guru

Siti Fauziah Guru Juga Bentuk Karakter Anak Didik

Jakarta, FNN - Sekretariat Jenderal MPR, Siti Fauziah, mengatakan guru tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan tetapi juga membentuk karakter dan integritas serta adab dan etika kepada anak didik. “Guru adalah panutan yang harus dihormati. Guru mempunyai jiwa besar karena mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi,” kata dia, dalam keterangannya diterima di Jakarta Sabtu, 27 November 2021. Ia menyampaikan hal itu saat MPR menggelar sarasehan kehumasan MPR menyapa sahabat kebangsaan di Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi, Jawa Barat, bertema “Memaknai Nilai Kepahlawanan Tanpa Tanda Jasa Bagi Generasi Milenial”. Menurut dia, sarahsehan kehumasan MPR bertepatan dengan peringatan Hari Guru Nasional yang diperingati pada 25 November 2021 dengan tema“Bergerak dengan Hati, Pulihkan Pendidikan”. Melalui tema itu, guru harus mendidik siswanya dengan sepenuh hati dan memulihkan pendidikan yang selama hampir dua tahun pandemi Covid-19 proses pendidikan dilakukan dengan daring atau virtual. “Hari ini bertepatan dengan Hari Guru Nasional. Kita semua, para dosen dan mahasiswa, menjadi seperti sekarang ini karena jasa para guru. Guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan kepada kita semua. Ilmu dari guru tidak ternilai, guru adalah pahlawan tanpa jasa,” katanya, sebagaimana dikutip dari Antara. Ia mengatakan guru adalah panutan yang harus dihormati, orang yang di-gugu dan di-tiru. Jiwa besar para guru bisa dilihat dari pengorbanan yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara dibanding kepentingan pribadi. "Contohnya, para guru di daerah terpencil. Di tengah keterbatasan sarana dan prasarana, guru di daerah terpencil tetap mengajarkan ilmu kepada anak didik,” kata dia. Kemudian, kata dia, guru tidak semata-mata mengajarkan ilmu pengetahuan tetapi juga membentuk karakter dan integritas anak didik. Guru membentuk insan-insan yang akan menjadi pemimpin dan tokoh bangsa. “Guru mempunyai peran yang sangat penting. Mereka memberikan pengetahuan kepada kita, ilmu yang bermanfaat, mereka adalah orang-orang yang mulia,” katanya. Meskipun para siswa bisa mendapatkan pengetahuan lewat perkembangan teknologi informasi (internet), menurut dia, peran guru tetap tidak bisa tergantikan dalam pembentukan karakter dan integritas anak didik. “Guru mengajarkan nilai moral, nilai etika, dan membentuk peserta didik untuk memberikan kontribusi yang baik bagi bangsa dan negara,” katanya. Guru, lanjut dia, mengajarkan etika, membentuk integritas, sehingga para siswa tidak hanya memiliki pengetahuan secara baik, tapi juga memiliki etika, moral, dan nilai-nilai kebenaran. "Guru mengajarkan adab dan etika. Guru adalah teladan buat kita semua,” ucapnya. Pada kegiatan itu dia juga memperkenalkan pijakan Buku Digital MPR yang bisa diunduh di Google PlayStore. Buku Digital MPR yang diluncurkan pada 10 November 2021 berisi produk-produk dari MPR seperti majalah, jurnal, risalah-risalah MPR, dan lainnya. “Semua kalangan termasuk dosen, mahasiswa, yang membutuhkan informasi produk MPR bisa men-download Buku Digital MPR karena banyak produk MPR yang tidak ada dan tidak diperjualbelikan di toko buku,” katanya. Ia juga memperkenalkan novel “Meraih Mimpi” sebagai bacaan ringan yang berisi pesan Empat Pilar MPR. “Ini merupakan bentuk sosialisasi empat pilar MPR baik kelembagaan, tugas dan wewenang maupun visi misi MPR dalam berbagai media seperti buku, novel, komik, dan bahkan melalui perangko,” ucapnya. Sementara itu Wakil Rektor I Universitas Jenderal Ahmad Yani, Agus Subagyo, mengapresiasi kegiatan sarasehan kehumasan, MPR menyapa sahabat kebangsaan di kampus universitas itu. Ia menjelaskan Universitas Jenderal Ahmad Yani berada di bawah Yayasan Kartika Eka Pakçi, yayasan TNI AD. Ketua Dewan Pembina Yayasan Kartika Eka Pakçi adalah kepala staf TNI AD secara ex officio. Universitas Jenderal Ahmad Yani di Cimahi memiliki 10 fakultas dengan 40 program studi dengan jumlah mahasiswa sekitar 18.500 orang. “Sarasehan kehumasan ini bisa memberikan pengalaman untuk membuka wacana baru bagi para mahasiswa. Ini merupakan hal positif dan sangat baik karena MPR bisa menyampaikan pesan," ujarnya. Kegiatan itu langkah awal kemitraaan universitas tersebut sebagai lembaga pendidikan dengan MPR. "Kami berharap ini kemitraan awal untuk ke depan sehingga memberikan manfaat bagi lingkungan kampus,” katanya. (MD).

