organisatoris-nu
Muktamar-34: Refleksi Gerak Organisatoris NU sebagai Jam’iyyah (2)
Oleh: Mochamad Toha KH Agus Solachul Aam Wahib Wahab alias Gus Aam, Ketum KKNU 1926/ NU Khittah 1926. Dhurriyat Hadratush Syech Mbah KH. Wahab Chasbullah ini merefleksi gerak organisatoris NU. Yakni, refleksi gerak organisatoris NU sebagai jam'iyyah yang mengemban misi melayani umat. Sebagaimana diketahui dan dipahami bersama bahwa NU adalah Jam' iyyatu Adlin Wa Amaanin, wa Islahin, dan Wa Ihsaanin. Menurutnya, NU adalah institusi yang bergerak didasarkan pada Pola Pikir, Pola Sikap, dan Perilaku yang berlandaskan kepada Nilai Kebenaran dan Keadilan, memperjuangkan Nilai-Nilai Keagamaan, Sistem Kebangsaan. Sistem Kemasyarakatan yang didasarkan kepada Nilai-Nilai Kebenaran dan Keadilan sesuai Muqadimah Qanun Assasi Hadratus Syech KH Hasyim Asy'ari, Pendiri NU. “Karena itu, setiap gerak organisasi NU wajib didasarkan pada kesadaran dan keinsyafan sebagai jam'iyyah yang mengemban amanah dakwah serta menjunjung tinggi ajaran,” ungkap Gus Aam. Ajaran atau paham ahlussunnah wal jama'ah sekaligus menjadikan Qanun Asasi NU sebagai rujukan aktivitas organisasi, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Pertama, Sistim Politik yang dibawa oleh NU yaitu Politik Kebangsaan dan Politik Kerakyatan yang mengarah pada tegaknya Kebenaran dan Keadilan dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai NKRI. “Inilah pondasi yang paling penting untuk membangun pilar pergerakan, sebagaimana dicanangkan oleh para pendiri NU,” lanjut Gus Aam. Seiring dengan dinamika politik di Indonesia yang tidak menguntungkan dalam proses demokrasi dan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, ternyata PBNU ikut terjebak dengan dinamika politik praktis dan pragmatis, terseret jauh kedalam kubangan politik praktis yang tidak menentu. Keadaan tersebut sangat merugikan jam'iyyah dan mengaburkan orientasi dakwah dan pelayanan terhadap umat sebagai tujuan utama dan penting yang menjadi bagian dari misi NU. Hal itu diperparah lagi dengan beberapa pernyataan Ketum PBNU KH Said Aqil Siradj yang tidak konsisten, yang justru seringkali membingungkan, mengecewakan, meruntuhkan marwah dan wibawa jam'iyyah. Serta berdampak pada stigma negatif di kalangan masyarakat pada institusi NU yang pada akhirnya menyakiti hati umat Islam dan berimplikasi kepada rapuhnya Ukhuwah Islamiyyah. Kedua, sikap dan kebijakan PBNU yang dibangun dengan sistem politik praktis mengacu pada (Ashabul Qorror) daripada Ashabul Haq Wal Adl itu, akhirnya PBNU mengalami disorientasi gerakan. “Lebih ingin menguasai umat dan bukan melayani umat. Hal demikian, tentulah sangat bertentangan dengan nilai-nilai khittah NU,” ungkap Gus Aam. Ketiga, Kebijakan lainnya yang sangat menyesatkan adalah bahwa khittah NU Mutaghoyyir Conditioning (sesuatu yang dapat berubah-ubah sesuai perkembangan) menyebabkan NU terjebak ke dalam arus pragmatisme dan materialisme. “Padahal Khittah NU itu adalah Tsabit/final yakni hanya berorientasi pada pencapaian ridlo Allah SWT,” lanjut Gus Aam. Akibatnya Gerakan NU dalam menegakkan ashabul haq wal adl (kebenaran dan keadilan) kurang tajam, tidak menggigit. Dan, bahkan bergeser kepada ashabul qorror. Selain menyebabkan terjadinya disorientasi, keadaan ini juga menimbulkan disharmoni dan disintegrasi di internal NU. “Tiga hal itulah, yang sekarang ini sedang dan terus terjadi dalam tubuh PBNU,” ujar Gus Aam. Dengan demikian untuk menjawab aspirasi jam' iyyatu adlin wa amaanin wa islahin dan wa ihsaanin diperlukan sosok figur yang dapat menjadi panutan dan suri tauladan sebagai simbol Kader NU. Serta memiliki visi kongkrit untuk mengatasi problem NU kini dan masa mendatang. “Dan bertanggung jawab serta kompeten dalam memimpin institusi NU,” lanjut Gus Aam. Hingga saat ini calon yang bakal maju Calon Ketum PBNU terkuat menjadi Ketum PBNU diantaranya adalah Abdul Muhaimin Iskandar, Yahya Cholil Staquf, dan Said Aqil Siradj. Gus Aam mengakui, ketiga Caketum PBNU tersebut memang mempunyai kekuatan dari sisi finansial, kekuasaan, dan jabatan. Tapi, mereka belum memenuhi atau setidaknya belum memiliki konsep yang jelas bagaimana menata arah NU agar kembali ke khittahnya. Oleh karena itu, sebagai salah satu cucu Pendiri, Inisiator, dan Penggerak NU, KH Wahab Chasbullah dan sebagai Ketum KKNU 1926/NU Khittah 1926, Gus Aam sangat berharap semoga di Muktamar NU Desember 2021 ini dapat mengadopsi kriteria Caketum PBNU yang dapat memungkinkan tercapainya tujuan NU, yaitu: Bersih (Clean); tidak pernah punya “dosa” masa lalu, terutama berkaitan dengan kasus-kasus dugaan korupsi yang hingga kini masih menggantung hingga kini. Tujuannya untuk dijadikan “sandera”. Memiliki visi politik yang merekatkan umat, menjadikan NU sebagai ormas yang juga mengayomi seluruh elemen pergerakan Islam, sekaligus terdepan dalam merajut ukhuwah Islamiyyah. Mampu menempatkan relasi kekuasaan dan organisasi, menjaga marwah jam'iyyah, serta mampu mengakselerasi aktivitas politik yang bertujuan pada penegakkan ashabul haq wal adl (Kebenaran dan Keadilan). Harus mempunyai target kinerja yang riil dan kongkrit. Misalnya: Berapa banyak Rumah Sakit yang akan didirikan; Berapa banyak universitas yang akan didirikan; Berapa banyak sekolah-sekolah/pondok pesantren yang akan didirikan; Berapa banyak pasar yang akan didirikan; Berapa banyak Koperasi yang akan didirikan; Berapa banyak Panti Asuhan yang akan didirikan. Harus mempunyai kompetensi dalam me-manage seluruh potensi SDM, SDA, dan Market yang ada di pondok pesantren dan masyarakat. Berilmu dan mengerti, memahami, dan sanggup melaksanakan ajaran atau paham ahlussunnah wal jama'ah, sanggup dan mampu membentengi ahlus sunnah wal jama'ah. Menurut Gus Aam, semua kriteria yang ditetapkan tersebut, intinya adalah dalam rangka merealisasikan visi melayani umat. “Inilah yang seharusnya dilakukan oleh PBNU di bawah kepemimpinan siapapun,” katanya. Karena itu, lanjutnya, setiap Caketum PBNU wajib memiliki kriteria yang sejalan dengan visi dan misi NU yakni menegakkan ajaran Islam menurut paham ahlussunnah wal jama'ah di dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (Bersambung)