kematian-kpps
Komunitas Dokter Minta Kematian 554 KPPS Diselidiki
JAKARTA, FNN - Puluhan dokter spesialis dari berbagai institusi kesehatan yang tergabung dalam Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa meminta agar pihak terkait untuk mengautopsi jenazah petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang meninggal dunia selama proses Pemilu Raya 2019. Data sementara secara keseluruhan petugas pemilu yang tewas mencapai 554 orang. Sementara petugas yang sakit 3.788 orang. "Kematian karena kelelahan itu pasti ada penyebab-penyebab lain. Itu harus diperiksa tim gabungan pencari fakta. Secara pribadi saya sudah melaporkan ini ke Bareskrim. Laporan ke Bareskrim untuk mengungkap penyebab kematian petugas KPPS," kata dr Zulkifli, satu di antara anggota Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa di Jakarta, Kamis (9/5/2019). Zulkifli menegaskan, dengan adanya 544 petugas KPPS yang meninggal dunia secara tidak wajar maka sudah tepat pihak terkait untuk mengautopsi salah satu jenazah petugas KPPS. Pilih satu jenazah yang potensi ketidakwajaran saat meninggalnya tinggi. Autopsi dilakukan untuk mengetahui penyebab kematiannya sehingga tidak memunculkan praduga negatif di masyarakat. "Kalau secara kedokteran tidak ada istilah kematian akibat kelelahan. Oleh karena itu Menteri Kesehatan harus ngomong karena itu akan lebih bagus," jelasnya. Zulkifli memaparkan, pihaknya curiga atas kematian petugas KPPS, karena jumlahnya yang sangat besar yakni mencapai 544 orang. Kejadian ini tidak pernah terjadi di dunia manapun saat gelar pemilu ada petugasnya yang meninggal dunia mencapai ratusan. Pihaknya meminta pihak terkait untuk mengusut kematian petugas KPPS karena kasus tersebut bisa delik aduan. Sehingga tanpa ada laporan pun harusnya sudah bisa mengusutnya. "Ini bukan delik aduan karena mati satupun harus dikejar apa penyebabnya. Karena mereka sudah tahu. Makanya saya sebagai dokter merasa terpanggil untuk mengungkap kasus ini," tegasnya. Lebih lanjut Zulkifli mengatakan, pihaknya harus menggelar konpers juga agar aktivitasnya tidak digembosi. Karena saat ini ada upaya yang menolak adanya autopsi terhadap petugas KPPS yang meninggal dunia. Padahal sesuai standar operasional prosedur (SOP) ketika ada kematian yang mencurigakan maka harus dilakukan autopsi untuk memastikan penyebab kematiannya. "Dengan banyaknya dokter berkumpul menyuarakan untuk autopsi maka. mereka akan bereaksi," tegasnya Bencana Kesehatan Nasional Sementara itu dr Bakta mengatakan, dengan banyak petugas KPPS, Panwaslu, dan polisi yang meninggal dunia selama proses pemilu maka bisa dianggap kejadian ini sebagai bencana kesehatan nasional. “Sehubungan kejadian banyaknya korban jatuh, baik sakit maupun meninggal dunia yang menimpa petugas KPPS, pengawas pemilu, dan anggota Polri selama proses penghitungan suara dalam Pemilu 2019 ini, maka Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa menyatakan ini sebagai ‘Bencana Kesehatan Nasional’,” tutur Bakta. Dengan banyaknya korban yang meninggal dunia di Pemilu 2019, sambung Bakta, selain meminta autopsi terhadap jenazah petugas KPPS, pihaknya juga menuntut pemerintah menyatakan hari berkabung nasional dengan memasang bendera Merah Putih setengah tiang sampai dengan 22 Mei 2019. Selain itu enuntut pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta yang independen. "Kami juga mendorong Komnas HAM untuk meneliti adanya dugaan pelanggaran HAM dan membawa kasus tersebut ke forum internasional (Mahkamah International dan Dewan HAM PBB) serta menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab penuh kepada semua korban dengan memberikan santunan yang sesuai undang-undang," tegasnya. Sementara itu Elza Syarief, pengacara Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa mengatakan, yang dilakukan para dokter sebagai bentuk kepedulian bersama antarelemen masyarakat. Oleh karena itu pihaknya melakukan sesuatu yang terbaik untuk bangsa dan rakyat Indonesia agar kejadian serupa tidak berulang lagi. Apalagi jumlah petugas KPPS yang meninggal dunia sangat banyak. "Penyelamatan nyawa-nyawa manusia yang bisa kita cegah semaksimal mungkin,” ujarnya. Elza mengungkapkan ada 42 orang dokter yang bergabung dalam pernyataan sikap ini. Menurutnya, para dokter ini merupakan orang-orang yang memiliki empati, khususnya kepada para keluarga korban. “Kita adalah sesama manusia yang memiliki empati, simpati kepada keluarga yang ditinggalkan, turut berduka cita. Jangan membiarkan hal ini,” jelasnya. Elza menyebut, nyawa dari petugas KPPS tak sebanding dengan uang dengan uang duka yang diterima keluarganya. "Bukan semudah itu nyawa manusia. Karena nyawa manusia itu yang tertinggi. Karena bisa berhari-hari, bisa berbulan-bulan ingat masa hidupnya," paparnya. Elza berharap agar pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa mencari solusi dari kasus meninggalnya ratusan petugas KPPS. Oleh karena itu KPU jangan hanya mengejar target pada tanggal 22 Mei 2019 sukses menyampaikan hasil rekapitulasi suara Pemilu 2019. Artinya, lanjut Elza, sistem penghitungan yang terkesan memaksakan ini harus diperbaiki. "Bukan dihentikan. Ya dihentikan sementara untuk perbaiki manajemen ini. Habis itu lanjut lagi tidak apa-apa. Kan itu semuanya tercatat. Semuanya ada C1, ada catatan-catatan, ada di IT. Kan enggak mungkin hilang kan. Tapi kalau manusia, bisa hilangkan nyawanya," jelasnya. Elza berkeinginan untuk melakukan investigasi dengan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait. "Pertama, kita ingin melakukan investigasi dengan tim pencari fakta. Apa sebabnya, kita melakukan otopsi, forensik, dengan kerja sama pihak kepolisian," ujarnya. (rob)