Guru Harus Menjadi Prioritas Investasi

Indonesia seharusnya berinvestasi pada guru dan pendidikan secara umum. Kurangi atau tunda dulu investasi pada proyek-proyek besar yang belum menjadi kebutuhan utama. Alihkan untuk peningkatan kualitas hidup dan kompetensi guru, bangun sekolah, dirikan madrasah, tumbuhkan pusat-pusat ilmu pengetahuan. Oleh: Tamsil Linrung SEPERTI biasa, SETIAP 25 November bertabur kata elok tentang guru. Di sana-sini, seremoni hari guru terlihat semerbak. Para pelajar merangkai puisi, birokrat berteori, dan pengamat mengkritisi. “Bergerak Dengan Hati, Pulihkan Pendidikan,” begitu tema hari guru tahun ini. Maka, ayo kita bicara dengan hati. Empat puluh tahun lalu, Iwan Fals menggubah lagu Oemar Bakri. “Jadi guru jujur berbakti memang makan hati…” begitu salah satu liriknya. Kini, empat puluh tahun berlalu, lirik itu agaknya masih relevan. Padahal, tema lagunya diinspirasi kisah hidup oleh seorang guru yang mengabdi di zaman Jepang hingga pascakemerdekaan. Namanya Abah Landoeng, hidupnya sederhana. Kini berusia 94 tahun dan tinggal di daerah Cimahi, Jawa Barat. Menuju ke rumahnya harus melewati gang kecil yang hanya bisa dilalui sepeda motor. Kini, umur republik telah 76 tahun dan usia reformasi sudah 23 tahun. Tetapi, kehidupan sebagian guru tidak jauh beda dengan Abah Landoeng. Kemerdekaan bangsa belum sepenuhnya memerdekakan guru. Mereka terjajah oleh pengabdian dengan penghasilan di bawah standar. Ada yang bahkan hanya menerima Rp200-300 ribu, itu pun per tiga bulan. Sungguh tidak manusiawi. Mereka yang bergaji rendah umumnya guru non Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebagian besar di antaranya adalah guru honorer. Namun, ekspektasi orang tua siswa yang menitipkan anaknya di sekolah tidak mengenal itu. Seperti kita, semua orang tua ingin anaknya dididik oleh guru berpengetahuan luas, berkepribadian baik, paham perubahan zaman, mengerti teknologi, dan menguasai psikologi siswa. Abad 21 menuntut peran guru melampaui sekat ruang kelas. Guru dituntut tidak sekadar mengajar, tetapi juga menjadi agen perubahan sekolah, aktif di ruang-ruang sosial dan menunjukkan diri pada bidang politik kebangsaan. Namun, bagaimana mungkin kita berharap lebih, jika urusan perut saja mereka masih bingung? Kita membangun infrastruktur ini dan itu. Sebagian tidak tepat sasaran, sebagian lagi menggerogoti anggaran negara. Kereta cepat Jakarta- Bandung, misalnya. Atau Bandara Kertajati, Sumedang, Jawa Barat yang berubah menjadi bengkel pesawat, Bandara Jogja yang sepi dan terancam bangkrut, Bandara Kualanamu yang 49 persen sahamnya dijual ke asing, dan lain-lain. Jumat 23 Juli 2021, media Kontan online menuliskan judul besar: Puluhan Jalan Tol Milik BUMN Bakal Dijual, Tiga Investor Asing Siap Memborong. Sudah begitu, pemerintah tidak surut langkah merencanakan pemindahan Ibu Kota Baru, sementara ibu kota negara yang saat ini ada masih sangat representative, lebih dari sekadar layak. Cobalah dihitung-hitung, berapa duit negara yang habis untuk itu? Berapa yang mubazir? Belum lagi sejumlah di antaranya lenyap dikorupsi. Bahkan dalam urusan bantu sosial kepada rakyat miskin saja dengan tega ditilap menteri yang mengurusinya, yaitu Menteri Sosial waktu itu Juliari Peter Batubara. Begitulah, kita menumpuk hutang demi pembangunan, tetapi luput membangun kehidupan guru, para pencetak SDM itu. Pemerintah harusnya sadar, ada jasa guru pada semua orang hebat tanah air. Maka jika gurunya hebat, di masa depan akan bermunculan orang-orang Indonesia yang lebih luar biasa lagi. Indonesia seharusnya berinvestasi pada guru dan pendidikan secara umum. Kurangi atau tunda dulu investasi pada