dpd
Menanti Pelantikan Pimpinan MPR dari Unsur Dewan Perwakilan Daerah
Kisruh yang terjadi di DPD bukan urusan personal. Realita politik ini mengemuka bukan karena sentimen pribadi. Bung Fadel adalah politisi senior yang kita hormati. Langsung atau tidak, dia merupakan guru bagi tidak sedikit politisi muda, termasuk penulis. Oleh: Ajbar, Sekretaris DPD di Majelis Permusyawaratan Rakyat SEMINGGU sudah Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo menerima surat Pemberhentian Fadel Muhammad sebagai Pimpinan MPR dari unsur DPD. Kita berharap, Pimpinan MPR segera mengagendakan pelantikan Wakil Ketua MPR baru yang terpilih secara demokratis melalui Sidang Paripurna Ke-2 DPD RI, 18 Agustus 2022. Harapan itu didasari atas empat pertimbangan. Pertama, agar kekosongan jabatan Wakil Ketua MPR tidak berlarut-larut. Kedua, agar kepentingan-kepentingan DPD atau Dewan Perwakilan Daerah di MPR tidak terhambat oleh kekosongan jabatan dimaksud. Ketiga, sebagai penghormatan Pimpinan MPR terhadap keputusan lembaga DPD yang dihasilkan melalui Sidang Paripurna Ke-2. Keempat, sekaligus yang paling penting, Tata Tertib (Tatib) MPR memerintahkan agar pelantikan dilakukan maksimal 30 hari sejak Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya. Mengacu pada Pasal 9 ayat 1 Tata Tertib (Tatib) MPR, Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena tiga hal. Pertama, karena meninggal dunia. Kedua, karena mengundurkan diri, dan Ketiga karena diberhentikan. Terhadap Pimpinan MPR yang berhenti dari jabatannya, Pasal 29 Ayat 3 Tata Tertib MPR mengatur waktu pelantikannya, yakni maksimal 30 hari tadi. Sidang Paripurna Ke-2 DPD dilaksanakan pada 18 Agustus 2022. Sidang itu antara lain memutuskan pemberhentian Fadel Muhammad dari jabatannya sebagai Pimpinan MPR RI dari unsur DPD RI sekaligus memilih pengganti beliau secara demokratis. Melihat tanggal pelaksaanan sidang, tenggang waktu pergantian agaknya telah mendekati batas sebagaimana diatur Tatib. Oleh karena itu, Pimpinan MPR sebaiknya bergegas mengagendakan pelantikan Pimpinan MPR dari unsur DPD yang telah dipilih secara demokratis tersebut. Saat ini ada upaya hukum dan politik yang ditempuh Bung Fadel. Kita menghargai dan menaruh hormat atas langkah-langkah tersebut. Bagaimana pun juga, ia punya hak untuk itu. Namun, langkah tersebut sejatinya tidak dapat menjadi alasan bagi Pimpinan MPR untuk menunda pelantikan. Selain karena perintah tata tertib, kekosongan jabatan yang terjadi akan sangat merugikan DPD. Mosi Tidak Percaya Penarikan Bung Fadel dari jabatannya sebagai Pimpinan MPR dipicu oleh penarikan dukungan atau mosi tidak percaya mayoritas Anggota Dewan. Bagi DPD, mosi tidak percaya bukan perkara baru. Dalam perjalanan lembaga DPD, mosi tidak percaya telah beberapa kali mencuat dan membuahkan keputusan baru. Mayoritas Anggota DPD menandatangani mosi tidak percaya. Kongkritnya 97 dari 136 Anggota DPD, atau sebanyak 71,3 persen. Jumlah ini tentu sangat signifikan. Oleh karena itu, Pimpinan DPD wajib merespon dan menindaklanjuti aspirasi ini demi menjaga situasi kondusif internal DPD RI. Alasan anggota mengajukan mosi tidak percaya tentu beragam. Namun, secara umum, anggota menginginkan agar kepentingan DPD di MPR dapat diperjuangkan dengan optimal. Juga agar Pimpinan MPR dari DPD tidak berjarak dengan Anggota DPD. Dalam perkembangan terbarunya, dua Anggota DPD manarik pernyataan mosi tidak percaya. Sementara dua Pimpinan DPD juga mencabut dukungan penarikan Bung Fadel. Sebelumnya, empat Pimpinan DPD secara lengkap