Sambo Dipecat Dengan Tidak Hormat dan Terancam Hukuman Mati: Bongkar Saja Semuanya!
“POLISI Tembak Polisi”. Polisi akhirnya harus super cepat karena bersaing dengan DPR yang seolah-olah juga sedang ingin supaya ini selesai, supaya tidak merembet ke mereka.
“Karena tekanan etis dari pers terutama, maka kita lihat satu peristiwa yang betul-betul unik bahwa seorang jenderal itu akhirnya harus menghadapi posisi yang sebetulnya dia yang mustinya ada di depan meja, ada di belakang meja hakim, tapi dia ada di posisi terperiksa,” kata Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal Rocky Gerung Official, pada Jum’at (26/8/2022).
Akhirnya, mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo dalam sidang etik terkait dengan pembunuhan Brigadir Joshua yang terjadi pada Jum’at (8/7/2022), diputus Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PDTH) sebagai anggota Polri, Jum’at (26/8/2022). Ia pun banding.
Bagaimana menurut pengamat politik Rocky Gerung? Berikut petikan dialog Hersubeno Arief dengan Presiden Akal Sehat ini.
Halo apa kabar. Seperti biasa, Anda kembali berjumpa dengan saya dan Bung Rocky Gerung.
Iya, kita ingin lihat pemilu ke depan itu didasarkan pada persaingan yang sifatnya persahabatan. Ini sudah mulai ada kasak-kusuk soal pencapresan segala macam. Tetapi yang ada di kita sekarang tentu pencapresan itu pasti harus kita lakukan, tapi kita selesaikan dulu problem Pak Sambo, karena makin lama makin dekat dengan penyelesaian.
Motif juga mulai terbuka, dan ujungnya nanti kita ikut pidananya, apa dan siapa yang akan terlibat di situ? Lapisan mana yang hanya kena beban etik atau teguran etis atau hukuman etis, mana yang akan kena pidana, dan mana yang masih terlibat pada kasus turunannya, yaitu soal peta-peta itu, soal staf merah putih (Satgassus Merah Putih) segala macamlah. Tetapi, yang penting kita fokus pada Pak Sambo dulu yang terlihat sangat tenang kemarin.
Iya, Pak Sambo itu diperiksa sampai dini hari, dengan total, kalau termasuk break, 18 jam pemeriksaan. Tapi kalau tidak termasuk break mungkin lama pemeriksaan sekitar 15 sampai 16 jam. Yang diperiksa 15 orang saksi.
Jadi, ini sidang maraton yang saya kira memang menunjukkan polisi ingin segera menyelesaikan beban di atas pundak mereka. Kemudian hukumannya maksimal PTDH (pemberhentian dengan tidak hormat), meskipun secara hukum dia diberi hak untuk mengajukan banding dalam waktu 3 hari.
Ya. Itu intinya polisi akhirnya harus super cepat karena bersaing dengan DPR yang seolah-olah juga sedang ingin supaya ini selesai, supaya tidak merembet ke mereka. Kan begitu kan? Tetapi publik juga tahu bahwa masih ada soal, bahwa hal-hal yang menyangkut keburukan kepolisian itu juga disebabkan sebagian oleh keburukan transaksi di DPR, di Komisi III. Jadi, sama-sama masih ada problem etis.
Kita belum bicara soal hal-hal yang bersifat pidana di DPR. Itu mungkin yang panjang, tapi secara etis kita juga sekaligus ingin minta DPR lakukan refleksi, seperti yang dilakukan oleh Kapolri sekarang. Jadi, orang bercermin lagi pada Kapolri, pada Pak Sigit (Jenderal Listyo Sigit Prabowo), yang terdesak secara politik pasti itu, dia akhirnya juga terdesak secara moral.
Tekanan moral itu saya kira yang membuat Pak Sigit mempercepat ini. Kalau tekanan politik bisa di-deal-kan, bisa dinegosiasikan. Tetapi, karena tekanan etis dari pers terutama, maka kita lihat satu peristiwa yang betul-betul unik bahwa seorang jenderal itu akhirnya harus menghadapi posisi yang sebetulnya dia yang mustinya ada di depan meja, di belakang meja hakim, tapi dia ada di posisi terperiksa.
