Tapi kalau kita lihat fenomena hari-hari ini, ternyata partai-partai politik itu sudah blingsatan ke sana-sini semua datang. Muhaimin Iskandar, misalnya, setelah partainya dengan Partai Demokrat dan PKS, tiba-tiba sekarang dia datang ke Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Dan yang menarik, “Pak Prabowo ini bukan hanya didatangi Cak Imin tapi di Hambalang didatangi juga oleh Gibran Rakabuming, anaknya Pak Jokowi, dan alasannya belajar menunggang kuda. Saya bilang ini pasti kuda politik, cari kuda tunggangan,” ungkap wartawan senior FNN Hersubeno Arief di kanal Rocky Gerung Official, Senin (20/6/2022).
Bagaimana akademisi dan pengamat politik Rocky Gerung melihat hal ini? Berikut jawabannya kepada Hersubeno Arief.
Saya bilang, ini pasti kuda politik, cari kuda tunggangan ya?
Yang musti diwaspadai itu langkah kuda. Jadi Prabowo mungkin akan pakai langkah kuda, seolah-olah maju padahal akan ke kanan atau ke kiri. Begitu langkah kudanya. Tapi betul istilah tadi. Semua politisi akhirnya blingsatan dan itu cuma dua hal: cemas atau pingin kabur.
Dua-duanya menyebabkan nggak fokus lagi pada program. Jadi buat apa ada reshuffle kalau pada akhirnya para politisi yang punya akses kekuasaan pada Istana akhirnya cari selamat sendiri-sendiri. Ini penataan lembaga politik yang kacau menyebabkan semua tokoh yang berpotensi jadi presiden kasak-kusuk kiri-kanan.
Itu sebabnya yang kita ingin supaya dinolkan supaya tidak kasak kusuk. Coba kita lihat sebetulnya apa dasarnya kasak-kusuk atau takut. Jangan-jangan memang ada semacam kecemasan melihat keadaan akhir-akhir ini yang memungkinkan orang berpikir tidak sampai 2024.
Jadi lebih baik sekarang saja mulai mempersiapkan, sebab kalau pemilu dipercepat ya pencalonan meski dipercepat juga kan? Jadi kecelakaan-kecelakaan semacam itu juga mesti diantisipasi walaupun tentu kita ingin supaya ada kenormalan di dalam politik. Tapi kelihatannya agak susah.
Nah, ini masalah yang ditinggalkan oleh Pak Jokowi sebetulnya pelembagaan politik yang kacau menyebabkan semua jadi blingsatan. Orang semacam Pak Prabowo juga yang seharusnya stabil akhirnya terlihat galau juga hingga musti melapor pada Gibran.
Kan itu jadi semacam tradisi, harus melapor pada Gibran. Dan, biasa kita anggap bahwa permainan politik Indonesia itu memang enggak ada polanya, sehingga setiap sudut yang memungkinkan dapat informasi itu dimasuki atau dilirik atau diintai. Itu faktanya.
Artinya memang dalam situasi semacam ini semakin kelihatan betapa Jokowi itu betul dia itu Presiden tapi dia tidak sepenuhnya berkuasa. Dia memerintah tetapi sebenarnya perintahnya tidak ditaati oleh para bawahannya.
Iya, kalau Pak Harto (Presiden Soeharto) itu memerintah sekaligus berkuasa, kalau Gus Dur (Presiden Abdurrahman Wahid) itu berkuasa tapi tidak bisa memerintah, kalau yang ini memerintah enggak, berkuasa juga enggak. Itu yang terjadi sebetulnya.
Bahayanya, kalau presiden pada akhirnya menemukan dirinya tidak mampu memberi sinyal harapan, itu yang menyebabkan politiknya kasak-kusuk, peluang untuk terakhir kali menghirup sisa-sisa APBN segala macam. Kita mungkin bisa prediksi dalam dua tiga bulan ke depan kasak-kusuk ini bisa betul-betul menjadi manuver yang sangat berbahaya.
Dan orang akan tinggalkan saja Istana. Apalagi kalau ekonomi memburuk, lalu mungkin yang di-reshuffle sekarang akhirnya meletakkan jabatan. Kita musti prediksi itu karena polanya betul-betul jadi liar. Terakhir saya baca Nasdem harus menerangkan bahwa mereka akhirnya memilih Andika Perkasa karena pertimbangan-pertimbangan macam-macam.