menandatangani Keputusan DPD RI Nomor 2/DPDRI/I/2022- 2023 tentang Penggantian Pimpinan MPR RI dari unsur DPD RI Tahun 2022-2024. Kesempatan terlibat langsung dalam proses pemilihan jelas terlihat, mulai dari pemilihan pada subwilayah masing-masing hingga menulis dan memasukkan nama ke kotak suara yang sudah disiapkan. Keselurahannya terekan dalam dan disediakan secara lengkap oleh Biro Humas atau Hubungan Masyarakat Sekretariat DPD. Kita menghargai keputusan penarikan dukungan atas mosi tidak percaya tersebut. Tentu, penghormatan yang sama harus pula diberikan kepada kawan-kawan yang menarik dukungannya kepada Bung Fadel. DPD RI adalah lembaga politik. Memberi dukungan dan menarik dukungan adalah hal biasa, sepanjang tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Hanya saja, harus dipahami bahwa penarikan Bung Fadel telah melalui serangkaian mekanisme formal di internal lembaga DPD sebelum akhirnya diputuskan dalam Sidang Paripurna DPD. Artinya, perubahan sikap dari satu-dua orang tidak berpengaruh terhadap keputusan sidang, apalagi membatalkannya. Keputusan sidang paripurna hanya bisa dibatalkan melalui sidang paripurna juga. Sebaiknya Pimpinan MPR peka menangkap sinyalemen itu. Kisruh yang terjadi di DPD bukan urusan personal. Realita politik ini mengemuka bukan karena sentimen pribadi. Bung Fadel adalah politisi senior yang kita hormati. Langsung atau tidak, dia merupakan guru bagi tidak sedikit politisi muda, termasuk penulis. Penarikan dukungan atau mosi tidak percaya tentu tidak menggugurkan kehormatan itu. Namun, mosi tidak percaya mempunyai pengaruh pada masalah legitimasi. Perspektif legitimasi itu seharusnya menjadi alasan tambahan bagi Pimpinan MPR supaya segera mengagendakan pelantikan pimpinan dari usur DPD. (*)
Hadiri Haul Mama Gelar di Cianjur, LaNyalla: Indonesia Tidak Merdeka Tanpa Pesantren
Cianjur, FNN - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menghadiri Haul Mama Gelar ke-30 di Pondok Pesantren Gelar, Cianjur, Jawa Barat, Selasa, 1 Februari 2022. Ia mengatakan, pesantren memiliki peran penting dalam kemerdekaan Indonesia. LaNyalla hadir bersama Senator asal Kepulauan Riau, Dharma Setiawan; Sekjen DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI, Rahman Hadi dan Deputi Administrasi DPD RI Lalu Niqman Zahir. Rombongan Ketua DPD RI diterima pengasuh Pondok Pesantren Gelar Muhammad Faisal dan pengurus pondok lainnya, antara lain Aang Zein, Fawaidz dan Usep Abdul Aziz. Datang juga Kapolres (Kepala Polisi Resor) Cianjur, Ajun Komisaris Besar Doni Hermawan dan Ketua Pengurus Besar Muay Thai Indonesia (PBMI), Sudirman. LaNyalla menegaskan, Indonesia tidak merdeka tanpa pesantren. Artinya, kontribusi pesantren terhadap negara ini sangat besar. \"Saat awal kemerdekaan Indonesia, diketahui Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 pada akhirnya memicu lahirnya peristiwa 10 November 1945,\" ujar LaNyalla dalam siaran persnya yang diterima FNN.co.id. \"Selanjutnya bagaimana peran para ulama dalam memberikan sumbangan pemikiran saat sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Terutama terkait bentuk dan dasar dari negara yang akhirnya disepakati sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Sistem Demokrasi Pancasila,\" ujarnya. Menurut LaNyalla, kehadiran pondok pesantren juga sebagai solusi bagi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Baik sebagai solusi pendidikan, kesehatan, hingga solusi masalah-masalah sosial kemasyarakatan. \"Sampai saat ini pondok pesantren adalah salah satu pilar penting