Ini penting, supaya kita nggak lagi dibikin seolah-olah kalau polisi itu kebal hukum. Jadi itu intinya, kontrol internal yang disebut pengadilan etis atau pemeriksaan etis atau sidang kode etik. Ini baru soal sidang kode etik, yaitu audit internallah gampangnya. Nanti ada audit eksternal. Itu melibatkan peta-peta yang panahnya ke mana-mana kemarin.
Nah, kita melihat ini masih ada saja persoalan yang saya kira harus juga menjadi autokritik bagi kepolisian seperti yang Anda singgung kemarin juga, soal seragam.
Kemarin kan dalam sidang viral video ada seorang anggota Brimob memakai pakaian loreng, memakai kayak pesawat tempur di situ, kemudian membentak-bentak wartawan karena dianggap wartawan itu tidak tertib dan sebagainya, masih menjadi sorotan. Memang tanpa sadar orang itu ketika pakaiannya, pakaian itu akhirnya bisa mempengaruhi psikologi seseorang.
Itu biasanya kepangkatan itu memang diatur dalam tradisi Eropa bahkan. Semakin cemerlang pangkat seseorang itu lalu dianggap kehormatan semakin tinggi. Tetapi itu dulu, ketika raja-raja itu harus dipersiapkan sedemikian rupa sehingga tampilan fisiknya itu harus mendahului tampilan etisnya.
Zaman dulu yang disebut kerajaan itu kalau bisa pakai tameng yang besar-besar dan berat supaya terlihat bahwa tubuhnya itu betul-betul untouchable. Jadi raja musti dijauhkan dari publik dengan pembedaan kostum.
Nah, kalau sekarang nggak mungkin itu terjadi. Jadi, kalau ada anggota Brimob di situ harusnya ditegur. Karena fungsi itu ya kasih saja kan fungsi keamanan kepolisian. Itu kan hanya bicara dengan wartawan. Wartawan kan orang yang paling suka ada di depan karena dia ingin dapat berita secepat-cepatnya. Itu biasa saja itu.
Demikian juga Brimob. Brimob ingin paling di depan kalau ada kerusuhan, tapi kan ruang sidang bukan tempat kerusuhan. Jadi itu pentingnya soal-soal kepangkatan itu dan profil ketubuhan itu tidak boleh diperlihatkan dalam bentuk kekasaran. Kan ini adalah pengadilan sipil sebetulnya.
Kepolisian kan sipil yang kebetulan diberi hak atau diminta oleh rakyat untuk dipersenjatai. Jadi, rakyat yang meminta Brimob untuk dipersenjatai karena ada tugas-tugas khusus. Jadi, jangan berbalik masuk ruang sidang dengan peralatan yang sangat semi militeristik.
Itu juga memengaruhi orang-orang yang nonton. Tentu Brimob yang masuk ke situ bukan karena keinginan dia. Ini soal SOP-nya. Sang petugas itu hanya menjalankan SOP bahwa dia diminta untuk membentak, bukan keinginan dia untuk membentak. Karena itu diberi seragam setiap personil itu tunduk pada pemberi seragamnya. Diberi senjata untuk tunduk pada pemberi senjata. Itu namanya hierarki di dalam militer maupun kepolisian, dalam operasi, bukan dalam ruang sidang.
Oke. Ini sekarang seperti sudah kita prediksi, ini hukumannya maksimal, pemberhentian dengan tidak hormat. Paling tinggi dan begitu nanti 3 hari ke depan Pak Sambo kalau ditolak bandingnya (bukan mendahului proses pengadilan, tapi harusnya itu ditolak juga), prosesnya Sambo langsung menjadi warga sipil dengan dipecatnya dia (meskipun masih harus menunggu proses administrasi). Dia nanti akan sidang sebagai orang sipil.
Dan saya kira ini menarik untuk kita amati bagaimana polisi menyikapi soal ini, karena bagaimanapun juga sampai sekarang kita masih melihat, mendengar juga, bagaimanapun geng Sambo ini masih cukup kuat. Mungkin mereka bukan ingin melindungi Sambo lagi karena sudah tidak bisa dilindungi lagi, tapi akan melindungi kepentingan mereka sendiri.
Ya. Itu variabel yang masih melekat pada kasus ini. Mungkin berlebih kita bilang geng Sambo, tapi akhirnya pers menganggap ini Gengster, karena sudah dianggap ke mana-mana panah itu. Tetapi, kita mesti kembalikan lagi pada fungsi-fungsi awal yang sangat mungkin bagus ada kegiatan itu.