Kalau Erick Thohir yang dipasang mungkin ada soal kebangsaan. Kita tidak tahu apa masalah kebangsaan dengan Erick Thohir, karena itu dipilih Pak Andika. Jadi, ada prediksi potensi kekacauan, sehingga Pak Andika musti dimunculkan. Kan di belakang analisis Nasdem begitu.
Mengapa tidak Erick Thohir yang sebenarnya ratingnya lebih tinggi daripada Andika. Kenapa dipilih Pak Andika yang disebutkan bersamaan dengan Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
Nah itu baru sekarang kita dapat keterangan bahwa memang walaupun Pak Andika ratingnya di bawah, tetapi pemilihan calon hasil konvensi itu tidak didasarkan pada rating, tapi pada variabel-variabel kesatuan bangsa, potensi perpecahan, segala macam. Jadi sebetulnya Nasdem sendiri mencium ada bibit perpecahan. Kan gampang kita pastikan itu.
Dan ini seperti kita ketahui bahwa yang terlibat dalam kampanye sana sini kebanyakan sekarang malah justru orang yang berada dalam pemerintahan. Kita sebutlah Erick Thohir, Prabowo, dan siapa lagi di kabinet yang namanya disebut potensial menjadi presiden. Saya membaca keterangan dari mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asidiqi, harusnya para menteri yang mau nyapres mundur. Dan itu ada aturannya.
Itu pikiran yang akhirnya datang terlambat karena tentu semua orang sudah menganggap hal semacam itu harus didahulukan bahwa mengundurkan diri supaya bebas, tidak ada beban pada presiden. Kan Presiden setiap kali rapat dia musti cari tahu dulu menterinya ada di mana.
Mungkin lagi konsolidasi partai. Kan susah juga. Jadi repot sebetulnya. Itu kan semacam permintaan untuk meneduhkan badai. Nggak mungkin. Badai nggak bisa diteduhkan. Kita tinggal berlindung dari badai sebetulnya. Jadi Pak Jimly betul, berupaya untuk membujuk para politisi ini supaya taat kode etik politik.
Tapi bagi para politisi ya mungkin dia anggap bahwa ini saat terakhir, sebelum badai menerjang kita mending cari selamat masing-masing. Dan itu yang telah terbaca dalam gesturnya Cak Imin. Cak Imin mondar-mandir kiri-kanan untuk cari tempat ngumpet, dan sekaligus cari tempat untuk memperluas wilayah pengaruh.
Nah, bagian ini yang tidak bisa diprediksi oleh Pak Jokowi. Pak Jokowi sendiri sibuk untuk mempersiapkan kadernya sendiri. Jadi, masing-masing orang di sana, dari Presiden sampai menteri, sibuk untuk blingsatan. Kalau dulu sibuk blusukan, sekarang sibuk blingsatan.
Sebenarnya soal-soal begini tidak perlu menunggu aturannya, ada atau tidak. Kalau etikabilitas dijunjung tinggi orang mungkin tanpa diingatkan oleh ahli hukum tata negara seperti Pak Jimly, sudah tahu.
Ya, bagaimana mungkin Pak Jimly akhirnya musti ucapin itu. Artinya, dia merenungkan bahwa memang bangsa ini sudah hancur. Sebagai mantan ketua Mahkamah Konstitusi, bikin saja move untuk menekan MK supaya nol persen. Kalau Pak Jimly misalnya majukan petisi 0% atau judicial review ke MK, itu mungkin ketua MK-nya akan merasa bahwa ini semacam sindiran walaupun nggak diproses.
Tapi nama Pak Jimly itu akan diingat oleh publik, Jimly Asshidiqie sebagai orang yang pernah berumah di Mahkamah Konstitusi meminta supaya rumah itu mengembalikan demokrasi ke nol persen. Itu kan jadi headline juga.
Itu saya kira lebih berguna daripada mengimbau menteri-menteri supaya mengundurkan diri. Itu berat. Itu kalkulasi politiknya nggak akan dianggap oleh para politisi. (mth/sws)