sebagai penjaga moral dan penjaga akhlak generasi bangsa,\" ucapnya. Ditambahkan LaNyalla, ia sengaja datang ke ponpes menemui kiai- dan ulama untuk mencari ilmu. Hal itu sudah dilakukannya sejak masih muda. \"Saya cari ilmu yang tidak ada di dunia ini. Dari para kiai untuk mendapatkan ilmu laduni, ilmu yang diperoleh sebagai hasil dari pengalaman kerohanian secara pribadi,\" ucapnya. Pengasuh Ponpes Gelar, KH Muhammad Faisal berharap pertemuan itu bukan yang pertama dan terakhir tapi pertemuan untuk selanjutnya. Sehingga terjalin ukhuwah yang semakin erat antara ulama dan umara. \"Ulama dan umara harus bersinergi dan bersatu dalam memajukan umat dan bangsa,\" katanya. Muhammad Faisal juga mendoakan agar LaNyalla yang mempunyai aktivitas banyak dan cita-cita tinggi diberikan kemudahan. \"Semoga diberikan usia panjang, rezeki barokah, ilmu yang luas. Terkait pencalonan presiden, kalau Pak LaNyalla siap kenapa tidak. Manusia harus yakin dan terus berusaha, ketentuan ada di tangan Allah. Mudah- mudahan diberikan posisi terbaik,\" ujarnya. Dalam kunjungamnya itu, senator asal pemilihan Jawa Timur itu berziarah ke makam pendiri Ponpes Gelar, almarhum KH Zen Abdusomad (Mama Gelar) yang tidak jauh dari pesantren. (MD).
Omnibus Law dan Disfungsi Sistem Bikameral
Oleh karena itu, nyaris di sepanjang usianya, DPD tak lelah memburu hak-hak konstitusionalnya dengan mendorong amandemen. Sebab, inilah satu-satunya jalan yang diberikan konstitusi. Tak ada alternatif lain. Oleh: Tamsil Linrung MESKIPUN Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus 0mnibus law atau Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) bertentangan dengan konstitusi, namun polemik seputar UU sapu jagad ini belum usai. Putusan MK malah menjadi sumber kontroversi baru. Seperti biasa, muncul dua pendapat. Ada pakar hukum menilai putusan MK bijaksana, ada pula yang menduga bahwa MK mengambil jalan tengah atau politik kompromi. Membingungkan memang! Di satu sisi MK menyatakan UUCK inkonstitusional, namun di sisi lain UU ini tidak dinyatakan dicabut. Pemerintah dan DPR diberi batas waktu dua tahun memperbaikinya. Selama masa perbaikan tersebut pemerintah tidak boleh menerbitkan aturan turunan UUCK hingga penyempurnaan kelar dilakukan. Di sisi lain, ada pihak yang menuntut agar semua proyek strategis nasiaonal yang terkait dengan UUCK dihentikan. Masuk akal, karena UU-nya sendiri inkonstitusional. Namun, putusan MK tidak berlaku surut, sehingga keinginan itu sulit dilakukan. Lagipula, MK tidak mencabut UUCK. UU Cipta Kerja sejak awal telah memunculkan banyak polemik. Polemik ini bahkan mengemuka di sepanjang proses perancangan hingga pengesahaannya. Seluruh keanehan itu sudah pasti mengundang tanda tanya besar. Ada apa dengan UUCK? Kita ingat, yang terjadi kemudian adalah rakyat tumpah ruah ke jalan. Proses legislasi RUUCK dianggap tidak demokratis selain adanya sejumlah pasal yang diduga sarat kepentingan asing dan aseng. Beberapa aktivis pergerakan ditangkap. Lepas dari kontroversi itu, menarik mengajukan pertanyaan, di manakah DPD? Dalam proses pembahasan RUUCK, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI bukannya tidak dilibatkan. Namun, pelibatan DPD sungguh minim. Padahal, DPD adalah kanal aspirasi daerah dan UUCK banyak bersentuhan dengan kepentingan daerah. Sebagai representasi daerah di pusat pemerintahan, DPD diamanahi daerah untuk mendorong semaksimal mungkin kepentingan daerah dalam setiap pengambilan keputusan politik atau kebijakan nasional, termasuk dalam pembentukan UU seperti