Rocky Gerung: Kompas Mengidap Bawah Sadar Islamophobhia

TULISAN KOMPAS edisi Kamis, 8 September 2022, semakin jelas bahwa Kompas itu Islamophobia. Tulisan yang cenderung tendensius itu pun kini sedang ramai diperbincangkan publik, bahkan trending di Twitter.

Kompas ttrending di Twitter karena memasang foto Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan seusai menjalani pemeriksaan terkait penyelenggaraan e-Formula di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Foto Kompas itu ramai dikomentari warganet karena dinilai tidak cocok dengan isi berita yang disampaikan diuraikan Kompas sendiri.

Dalam rubrik Politik dan Hukum Kompas edisi Kamis, 8 September 2022, itu Kompas memuat sebuah artikel dengan judul 'Korupsi Bukan Lagi Kejahatan Luar Biasa', gambar Anes Baswedan dijadikan foto untuk menunjang artikel tersebut.

Warganet menilai bahwa Kompas, sebagai media massa, seharusnya netral.

Karena menurut sejumlah warganet, apa yang dilakukan Kompas dengan memasang foto Gubernur Anies Baswedan untuk artikel 'Korupsi Bukan Lagi Kejahatan Luar Biasa' sangat tidak mencerminkan kenetralan Kompas.

Kini, Kompas jadi sorotan hingga sudah ribuan kali dicuitkan oleh warganet di Twitter.

“Jadi, dengan gampang misalnya kita (bisa) bilang itu artinya Kompas masih mengidap bawah sadar Islamophobia. Jadi seluruh rasionalitas kita suppress, kita tekan karena takut diucapkan Islamophobia, tetapi apa yang ditekan itu kemudian tiba-tiba muncul tanpa sadar, lalu muncullah foto Anies itu yang seolah bagian dari 35 orang koruptor,” kata pengamat politik Rocky Gerung.

“Dan Kompas tidak bisa menghindar karena sudah keburu berlangsung. Jadi orang akan anggap itu, Kompas sebetulnya mengidap dalam bawah sadarnya, dalam subconsciousness-nya, semacam a kind of Islamophobia,” tegas Rocky Gerung dalam dialognya dengan Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief.

“Hasil survei menunjukkan bahwa dukungan pada Anies di Jakarta, karena respondennya Jakarta, itu 99% karena prestasi, bukan karena agama. Dan redaksi Kompas tentu mewakili keinginan dari satu kelompok politik tertentu,” ujar Rocky Gerung.

“Sebagai pendukung Presiden Jokowi, Kompas pasti merasa bahwa Jokowi sebenarnya sudah bukan lagi aset. Tetapi, keadaan di dalam kan kita ngerti fraksi-fraksi yang ada di dalam Kompas tidak tiba pada semacam kesepakatan bahwa rezim ini memang rezim yang buruk,” ungkapnya.

Berikut petikan dialog lengkapnya dalam Kanal Rocky Gerung Official, Kamis (9/9/2022).

Tentang Wafatnya Ratu Elisabeth II

Bung Rocky, ketemu lagi Bung Rocky. Ini saya kemarin terkaget-kaget, di dunia maya heboh sekali soal Kompas dengan Anies Baswedan, Koran Kompas dan kompas.com soal Anies Baswedan dianggap buat framing karena dia rupanya membuat artikel tentang adanya 35 orang koruptor yang bebas.

Kemudian, sebetulnya artikelnya menarik tapi kemudian orang mempersoalkan kenapa ilustrasinya jadi Anies yang diperiksa oleh KPK. Padahal Anies masih diperiksa saja. Dan saya agak heran kenapa Kompas dipersoalkan.

Padahal kita sebetulnya membahas hal yang sama ya, persis sama sebetulnya. Cuma anglenya berbeda. Itu menarik. Tapi sebelum kita membahas soal itu saya kira kita tentu ikut mengucapkan bela sungkawa atas wafatnya Ratu Elizabeth II dalam usia 96 tahun, Kamis sore waktu setempat, dini hari waktu kita.

Ya, itu saya dengar itu juga tengah malam dan kita ucapan duka cita pada seseorang yang dianggap simbol kebijaksanaan. Ratu bukan lagi memerintah, tapi peradaban British dan peradaban Inggris menganggap bahwa kedudukan beliau itu justru sebagai perekat.

Kalau ada persaingan antara partai buruh dan partai konservatif selalu orang menunggu semacam bahasa tubuh dari Ratu Elizabeth II. Beliau ini hidup di dalam seluruh abad ke-20 dilalui dan dia masuk abad ke-21, dan mengerti semua.