proyek-proyek besar yang belum menjadi kebutuhan utama. Alihkan untuk peningkatan kualitas hidup dan kompetensi guru, bangun sekolah, dirikan madrasah, tumbuhkan pusat-pusat ilmu pengetahuan. Kita harus menyadari, ada kekeliruan dalam menentukan skala prioritas pembangunan. Tidak perlu malu, tengsin, atau merasa gagal. Tidak mudah memang, tetapi bukan hal yang mustahil. Karena tujuan kita bukan saling menyalahkan, tetapi saling mendukung dalam memilih ikhtiar terbaik demi masa depan negeri. Diakui atau tidak, sangat terasa bahwa kohesivitas sosial mulai merenggang. Oligarki menguat, kesenjangan melebar, keakraban beragama terusik dan ketenteraman bernegara mulai mengikis di tengah merajalelanya fitnah, saling tuding, dan saling lapor. Di hulu, guru telah berupaya menciptakan kader-kader bangsa unggulan, tetapi di hilir politik kekuasaan memelintir segalanya. Jika situasi itu menjadi wajah baru Indonesia kini, lalu bagaimana wajah negeri di masa depan? Pulihkan Pendidikan. Pulihkan pendidikan. Dua kata dalam tema hari guru ini seolah menegaskan pengakuan negara bahwa ada problem di sektor pendidikan kita. Guru adalah salah satu elemen pendidikan itu. Maka keseriusan kita mengurus sektor pendidikan, semestinya juga tercermin dalam upaya mengatrol derajat dan kualitas guru, khususnya problem guru honorer yang super akut. Pemerintah telah memberi solusi dengan meluncurkan program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun, solusi ini memunculkan problem baru, seperti penolakan sebagian guru honorer, persoalan teknis pelaksanaan tes, kualifikasi peserta, nilai ambang batas, dan seterusnya. Untuk itu, Panitia Khusus (Pansus) Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dalam 5-6 bulan terakhir bekerja ekstra keras guna memberikan alternatif solusi. Pansus sekaligus melakukan mekanisme check and balances terhadap jalannya program PPPK, melakukan evaluasi agar program PPPK tahap dua berjalan lebih baik. Faktanya, realisasi penerimaan guru honorer dalam seleksi PPPK tahun ini masih sangat kecil. Dari lebih sejuta lowongan guru PPPK yang dibuka, hanya separuhnya saja atau 506.252 yang mendaftar. Dari jumlah tersebut, hanya 173.329 guru honorer yang lulus tahap awal. Jumlah ini jelas masih jauh dari harapan. Faktor yang memengaruhi banyak. Selain penolakan sebagian guru honorer, ada kekhawatiran dari pemerintah daerah bahwa anggaran pengadaan guru PPPK akan menggerus keuangan daerah. Maklum saja, gaji guru PPPK disuplai APBD. Sementara pemerintah pusat menegaskan, gaji guru PPPK telah masuk dalam alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) yang disalurkan kepada pemerintah daerah. Angkanya mencapai Rp19,4 triliun. Apa pun itu, minimnya guru honorer yang terjaring mengindikasikan, dalam masa tertentu, negeri ini masih akan memiliki guru honorer. Jumlah guru honorer saat ini adalah sebanyak 742.459 orang. Sedangkan yang lulus PPPK tidak sampai seperempatnya. Padahal, UU sesungguhnya tidak lagi mengenal istilah guru honorer. Lalu, bagaimana status dan perlindungan hukum bagi guru honorer yang belum terjaring, namun masih tetap mengabdi di sekolah-sekolah? Pemerintah harus memperhatikan mereka. Meski dipandang sebagai solusi, namun program PPPK bukan payung hukum. Pengabaian terhadap hak-hak guru honorer adalah pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). Demikian pula ketiadaan aturan dan perlindungan hukum terhadap sebuah profesi yang eksis, namun tidak diakui Undang-Undang. Itu kalau kita ingin bicara dengan hati, dari hati ke hati, dan bukan sekadar slogan. Selamat hari guru! Penulis adalah Ketua Pansus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer DPD RI.