korban-pertama-vaksin-moderna
Dokter Andi Yuwardani Makmur, “Korban Pertama” Vaksin Moderna
Oleh: Mochamad Toha Inna lillaahi wa inna ilaihi roojiuun. Indonesia telah kehilangan seorang dokter lagi: dr. Andi Yuwardani Makmur. Dua hari sebelum meninggal, dokter Spesialis Kedokteran Jiwa RSUD Bulukumba, Sulawesi Selatan, ini mendapat suntikan booster Moderna. Melansir Detik.com, Jumat (27 Agu 2021 18:30 WIB) Dokter Yuwardani, ternyata sempat diminta untuk menunda vaksinasi oleh tim skrining. Tetapi, dia tetap meminta vaksinasi itu dilakukan. Informasi ini diungkap adik kandung almarhumah, A Suswani. Menurut Suswani, vaksinasi itu dilakukan di RSUD Andi Sultan Daeng Radja, Bulukumba, Jumat (20/8/2021). Ketika itu almarhumah sempat diminta menunda dulu proses vaksinasi, namun tetap meminta diberi suntikan vaksin. “Jumat, 20 Agustus 2021, setelah periksa pasien, almarhumah menuju ruang vaksin lantai 3, saat skrining tensi awal 187 mmHg, almarhumah istirahat sejenak dan ditensi kembali 176 mmHg. Almarhumah memutuskan tetap vaksin meskipun sudah dianjurkan oleh petugas untuk menunda dulu,” ucap Suswani, seperti dilansir Detik.com, Jumat (27/8/2021). Suswani tak mengungkap lebih lanjut soal alasan almarhumah tetap meminta disuntik vaksin Covid-19 meski sudah diminta menunda. Ia mengaku tak ada penjelasan almarhumah terkait hal tersebut. “Itu keputusan almarhum untuk tetap vaksin. Tidak ada penjelasan terkait dengan itu,” kata Suswani. Menurutnya, kondisi dokter Yuwardani sebenarnya dinyatakan tak ada masalah 15 menit setelah diberi suntikan vaksin. Dia pun dipersilakan pulang. “Setelah observasi pascavaksin 15 menit, almarhumah pulang dengan kondisi yang sehat,” katanya. Kemudian, pada Minggu (22/8/2021) atau dua hari setelah divaksinasi, Yuwardani disebut sempat melakukan aktivitas berat, yakni mencuci, hingga akhirnya tiba-tiba pingsan. “Minggu pagi sekitar jam 7 masih sempat ngobrol dengan ayah kami, kemudian melanjutkan aktivitas mencuci baju sambil ngobrol dengan Umi kami. Di situlah almarhumah pingsan dan menghembuskan napas terakhir di kamar almarhumah,” kata Suswani. Menurut Suswani, tim Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Provinsi Sulsel kini tengah menyelidiki kematian saudarinya itu. “Kita tunggu informasi selanjutnya dari Komnas KIPI karena seluruh informasi yang dibutuhkan sudah kami berikan,” katanya. Suswani juga menjelaskan almarhumah memiliki penyakit penyerta komorbit, hipertensi. Tapi, ia tak bisa menjelaskan apakah komorbid tersebut ada hubungannya dengan kematian Yuwardani. Diakuinya, almarhumah memang ada komorbid, sejak dulu tensi selalu di atas 140 mmHg. Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sulsel Ichsan Mustari mengatakan, pihaknya menunggu hasil investigasi yang dilakukan oleh tim KIPI tingkat kabupaten dan provinsi. Pihak KIPI disebut-sebut akan menelusuri soal apakah benar meninggalnya Andi Yuwardani meninggal setelah mendapatkan vaksinasi ketiga, dan apakah penyebab meninggalnya bagian dari efek vaksinasi. “Melihat sejauh ini mana kejadian itu. Artinya kita kan mesti cari dulu, investigasi. Sejak awal vaksinasi telah dibentuk tim kejadian awal,” kata Ichsan Mustari. “Rekomendasi-rekomendasi akan diberikan karena kita tahu sendiri vaksinasi Covid kan vaksinasi pertama kali, tentu juga kejadian yang seperti itu tetap menjadi analisis tim melihatnya,” lanjutnya. Menurut Arie Karimah, Pharma-Excellent alumni ITB, tim KIPI jangan seenaknya ngomong itu bukan KIPI karena sudah lewat beberapa hari setelah vaksinasi. “Emang nggak ada gitu delayed adverse reactions dari vaksin (reaksi tunda)?” tegas Arie Karimah. “Saya berpikir penyebabnya tidak bisa diketahui tanpa dilakukan otopsi. Dan, problemnya pasti: apakah keluarganya mengizinkan? Ataukah mungkin cukup dilakukan otopsi verbal? Tapi menurut saya cara ini agak sulit untuk menentukan penyebab kematiannya,” ujarnya. Dokter Yuwardani bisa disebut sebagai tenaga kesehatan yang pertama menjadi “korban” pasca vaksinasi booster dengan Moderna. Jika tidak dilakukan otopsi, dapat dipastikan ini akan tetap menjadi misteri apa penyebab kematiannya. Berbeda sekali jika ini terjadi di luar negeri. Meski hanya satu nyawa yang jadi korban, bisa dipastikan bakal dilakukan otopsi, sehingga akan diketahui penyebab pastinya. Jepang yang mengetahui ada kontaminasi pada produk Moderna saja, langsung tunda pengiriman. Karena khawatir ada kontaminasi pada produk vaksin yang mereka terima dari pabrik vaksin Moderna di Spanyol, Kamis (26/8/2021) akhirnya Jepang memutuskan menghentikan untuk sementara vaksinasi dengan Moderna. Menurut Arie Karimah, sebenarnya sejak 16 Agustus 2021 perusahaan farmasi Takeda