Orang anggap Eropa itu sepanjang abad ke-20 itu adalah wahana pengujian kekuatan atau wahana konflik ideologi kiri dan timur-barat, komunis, fasisme semua ada di situ segala macam. Jadi, Eropa di dalam sejarah Ratu Elizabeth II itu diingat sebagai the dark continent, benua hitam karena penuh dengan banyak peristiwa politik.

Tentu itu yang diingat oleh dunia terhadap Ratu Elisabeth II. Dan dia bahagia karena keadaan sekarang memungkinkan dia untuk melihat masa depan yang lebih baik melalui tentu Pangeran Charles yang sebentar lagi jadi raja.

Ya, ini usianya 96 tahun dan dia naik tahta pada usia 25 tahun. Jadi tujuh dekade dia menjadi ratu. lni pencapaian yang luar biasa dan tetap sehat sampai terakhir.

Sekarang ada raja baru, tentu saja ini juga akan menarik apakah Charles masih sekuat figur ibunya dalam merepresentasikan monarki gitu. Saya kira menarik kita mengamati Inggris, sebuah negara modern, sebuah negara demokratis, tapi dengan mempertahankan monarki meski hanya sebagai simbol.

Ya, itu pelajaran bahwa ada yang disebut monarki, tapi orang tinggal ingat penghargaan. Bukan seperti yang sekarang sudah sistem presiden seperti di Indonesia tetapi ada yang menjadi monarki justru. Itu bedanya. Culture Inggris itu yang kita hormati.

Tetap kita tahu miris menahan opini publik ketika ada peristiwa menantunya Lady Diana yang masuk dalam skandal, lalu ketegangan psikologi di dalam keluarga itu, tapi dia bisa atasi semua itu.

Karena itu, wisdom itu sebetulnya yang orang ingin lihat dari seorang yang sudah berusia dan akhirnya harus melihat problem dunia, termasuk problem keluarganya, perceraian anaknya segala macam itu. Tetapi, selalu sejarah itu memulihkan kembali ingatan bahwa seorang perempuan memimpin Inggris dan memberi wajah yang teduh pada dunia hari ini.

Dengan kepergian Ratu Elizabeth kita mengenang percakapan-percakapan dia dengan dulu ada film pendek atau film seri tentang Istana Buckingham itu, dan orang lihat bahwa di dalam istana ada politik, tetapi juga ada culture di situ. Dan itu sebetulnya yang orang sebut sebagai keajaiban Inggrislah.

Demokratis, tapi tetep ada orang yang menganggap bahwa itu nggak bagus dinasti. Tapi dia tetap jalan terus dan parlemen selalu menghormati posisi Ratu sebagai Dewi yang bijak dalam menuntun masyarakat Inggris. Semoga raja yang baru, Pangeran Charles, juga memperoleh wisdom  yang sama.

Masalah Anies Baswedan

Ya. Sekarang kita balik lagi ke Indonesia soal ribut-ribut Anies. Tiba-tiba juga saya dikirimi video yang sebenarnya video percakapan kita sebelum peristiwa itu terjadi karena Anda di situ menyatakan bahwa bagaimanapun caranya Anies pasti harus digergaji. Begitu kira-kira.

Dan menurut Anda nanti pasti karena ada pemred yang disogok untuk membuat opini yang negatif terhadap Anies. Tentu kita tidak menuduh Kompas, tetapi kenapa orang kemudian mengait-ngaitkan itu. Jangan-jangan Bung Rocky ini sudah punya informasi atau cuma sebagai cenayang saja gitu.

Saya juga piara dukun. Jadi, Kompas itu harusnya minta maaf dulu sebelum bikin tulisan lain. Tapi, itu insinuasi dan kalau Kompas merasa itu kecelakaan editor, nggak bisa.

Karena dia tahu Anies ini ada di dalam suasana jadi public outcry, publik itu mengelu-elukan Anies dan itu memang kalau kita periksa sebetulnya secara psikoanalisis, ada yang disebut Freudian key. Freudian key artinya kita mau cari kunci freudian yang hilang untuk membongkar psikologi dari Kompas.

Jadi, dengan gampang misalnya kita bilang bahwa itu artinya Kompas masih mengidap bawah sadar Islamophobia. Kira-kira begitu kan.

Jadi, seluruh rasionalitas kita suppress, kita tekan karena takut diucapkan Islamophobia, tapi apa yang ditekan kemudian tiba-tiba muncul tanpa sadar, lalu muncullah foto Anies itu yang seolah bagian dari 35 orang koruptor.

Kan begitu cara melihatnya. Ini betul-betul saya terangkan teori psikoanalisis dan itu yang kemudian membuat publik merasa ini pasti by design. Jadinya begitu.

