ekonomi-pancasila
Ketua DPD: Koreksi Pasal 33 untuk Kembali pada Ekonomi Pancasila
Jakarta, FNN - Ketua DPD, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menyarankan wacana amandemen kelima UUD 1945 dapat mengoreksi pasal 33 yang merupakan hasil amandemen sebelumnya agar Indonesia kembali kepada sistem ekonomi Pancasila. “UUD negara kita telah mengalami amandemen 4 tahap pada 1999 hingga 2002. Termasuk pasal 33 juga bertambah menjadi lima ayat yang sebelumnya tiga ayat. Dengan penambahan dua ayat hasil amandemen yang lalu itu, sadar atau tidak, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak telah diserahkan kepada pasar,” kata dia, dalam Rapat Kerja Nasional ke-7 Federasi Serikat Pekerja Sinergi (FSPS) BUMN di Palembang secara virtual, Rabu. Dengan demikian, kata dia, wacana amandemen kelima konstitusi perubahan yang kini sedang bergulir harus menjadi momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa dan sesuai pula dengan cita-cita pendiri bangsa. Perubahan itu tidak hanya berlaku pada sistem tata negara, tetapi juga sistem atau kebijakan perekonomian nasional. LaNyalla menjelaskan para pendiri bangsa melahirkan sistem ekonomi yang dikelola dalam asas kekeluargaan atau sistem ekonomi Pancasila. Asas itu dimunculkan setelah bercermin dari pengalaman ratusan tahun di bawah era kolonialisme sehingga Indonesia sebagai bangsa yang merdeka membutuhkan sistem ekonomi Pancasila. Sistem ekonomi itu, lanjut LaNyalla, dituangkan dalam naskah asli pasal 33 UUD 1945 yang terdiri dari tiga ayat. Intinya, kekayaan sumber daya alam Tanah Air harus dikelola dengan prinsip kekeluargaan dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. “Oleh karena itu, negara harus hadir untuk memastikan terwujudnya kemakmuran itu. Caranya menurut saya, dengan memisahkan secara jelas antara koperasi atau usaha rakyat, BUMN, dan swasta. Namun, tetap berada di dalam struktur bangunan ekonomi Indonesia,” kata dia. LaNyalla pun menganalogikan ekonomi Indonesia seperti kapal yang dirancang dengan tiga palka atau ruang muat kapal, yaitu koperasi, BUMN dan swasta. Melalui tiga palka itu, seandainya terjadi kebocoran di salah satu palka, tidak akan mengakibatkan penumpang kapal tenggelam. “Bagi rakyat yang tidak punya akses modal dan teknologi, negara wajib hadir memberikan ruang koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi rakyat. Mereka diberi hak mengorganisasi dirinya sendiri untuk mendapatkan keadilan ekonomi. Negara juga harus menjamin agar BUMN dan Swasta yang punya modal dan teknologi tidak masuk ke ruang yang dikelola koperasi,” jelas LaNyalla. Gambaran seperti itulah yang disebut dengan ekonomi gotong royong atau ekonomi Pancasila, seperti cita-cita Bapak Koperasi, Mohammad Hatta. Koperasi sesungguhnya dimaknai sebagai cara atau sarana berhimpun rakyat dengan tujuan untuk memiliki secara bersama-sama alat industri atau sarana produksi. “Para anggota koperasi sama persis dengan para pemegang saham di lantai bursa. Bedanya, jika pemegang saham di lantai bursa bisa siapa pun, termasuk orang asing. Maka, koperasi hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia,” papar dia. Mengenai BUMN, LaNyalla menegaskan badan itu wajib masuk ke sektor usaha yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Contohnya adalah listrik, transportasi, telekomunikasi, dan air bersih. Menurutnya, BUMN harus bertugas di sektor yang membutuhkan teknologi tinggi sekaligus beresiko tinggi. “(BUMN) boleh bermitra dengan swasta atau asing, namun kendali utama tetap berada di BUMN sebab sektor-sektor itu, tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar melalui swasta apalagi asing,” kata dia. Negara, tambah LaNyalla, juga harus memastikan industri-industri hulu atau industri-industri berat di sektor strategis yang dibangun pada era Orde Lama dan Orde Baru tidak dibiarkan mati hanya karena dinilai sudah tidak efisien dibandingkan industri impor. Sebaliknya, industri tersebut harus direstorasi karena negara yang besar dan tangguh mutlak memiliki industri berat di sektor-sektor strategis untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan ekonomi. “Memang menutup atau membubarkan BUMN yang sudah tidak efisien lebih mudah ketimbang melakukan restorasi. Tetapi menurut saya, tidak benar jika negara sebesar Indonesia tidak memiliki heavy industries (industri-industri berat) karena semua negara maju dan besar, pasti memiliki industri hulu di sektor-sektor strategis,” katanya. Semua hal itu, kata LaNyalla, sesuai pula dengan pemikiran luhur para pendiri bangsa dalam merancang Indonesia di masa depan agar dapat sampai pada tujuan hakiki lahirnya bangsa ini, yaitu terwujudnya kemakmuran rakyat melalui keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (mth)