di Jepang telah menemukan di 8 lokasi vaksinasi mereka 39 vial yang belum dibuka (390 dosis) terlihat ada partikel yang tidak larut. “Persyaratan sediaan steril vaksin mengharuskan larutan yang jernih bebas partikel yang tidak terlarut atau endapan,” ungkap Arie Karimah dalam akun Facebook-nya, Jum’at, 27 Agustus 2021. Mereka meminta penyelidikan menyeluruh atas kasus itu oleh Ravi, pabrik yang mensuplai pasar selain Amerika Serikat. Dan sambil menunggu hasilnya mereka menghentikan program penyuntikan 1,63 juta dosis sisanya, yang merupakan produksi dari 3 nomer batch. Meski sebenarnya semua vial yang bermasalah berasal dari satu nomer batch, namun untuk kehati-hatian perusahaan farmasi Takeda di Jepang, yang bertanggung jawab atas penjualan dan distribusi vaksin tersebut, meminta menghentikan pemberian untuk ketiga batch itu. Takeda juga menduga sebagian dosis yang bermasalah tersebut mungkin sudah telanjur disuntikkan, sehingga mereka mengumumkan nomer batch-nya dan meminta masyarakat yang mendapatkan batch tersebut, dan mengalami efek yang tidak diharapkan (adverse reactions), untuk segera melapor. Perusahaan itu juga menyatakan sudah memberitahu Moderna dan meminta penyelidikan segera. Takeda tidak merinci sifat kontaminasinya, tetapi mengatakan, sejauh ini belum menerima laporan tentang masalah kesehatan yang timbul dari dosis yang terpengaruh. Kementerian Kesehatan Jepang mengatakan, pihaknya akan bekerja dengan Takeda untuk mendapatkan dosis alternatif agar program vaksinasi tidak terganggu, berhubung sedang meningkat setelah awal yang lambat. Perlu diketahui, sekitar 43 persen populasi Jepang saat ini telah divaksinasi penuh, tetapi negara itu sedang mengalami lonjakan rekor kasus yang didorong oleh varian Delta. Sekitar 15.500 orang meninggal karena Covid-19 di Jepang selama pandemi, dan sebagian besar wilayahnya berada di bawah pembatasan kegiatan. Sebelumnya, Moderna menyatakan, vaksin Covid-19 buatannya tetap kuat selama setidaknya 6 bulan dari dosis kedua. Disebutkan juga, booster untuk varian yang spesifik sedang diuji, dan menghasilkan respons antibodi kuat terhadap varian Delta. Itu disampaikan dalam analisis akhir dari uji klinis fase III atau tahap akhir. Moderna turut melakukan uji klinis pada 3 booster vaksin Covid-19 yang berbeda. Hasilnya menunjukkan, semuanya menghasilkan tingkat antibodi yang tinggi pada jenis virus corona asli dan varian termasuk Delta. “Kami gembira, vaksin Covid-19 kami menunjukkan kemanjuran yang tahan lama sebesar 93 persen hingga enam bulan, tapi menyadari varian Delta adalah ancaman baru yang signifikan sehingga kami harus tetap waspada,” kata CEO Stephane Bancel dikutip dari AFP. Pernyataan itu menambahkan, Moderna akan mengajukan persetujuan penuh vaksin Covid-nya kepada Badan Makanan dan Obat-obatan AS (FDA) bulan ini. Moderna telah memulai studi untuk beberapa vaksin lain, termasuk flu, Zika, respiratory syncytial virus, dan lainnya. Sebelumnya, melansir SuaraSurabaya.net, Rabu (2 Juni 2021 | 06:43 WIB), berdasarkan hasil studi organisasi kesehatan dunia (WHO), empat varian baru Virus Corona menurunkan tingkat kemanjuran (efikasi) sejumlah vaksin yang sudah diproduksi massal. Prof. Wiku Adisasmito, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 mengatakan, tiap varian berpengaruh pada efikasi vaksin yang beredar di berbagai belahan dunia. “WHO berdasarkan berbagai studi yang dilakukan beberapa peneliti menyatakan bahwa beberapa varian memiliki besaran pengaruh yang sedikit sampai sedang terhadap angka efikasi tiap vaksin pada kasus positif dengan varian tertentu,” ujarnya di Graha BNPB. Dia memaparkan, varian B117 dari Inggris mempengaruhi efikasi Vaksin Covid-19 produksi AstraZeneca. Varian B1351 asal Afrika Selatan mempengaruhi efikasi vaksin produksi dari Moderna, Pfizer, AstraZeneca, dan Novavax. Kemudian, varian B11281 atau P1 dari Brasil dan Jepang mempengaruhi efikasi vaksin Moderna dan Pfizer. Varian B1617 dari India juga mempengaruhi efikasi vaksin Moderna dan Pfizer. “Pengaruh varian virus terhadap efikasi vaksin tersebut bersifat sementara, dan masih bisa berubah berdasarkan hasil studi lanjutan,” imbuhnya. Lebih lanjut, Profesor Wiku menyatakan perubahan efikasi terjadi karena semua vaksin yang dikembangkan dan dipakai sekarang masih memakai Virus Sars Cov2 varian asli dari Wuhan, China, lokasi virus penyebab Covid-19 pertama kali ditemukan. Walau begitu, Wiku mengatakan mutasi virus yang terjadi tidak membuat kemampuan vaksin mencegah penyakit turun di bawah 50 persen. Bahkan, ia menyebut beberapa di antara vaksin itu masih punya efikasi di atas 90 persen. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id