Dan, Kompas tidak bisa menghindar karena sudah keburu berlangsung. Jadi orang akan anggap bahwa Kompas itu sebetulnya mengidap di dalam bawah sadarnya, dalam subconsciousness-nya, semacam a kind of Islamophobia. Kira-kira begitu.

Ternyata yang bereaksi itu kalau saya amati bukan hanya kelompok yang disebut sebagai kelompok Islamis. Kemudian saya teringat penjelasan Anda karena Anda baru saja membaca survei tentang Anies yang sebetulnya kaitannya kecil sekali dengan soal Islamophobia.

Karena ada seorang Ibu Susi Pudjiastuti juga meskipun hanya komen dengan emoticon menangis, kemudian Denny Indrayana.

Jadi ini bukan hanya keributan remeh-temeh di kalangan netizen, ini persoalan yang serius. Mereka melihat bahwa kalau saya dari sisi jurnalistik saya melihat bahwa orang-orang ini konsen akan pentingnya adalah lembaga-lembaga yang bisa bersikap kritis tapi tetap juga imparsial.

Ya, itu saya membaca 2 minggu lalu tentang survei yang menunjukkan bahwa dukungan pada Anies di Jakarta karena respondennya wilayah Jakarta, itu 99% karena prestasi, bukan karena agama. Jadi, sebetulnya kaum sekuler memang mendukung Anies.

Sekarang kita tinggal lihat apakah Jakarta itu mewakili Indonesia. Itu pasti. Karena di pusat-pusat Metropolitan juga Anies diucapkan dengan cara yang sama. Kan orang nggak menilai Anies karena dia soleh beragama, tapi karena dia berprestasi di DKI.

Jadi, menara DKI atau mercusuar DKI itu juga tiba cahayanya ke ibukota-ibukota provinsi yang rasional untuk melihat prestasi seorang Gubernur. Jadi itu intinya. Nah, mustinya Kompas mengerti itu.

Jadi, kalau Kompas justru mencemplungkan Anies ke dalam kolam yang sama dengan para koruptor, orang bereaksi, baik muslim maupun non-muslim yang menganggap ini kok cara Kompas itu seolah-olah masih ada dendam di situ.

Dan, itu akan terkait lagi dengan orang akan melihat di belakang Kompas siapa? Politikal ekonomi analisis berlangsung di situ. Tadi saya terangkan secara psikoanalisis.

Jadi, itu kekacauan di dalam redaksi Kompas sendiri sebetulnya. Dan redaksi Kompas tentu mewakili keinginan dari satu kelompok politik tertentu. Itu saja gampangnya. Lalu orang lihat Kompas didirikan oleh siapa dan modalnya dapat dari mana, lalu penasihat politiknya siapa, apa afiliasinya dengan think thank yang lain. Jadi, hal-hal begitu yang kemudian kecurigaan lagi muncul. Tapi saya tadi terangkan bahwa di bawah sadar Kompas memang mungkin masih ada Islamophobia. Itu yang saya sayangkan.

Saya bertahun-tahun membantu Kompas, diskusi-diskusi di Kompas, menulis di Kompas, macam-macam, mewakili Kompas kalau ada ceramah-ceramah di luar negeri. Jadi, semua hal semacam ini yang saya pertaruhkan pengetahuan saya tentang Kompas. Kira-kira itu.

Ya. Saya kira ini yang kemudian disebut sebagai policy redaksional gitu ya. Jadi kelihatan dari situ. Sebuah produk jurnalistik itu kan bagian dari policy redaksional.

Seperti kita, Anda yang selalu menyebutkannya walaupun kadang-kadang saya nggak begitu sepakat. Bukan karena nggak sepakatnya, tetapi ada ngeri-ngeri juga kalo Anda selalu menyebut FNN itu Forum nantang-nantang.

Tapi itulah memang sikap dari FNN di tengah situasi ketika misalnya banyak sekali kooptasi terhadap media. Bahkan, bukan hanya dikooptasi tapi banyak juga media mengooptasikan diri.

Di dalam kekuatan kita mengambil jarak pada kekuasaan. Itu yang membuat orang agak sebel kenapa nggak pernah ada bagusnya sih pemerintah di mata Rocky Gerung dan FNN.

Ya, FNN masih dalam taraf nantang-nantang. Belum jadi forum nendang-nendang. Jadi tetap kita mau cari sebetulnya mata batin publik kalau kita lihat Kompas tag line-nya kata hati, mata hati, itu poinnya kan. Suara rakyat di zaman orde baru itu tersalur lewat Kompas.