Kan nanti pengadilan yang akan menerangkan oh panah ini terbalik, panah yang dibuat oleh antigeng Sambo terbalik. Itu sebetulnya yang mesti kita periksa secara akademis dan sekaligus kita kasih latar belakang politik di situ. Kenapa lembaga ini, Satgassus Merah Putih ini, begitu berkuasa.
Tentu ada di dalam ruang politik yang tertentu pada waktu itu. Kan nggak mungkin itu dibentuk hanya untuk alasan mau merampok uang untuk dibagi-bagi ke jenderal. Ngapain merampok uang bandar judi atau pengusaha untuk dibagi-bagi? Bukan itu.
Dan orang akan tanya kenapa ada momentum yang dipergunakan untuk membentuk Satgassus Merah Putih? Itu pertanyaannya. Apa Satgassus ada yang lain? Satgassus Nusantara. Supaya publik mengerti bahwa semua peristiwa yang ada di dalam kasus Sambo ini, juga terkait dengan, sebut saja efisiensi, informasi, hal-hal yang di bawah layar atau di belakang layar mesti diselesaikan.
Itu yang nantinya setelah Pak Sambo masuk ruang pengadilan, tentu dia akan bersaksi juga tentang hal-hal itu. Jadi, variabel ini yang masih ditunggu orang dan ini sebaiknya diselesaikan sebelum Pemilu 2024 karena ini bisa panjang. Dan panah-panah itu bisa jadi panah liar.
Sambo sudah menyampaikan permintaan maaf, terutama dia lebih banyak kalau kita amati berkali-kali permintaan maafnya kepada institusi. Padahal sebenarnya salah satu yang paling sangat besar dosanya itu pertama kepada keluarga Joshua Hutabarat, yang kedua kepada bangsa Indonesia.
Karena, bagaimanapun dia telah merusak citra lembaga yang seharusnya kita harapkan menjadi pelindung rakyat. Sebenarnya, menurut saya, harusnya ini kalau dia mau memberikan semacam penebusan dosa, dia bongkar saja itu semuanya dalam persidangan.
Dengan cara begitu dia kan selesai karier kepolisiannya. Kedua dia terancam hukuman mati, setidak-tidaknya kita mau mengepil dia untuk memberikan legacy, untuk menyumbang perbaikan terhadap kepolisian dan juga bangsa dan negara ini.
Saya kira itu yang dipikirkan oleh Pak Sambo pada waktu dia datang dengan penampilan yang sangat humanis dan mengakui itu, lalu merasa bahwa oke bahkan dia bilang Brigadir J itu adalah tanggung jawab saya. Saya ingin dia tidak dipidana segala macam, minta maaf. Jadi, ini setelah kira-kira 10 hari di Mako Brimob, mungkin ada pendewasaan batin pada beliau.
Mungkin sudah ada pendampingan keagamaan religius di situ. Lalu dia timbul kembali semacam penyesalan pasti, tapi setelah penyesalan ada pendalaman hidup, kira-kira begitu. Ada perenungan yang panjang sehingga terlihat Pak Sambo itu sangat tenang waktu diperiksa.
Karena itu juga memerlukan satu situasi mental yang kuat. Apakah terjadi semacam orang sebut ekstesi, itu pelepasan dari beban, sehingga dapat bayangan baru pada Pak Sambo, oke bangsa ini harus dibersihkan.
Oleh karena itu, nanti di pengadilan saya juga akan sekaligus jadi justice collaborator untuk hal yang lain, misalnya kalau kita pakai bahasa justice collaborator itu mungkin terlalu teknis, tapi paling tidak dia sudah katakan bahwa dia manusia dan mengerti apa yang dia lakukan itu adalah keliru dan salah.
Jadi, itu yang sebetulnya akan mendampingi dia di dalam proses pengadilan dan bagian ini juga yang akan membuat lega, terutama keluarganya atau anak-anaknya terutama, yang memang terseret dalam kasus itu. Kita tidak tahu kondisi psikologis anak-anaknya itu bagaimana.
