pasal-50-ayat-4-undang-undang

Kuasa Hukum: Pasal 50 Ayat (4) Undang-Undang Guru dan Dosen Ambigu

Jakarta, Jakarta, FNN - Kuasa hukum pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Ignatius Supriyadi mengatakan kerancuan dan ambiguitas Pasal 50 Ayat (4) mengakibatkan pemohon mengalami kerugian konstitusional. "Multitafsir ketentuan Pasal 50 Ayat (4) yang menihilkan sendiri norma dan kaidah kewenangan untuk melakukan seleksi pengangkatan dan penetapan jabatan akademik, termasuk guru besar ada pada satuan pendidikan tinggi dengan menambahkan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan," kata Ignatius Supriyadi pada sidang lanjutan Perkara Nomor 20/PUU-XIX/2021 secara virtual di Jakarta, Rabu. Halitu, menurut dia, dapat ditafsirkan oleh Pemerintah bahwa kewenangan tersebut bisa dianulir atau diambil alih pemerintah melalui peraturan di bawah undang-undang. Pemohon melalui kuasa hukumnya menganggap jika ambiguitas atau ketidakpastian materi muatan Pasal 50 Ayat (4) UU tentang Guru dan Dosen dihilangkan, atau dikabulkannya permohonan pemohon, maka kerugian konstitusional yang dialami tidak akan terjadi lagi. "Kewenangan melakukan seleksi pengangkatan dan penetapan guru besar ada di satuan pendidikan tinggi dalam hal ini rektor," ujarnya. Sidang yang dipimpin langsung oleh hakim Arief Hidayat dengan hakim anggota Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih, Ignatius menyampaikan alasan pemohon mengajukan uji materi UU tentang Guru dan Dosen. Pada intinya pemohon menyampaikan materi muatan Pasal 50 Ayat (4) UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen mengandung ketidakpastian hukum atau multitafsir. Secara substantif, materi muatan pasal itu mengandung kaidah hukum seleksi pengangkatan dan penetapan jenjang jabatan akademik yang ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi. Namun, adanya tambahan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan kaidah hukum tersebut seakan-akan disimpangi oleh keberadaan frasa tambahan itu. Ia berpendapat bahwa frasa peraturan perundang-undangan dapat diartikan segala jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah dengan UU No. 15/2019. "Oleh karena itu, materi muatan Pasal 50 Ayat (4) melanggar atau bertentangan secara nyata dengan prinsip negara hukum," ujarnya. - Kuasa hukum pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Ignatius Supriyadi mengatakan kerancuan dan ambiguitas Pasal 50 Ayat (4) mengakibatkan pemohon mengalami kerugian konstitusional. "Multitafsir ketentuan Pasal 50 Ayat (4) yang menihilkan sendiri norma dan kaidah kewenangan untuk melakukan seleksi pengangkatan dan penetapan jabatan akademik, termasuk guru besar ada pada satuan pendidikan tinggi dengan menambahkan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan," kata Ignatius Supriyadi pada sidang lanjutan Perkara Nomor 20/PUU-XIX/2021 secara virtual di Jakarta, Rabu. Halitu, menurut dia, dapat ditafsirkan oleh Pemerintah bahwa kewenangan tersebut bisa dianulir atau diambil alih pemerintah melalui peraturan di bawah undang-undang. Pemohon melalui kuasa hukumnya menganggap jika ambiguitas atau ketidakpastian materi muatan Pasal 50 Ayat (4) UU tentang Guru dan Dosen dihilangkan, atau dikabulkannya permohonan pemohon, maka kerugian konstitusional yang dialami tidak akan terjadi lagi. "Kewenangan melakukan seleksi pengangkatan dan penetapan guru besar ada di satuan pendidikan tinggi dalam hal ini rektor," ujarnya. Sidang yang dipimpin langsung oleh hakim Arief Hidayat dengan hakim anggota Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih, Ignatius menyampaikan alasan pemohon mengajukan uji materi UU tentang Guru dan Dosen. Pada intinya pemohon menyampaikan materi muatan Pasal 50 Ayat (4) UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen mengandung ketidakpastian hukum atau multitafsir. Secara substantif, materi muatan pasal itu mengandung kaidah hukum seleksi pengangkatan dan penetapan jenjang jabatan akademik yang ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi. Namun, adanya tambahan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan kaidah hukum tersebut seakan-akan disimpangi oleh keberadaan frasa tambahan itu. Ia berpendapat bahwa frasa peraturan perundang-undangan dapat diartikan segala jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah dengan UU No. 15/2019. "Oleh karena itu, materi muatan Pasal 50 Ayat (4) melanggar atau bertentangan secara nyata dengan prinsip negara hukum," ujarnya. (mth)