UU Cipta Kerja. Dalam konteks penegakan demokrasi, logika pelibatan DPD dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan terhadap UU dapat diterima. Sebab, DPD adalah cermin keterwakilan rakyat yang tidak dipagari sekat ideologi. Anggota DPD tidak berasal dari ideologi kelompok politik tertentu, sehingga dapat dikatakan terbebas dari kepentingan kelompok politik. Namun, dalam konteks kontitusional, DPD tidak bisa berbuat banyak. Kewenangan DPD jauh hari telah dikunci oleh konstitusi. Pasal 20 ayat (2) UU NRI 1945 menyatakan, setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Ini membingungkan. Di satu sisi Anggota DPD diakui sebagai wakil rakyat yang memiliki legitimasi kuat karena dipilih oleh rakyat satu provinsi. Akan tetapi, di sisi lain lembaga DPD tidak memiliki kewenangan signifikan dalam memutuskan pemberlakuan UU. Jadi, pokok soalnya ada di hulu. Dengan begitu, perbaikannya juga harus di lakukan dari sana. Mengapa perbaikan tersebut perlu? Agar diinternal parlemen bisa saling mengoreksi, menguatkan mekanisme check and balances, demi menghasilkan produk legislasi yang berkualitas. Oleh karena itu, nyaris di sepanjang usianya, DPD tak lelah memburu hak-hak konstitusionalnya dengan mendorong amandemen. Sebab, inilah satu-satunya jalan yang diberikan konstitusi. Tak ada alternatif lain. Namun, setelah empat kali amandemen UUD 1945, belum terlihat perubahan signifikan pada kewenangan DPD. Ini artinya, di satu sisi kita mendorong desentralisasi, namun di sisi lain kita mengamputasi keterlibatan daerah dengan meminimalisasi peran dan kewenangan DPD dalam pengambilan keputusan atau kebijakan nasional. Kita tahu pembentukan DPD adalah cara bangsa ini menegakkan demokrasi, membalikkan keadaan dari sentralisme menuju desentralisme. Pembentukan DPD mengubah wajah perwakilan kita dari sistem unikameral mendekati sistem bikameral. Sistem ini mengidealkan dua lembaga dalam satu atap lembaga perwakilan. Istilah bikameral diperkenalkan oleh filsuf asal Inggris, Jeremy Bentham. Bapak Konstitusi AS, James Madison mengatakan, urgensi kamar kedua adalah sebagai penyeimbang kamar pertama, karena diisi oleh orang-orang yang lebih independen. Keseimbangan itu penting agar mekanisme check and balances (sistem perimbangan kekuasaan) menjadi kuat, baik antara lembaga perwakilan dengan lembaga tinggi negara lainnya, maupun antar lembaga perwakilan di internal sendiri. Namun, mekanisme itu hanya dapat terwujud secara maksimal jika ada keseimbangan kewenangan antara lembaga-lembaga itu. Kalau tidak, salah satu lembaga akan menjadi sangat powerfull, dan yang lainnya menjadi bedak demokrasi. Mekanisme check and balances diperlukan agar produk legislasi berkualitas dan memihak rakyat, sehingga menyulitkan siapa pun menemukan dalil menggugatnya ke MK. Sebaliknya, kualitas legislasi yang rendah terlihat ketika MK memutus sebuah UU inkonstitusional. Memberikan kewenangan secara terukur dan berimbang kepada DPD adalah cara membuka peluang yang lebih besar terhadap optimalisasi mekanisme check and balances sehingga berdampak positif pada kualitas produk legislasi yang dihasilkan. Tentu, itu tidak berarti DPD lebih baik. Namun, dialektika yang terjadi antara dua lembaga perwakilan yang kewenangannya sebanding, akan memunculkan debat konstitusi yang lebih sehat dan berbobot. Putusan MK atas Omnibus law bukan momentum saling memaki. Putusan ini adalah momen bagi kita mengintrospeksi diri, guna mengakhiri disfungsi sistem parlemen dua kamar. Penulis adalah Ketua Kelompok DPD di MPR.