Pada waktu awal disebut kondisi Ibu Putri stres, dan setelah itu orang tahu bahwa oke, memang pasti ada stres karena menyembunyikan sesuatu. Tetapi dulu kita bilang oke, sebaiknya Ibu Putri itu diberi hak untuk mendapat perlindungan sebagai saksi nanti. Dan itu sudah selesai.
Lalu berkembang bahwa akhirnya hari ini dipanggil sebagai terperiksa juga atau tersangka. Jadi, suami istri dan pasti anak-anak nggak tahu bagaimana saya membayangkan bagaimana anak-anak itu berupaya untuk bertahan di dalam kecemasan, dalam ketidakpastian itu. Ada tiga anak dari keluarga ini. Dan itu sebetulnya aspek humanis kita karena impact itu pasti akan panjang dalam kehidupan mereka.
Jadi, saya kira itu bagian yang mungkin menimbulkan kerendahan hati dari Pak Sambo untuk akhirnya oke saya terima semua ini, tapi sekaligus saya ingin memperbaiki bangsa ini dan menyelamatkan kepercayaan terhadap kepolisian, termasuk keyakinan bahwa hidupnya itu di akhir tragedi ini bisa menimbulkan pelajaran baik bagi para semua pihak.
Persoalan-persoalan etika ini saya kira penting ya kita kedepankan karena misalnya memang betul hari ini Ibu Putri ini untuk pertama kali menjalani pemeriksaan sebagai tersangka dan statusnya tidak ditahan. Ini juga tadi malam ditanyakan oleh wartawan.
Saya kira balik lagi ke agenda kita ini, perasaan perlakuan yang tidak adil itu yang muncul pada publik karena orang kemudian membanding-bandingkan dengan kelompok-kelompok, terutama pengkritik pemerintah atau sering disebut oposisi, yang dalam kasus ini yang terkena undang-undang harus menjalani hukuman.
Banyak juga emak-emak yang bahkan harus menyusui di tahanan. Dan itu tidak mendapat semacam keringanan atau semacam permakluman bahwa dia harus menenangkan diri lebih dahulu dan kemudian tidak ditahan seperti Bu Putri. Yang begini menurut saya mesti juga menjadi perhatian dari pimpinan Polri.
Ya, itu yang tadi saya sebut, ini jadi pelajaran sehingga orang mulai melihat bahwa nggak boleh ada diskriminasi itu. Bahwa Ibu Putri mungkin lagi dalam kondisi yang belum pulih secara fisik, tapi tetap mesti diterangkan kenapa tempat lain ada penahanan, kenapa yang ini tidak.
Jadi, kendati kita berempati dengan beban batin pada keluarga ini, kita berempati pada beban keluarga ini secara batinnya yang adalah efek dari perbuatan Sambo yang disangkakan pada dia, tapi sekaligus kita mau lihat prosedur hukum itu yang harusnya imparsial terhadap kasus ini.
Nah, itu mustinya juga diterangkan karena publik bertanya-tanya kenapa tidak ditahan. Apakah ada keistimewaan? Jadi, hal-hal semacam ini yang kelihatannya kecil tapi dimensinya panjang karena perlakuan terhadap orang lain yang tidak setara. Kalau aktivitas langsung diborgol, kalau koruptor masih bisa dikasih hak untuk wawancara segala macam.
Jadi, ini semua menimbulkan pertanyaan tentang etika penegakan hukum kita. Jadi, soal etika penegakan hukum kita dan etika penggunaan prosedur dasar penahanan seseorang. Tetapi, sekali lagi, bagian-bagian ini kita pastikan akan membuat kita makin dewasa bahwa hukum itu jangan dipermainkan, apalagi hukum terhadap para oposisi. Itu justru mereka yang berupaya untuk membongkar korupsi itu bisa dihalangi, tapi keadaan nanti akan terbalik.
Lalu, kelompok oposisi mungkin yang merasa oke mungkin kami akan balas dendam nanti. Itu kan buruk. Jadi, sekali lagi, perlihatkan bahwa hukum ini berjalan di rel yang lurus dan kesepakatan-kesepakatan yang tidak terlihat, itu jangan ditonjolkan karena nanti orang curiga ada apa? Karena apa yang sana diberi fasilitas, yang ini justru dicemarkan bahkan sebelum masuk persidangan. Kalau aktivis itu belum masuk persidangan sudah divonis oleh para buzer. (mth/sws)