Kita tahu Kompas pro orde baru, tapi kita sering lihat editor Kompas yang secara sublim itu memberi sinyal bahwa orba itu mengandung otoriterisme. Jadi kalau kita baca Kompas di headline dia memuji orde baru, kita pasti tahu bahwa nanti di Tajuk Rencana itu pasti ada refleksi kritis terhadap orde baru.

Biasanya Pak Jacob yang nulis di situ. Kalau sekarang terbalik. Kompas head line-nya itu langsung memberi kesan anti pada seseorang. Dalam hal ini orang anggap pasti Kompas jadi anti-Anies. Lalu orang tanya, kalau gitu Kompas pro siapa? Pro Ganjar? Pro Prabowo? Ya di tengah-tengah mungkin.

Itu yang kita sebut tadi, kegalauan di dalam redaksi itu untuk menentukan sikap terhadap keadaan politik. Sebagai pendukung Presiden Jokowi, Kompas pasti merasa bahwa Jokowi sebenarnya sudah bukan lagi aset.

Tapi, keadaan di dalam kan kita ngerti fraksi-fraksi yang ada di dalam Kompas itu tidak tiba pada semacam kesepakatan bahwa rezim ini memang rezim yang buruk.

Oke. Dan ini beda dengan Anda ya, karena Anda sendiri adalah posisi awalnya termasuk pendukung Pak Jokowi.

Iya, saya ikut membaca atau menyumbang pikiran bahkan apa yang disebut nawacita segala macam karena teman-teman saya di situ, dan kita berupaya untuk bahwa Jokowi ke dalam masyarakat sipil.

Bahkan kita diam-diam kasih izin pada LSM untuk masuklah ke KSP, temani Jokowi, pelajari wataknya, jauhkan dia dari oligarki, halangi dia berkomplot dengan kekuatan-kekuatan lama. Eh, ternyata nggak terjadi.

Bukan karena kesalahan Pak Jokowi, karena kesalahan orang-orang civil society yang masuk istana yang kita suruh untuk mengasuh Jokowi dalam tatabahasa demokrasi, tapi justru kunyuk-kunyuk ini cari suaka di dalam kekuasaan, lalu jadi KSP-lah, jadi komisaris segala macem, dan nggak ada poin kritis lagi terhadap kekuasaan. Itu yang terjadi.

Jadi mereka going native, tenggelam bersama ketakutan sendiri terhadap keadaan kantong dia sendiri. Karena kantongnya rada kering lalu nggak boleh kritis lagi. Karena berharap jadi menteri lalu bermain dengan kecurangan-kecurangan data segala macam.

Kalau mereka yang diangkat oleh Pak Jokowi mungkin dia biasa saja karena Pak Jokowi sudah tahu kelakuan politisi. Tetapi, yang saya sayangkan atau saya dungukan adalah lingkungan istana Jokowi yang datang dari civil society,  yang bertahun-tahun ada di pusat-pusat LSM kritis, tiba-tiba jadi dungu dan bisu ketika berhadapan dengan kekuasaan. Itu soalnya.

Oke. Saya kira ini memang banyak yang menuntut Kompas minta maaf, tapi kelihatannya secara tidak langsung Kompas kemudian sudah mulai meminta maaf dengan cara menurunkan sebuah berita “Anies: Saya selalu siap hadir membantu KPK”.

Walaupun sebenarnya berita ini terlambat karena ini sudah berita kemarin muncul dan kemudian ilustrasi fotonya luar biasa, foto Anies sedang berbicara kepada wartawan yang seperti Anda singgung bahwa ini bukan tampilan seorang yang baru diperiksa KPK, tapi ini seperti orang yang baru semacam deklarasi yang menyatakan akan maju sebagai presiden.

Itu balancing dari Kompas yang mungkin merasa bahwa ini bakal berbahaya. Nanti orang akan mengingat bahwa Anies pernah dilecehkan sebelum ada fakta-fakta, tapi sudah diskenariokan atau diinsinuasikan sebagai koruptor.

Keadaan itu mungkin yang mengembalikan kembali kesehatan redaksional Kompas. Itu nggak ada soal juga. Tetapi, tetap kita musti ingatkan bahwa Kompas itu koran. Koran itu adalah suara publik. Publik itu nggak suka BBM naik.

Publik merasa bahwa Jokowi memaksakan anggaran untuk biaya IKN. Publik menganggap bahwa Jokowi itu tidak paham dengan lingkungan. Semua itu yang harusnya diucapkan oleh Kompas. Minimal dalam tajuk rencana. Kalau sekarang kan betul-betul jadi kempes itu pikiran Kompas. (Sof/sws) 

1005

Related Post