TNI dan POLRI
Oleh: Sugeng Waras, Kolonel Purnawirawan
TNI dan POLRI adalah institusi negara yang memiliki peran dan fungsi berat serta mulia.
Sayangnya hingga saat ini kita belum menemukan karakter, ucapan, dan tindakan yang mencerminkan figur Panglima Besar Jenderal Sudirman yang berasal dari santri dan ulama maupun sosok Jenderal Hoegeng Iman Santoso yang juga berasal dari rakyat pribumi biasa.
Pasti akan dijawab: bukan masanya, beda eranya, tidak sama tantangannya maupun lain situasi dan kondisinya.
Dulu…, sewaktu ABRI, keduanya berkedudukan sama meskipun fungsinya berbeda. Namun dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Polri berada di bawah komando dan kendali langsung Presiden, sedangkan TNI bak cicit Presiden, cucu Menko Polhukam, dan anak Menhan.
Kini, jumlah personil, persenjataan ringan seperti motor boat di perairan polisi lebih hebat daripada Angkatan Laut, senjata laras panjang perorangan polisi juga melesat hebat dibanding Angkatan Darat.
Apalagi soal peran, fungsi, dan tugasnya terutama soal hukum, polisi paling luar biasa dibanding pihak manapun, mulai ngurusi soal ketertiban hingga pelanggaran baik secara administrasi maupun implementasi, polisi tidak ada duanya.
Bahkan, terkait tugas-tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP), entah karena berubah, ketidak-pahaman, diserah-terimakan atau diambil-alih, menjadi rancu dan tumpang tindih antara hak dan kewajiban TNI dan Polri, termasuk penerapan status Bawah Kendali Operasi (BKO) maupun Bawah Perintah (BP), sehingga terkesan apa yang dikerjakan TNI terserah apa yang ditentukan Polri, padahal sudah ada UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 yang mengatur tentang OMSP.
Bukan soal iri-mengiri, tapi marilah kita melihat keserasian, keseimbangan, efektif dan efisiensi pencapaian sasaran, sehingga hak dan tanggung jawab urusan kedaulatan negara yang dijabarkan dalam kedaulatan wilayah, juga keamanan dan keselamatan rakyat dapat terbagi habis.
Dalam kaitannya dengan strategi, geografi, demografi, dan kondisi sosial yang juga meliputi aspek aspek idologi, politik, sosial, budaya, agama, hukum dan pertahanan keamanan, kita pernah memedomani doktrin induk, doktrin dasar dan doktrin operasional dalam mengantisipasi, mencegah, menghadapi, serta mengawasi maupun mengevaluasi hakekat ancaman baik dari dalam negeri, luar negeri maupun link up-nya, sejak jauh dari garis lingkaran terluar udara dan laut, masuk garis terluar udara dan laut, garis lingkaran saat menginjak daratan, hingga telah masuk sebagian dan seluruh wilayah Indonesia, dari manapun datangnya serta dalam bentuk, jenis dan apapun sifat ancamannya.
Namun, kini seakan tidak peka dan tidak peduli terhadap itu semua, hingga tak terperhatikan bahwa baik wilayah wilayah strategis, sumberdaya alam strategis dan sarana prasarana strategis dan potensial nyaris dikelola dan dikuasai asing, terutama China.
Bukan kita benci China, tapi selayaknya kita prihatin dengan para pemimpin negara ini yang membiarkan dan meloloskan agresifitas China atas Indonesia.
Seolah begitu buruknya kinerja pemegang dan pewenang kekuasaan negara ini.
Seakan hanya mampu menunjukkan kegaduhan, ketidak-adilan, kebohongan, keributan, kekacauan, ketidak-jelasan, kesemerawutan dan tumpang tindih, yang terkesan mengabaikan kehendak, kepentingan dan suara rakyat.
Negara bak diwarnai, perpecahan, persengketaan, persekongkolan, korupsi, dan lain lain yang rentan membuat kemunduran bangsa.
Sewajarnya kita semua memandang dan menilai, ini kesalahan para oknum pimpinan terbawah sampai teratas, dalam hal ini Presiden sebagai Kepala Negara.
Kesimpulanya, marilah kita beresolusi membenahi ini semua, tanpa pandang bulu untuk menerima dan mengakui siapapun, apapun dan dari manapun orangnya, untuk menerima penghargaan dan penghormatan bagi mereka yang baik, serta memberikan hukuman bagi mereka yang salah atau buruk.
Konkritnya baik Kapolri maupun Panglima TNI harus paham dan sadar serta bangun dan bangkit, untuk kembali kepada jati dirinya, untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai sumpah dan janjinya.
Jangan biarkan prajurit dan bawahannya sewenang-wenang menggunakan senjata, membuat takut rakyat, menyakiti rakyat serta membiarkan presiden dan para pembantunya melihat rakyat perih, pedih, dan menderita.
Bandung, 12 Maret 2021. (*)