Partai Demokrat Dukung Penguatan Dewan Perwakilan Daerah Setara Dengan DPR
Jakarta, FNN – Partai Demokrat (PD) mendukung penguatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI agar setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Partai besutan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu juga mendukung upaya yang dilakukan berbagai pihak, termasuk DPD dalam menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) pencalonan presiden oleh partai peserta pemilu, menjadi nol persen. PD menyampaikan dukungan tersebut dalam dialog dengan DPD yang dipimpin oleh Ketua Kelompok DPD MPR RI, Tamsil Linrung, di Jakarta, Kamis, 25 November 2021. Dalam pertemuan itu, Tamsil antara didampingi Muhammad Syukur (sekretaris), Fahira Idris, Eni Sumarni dan Muhammad Ajbar. Sedangkan pengurus PD yang ikut dalam pertemuan tersebut antara lain, Wakil Ketua Umum PD, Marwan; Sekretaris Jenderal PD, Teuku Rifki; Ketua Kajian Ketatanegaraan, Andi Timo. Ketua Umum PD, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tidak hadir karena masih di Amerika Serikat mendampingi ayahnya yang masih menjalani pengobatan setelah operasi kista. Dialog berlangsung cair. PD juga menegaskan dukungan terhadap upaya amandemen kelima terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Hanya saja, harus dilakukan secara ketat dan terbatas. Dukungan PD tersebut berarti semakin menambah deretan kalangan yang setuju atas berbagai gagasan yang dilontarkan DPD, terutama penghapusan PT. Ketua DPD, AA LaNyalla Mahmud Mattaliti bersama timnya adalah penggagas perlunya penghapusan PT menjadi nol persen. Dengan cara itu, sangat dimungkinkan munculnya calon perseorangan dalam perebutan kursi presiden lewat Pemilihan Umum Presiden (Pilpres). Jika hal itu lolos, sangat dimungkinkan DPD bisa mengajukan calon se ndiri, karena jumlah anggotanya 136 orang. Kalau jumlah tersebut diasumsikan sebagai parpol peserta Pemilu, DPD adalah nomor 1, mengalahkan PDIP dengan 128 kursi dari 575 kursi DPR RI atau 22,26 persen. (MD)
Ketua DPD RI Siap Perjuangkan Transformasi IAIN Pare-pare Jadi Universitas Sains Islam Indonesia
Pare-pare, FNN - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattaliti mengatakan dukungannya terhadap transformasi status Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pare-pare menjadi Universitas Sains Islam Indonesia. Bahkan, LaNyalla akan berusaha memperjuangkan perubahan status tersebut sampai berhasil. LaNyalla mengatakan hal tersebut saat menerima aspirasi yang disampaikan oleh Wakil Rektor I Bidang APK IAIN Pare-pare, Sitti Jamilah Amin dalam FGD (Focus Group Discussion) di Auditorium IAIN Pare-pare, Selasa 16 November 2021. Hadir dalam acara tersebut antara lain anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal pemilihan Sulawesi Selatan, Tamsil Linrung. "Saya tidak hanya memberikan testimoni dukungan, tetapi akan action. Akan kami perjuangkan. Hal itu sudah saya buktikan. Ada belasan kampus Islam yang kami perjuangkan menjadi UIN (Universitas Islam Negeri). Jadi, aspirasi dari IAIN Pare-pare ini akan kami teruskan," kata LaNyalla dalam siaran persnya yang diterima FNN.co.id, Selasa malam, 16 November 2021. Sitti Jamilah Amin yang mewakili Rektor IAIN Pare-Pare, Ahmad Sultra Rustan yang sedang sakit, menjelaskan, biasanya IAIN berubah menjadi UIN namun IAIN Pare-Pare ingin lebih spesifik. "Kami ingin transformasi yang arahnya menjadi Universitas Sains Islam di Indonesia. Sebab, sejauh ini belum ada universitas serupa, sehingga IAIN Pare-Pare akan mengisi posisi tersebut," kata Sitti. Menurut Sitti, pihaknya masih dalam tahap menyusun naskah akademik. Sitti menjelaskan, sudah ada dukungan dari Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Islam Kementerian Agama, HM Ali Ramdhani. Dalam testimoninya, Dirjen berharap transformasi IAIN Pare-Pare akan menjadi poros episentrum peradaban sains dan teknologi yang dibingkai oleh nilai ke-Islaman. "Artinya ide dan rencana besar itu harus dapat dukungan, support (dukungan) dan motivasi dari berbagai pihak. Terutama kami meminta dukungan dari Ketua DPD untuk mewujudkan rencana tersebut," kata Sitti. (FNN).