pelanggaran-ham-berat
Tegakkan Hukum dan Keadilan, Adili Para Pelaku Pelanggaran HAM Berat!
Jakarta, FNN - Pada Selasa, 7 Desember 2021, bertepatan dengan 2 Jumadil Awwal 1443, Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Enam Pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS), atau disingkat TP3, memperingati setahun syahidnya enam pengawal HRS yang telah dibunuh secara sadis oleh aparat negara. Sebuah pelanggaran HAM berat di Jalan Tol Jakarta Cikampek Km 50 pada 7 Desember 2020 tahun lalu ini, diperingati TP3 dengan acara “Tahlil dan Doa Nasional Bersama” secara daring dan live streaming video channal/ youtube. Acara diikuti oleh ribuan peserta dari berbagai kalangan, termasuk para penandatangan Petisi Rakyat untuk Penuntasan Kasus Pembunuhan Enam Pengawal HRS. Acara haul dan doa bersama mengenang setahun pembunuhan tanpa peri- kemanusiaan terhadap 6 Pengawal HRS ini sekaligus mengingatkan bahwa hukum dan keadilan belum tegak secara utuh dan beradab di negeri ini. “Para pelaku pelanggaran HAM Berat yang membunuh enam pengawal HRS masih hidup bebas berkeliaran tanpa tersentuh hukum,” ungkap Ketua TP3 Abdullah Hehamahua. Guna menutupi kejadian sebenarnya dan melindungi para pembunuh sadis ini, lanjut Abdullah Hehamahua telah pula dilakukan berbagai upaya dan langkah cover-up. “Para oknum penguasa secara sistematis telah terlibat merekayasa proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga pengadilan yang sedang berlangsung saat ini,” tambah Sekretaris TP3 Marwan Batubara. Pengadilan terhadap tersangka yang “dinyatakan oleh penguasa” sebagai pelaku pembunuhan memang sudah berlangsung di pengadilan, atas nama level Brigadir yaitu Fikri Ramadhan dan M. Yusmin Ohorella. Namun, kata Marwan Batubara, penetapan dua tersangka ini jauh dari rasa keadilan. Bisa jadi mereka memang tersangka sebenarnya, tapi mereka ini bukanlah tersangka satu-satunya. “Ada nama-nama pelaku lainnya dengan level kepangkatan lebih tinggi yang sangat diyakini terlibat kejahatan HAM ini, termasuk sang master mind dan pengendali operasi,” tegasnya. Persidangan yang tengah berlangsung di PN Jakarta Selatan dengan Nomor Perkara 867 dan 868 atas nama terdakwa Fikri Ramadhan dan M. Yusmin Ohorella bukanlah persidangan dalam rangka menegakkan keadilan atas terbunuhnya enam pengawal HRS. Setelah mengikuti jalannya persidangan di PN Jakarta Selatan selama ini, proses hukum tersebut tidak lebih dari persidangan untuk melindungi dan mengamankan para penjahat pelanggar HAM Berat yang sebenarnya. “Pengadilan ini merupakan bukti nyata berlangsungnya sebuah sandiwara dan dagelan, untuk menghilangkan jejak para pelaku tindak kebiadaban yang sesungguhnya,” ungkap Abdullah Hehamahua. Persidangan di PN Jakarta Selatan juga makin membuktikan adanya sikap Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang “unwilling” dan “unable” untuk mengungkap terjadinya pelanggaran HAM Berat. Persidangan tersebut semakin menunjukkan bahwa pembunuhan enam pengawal HRS adalah peristiwa yang dilakukan secara sistematis dengan melibatkan aparat negara yang berada di bawah kendali kekuasaan rezim. Menurutnya, persidangan di PN Jakarta Selatan atas nama terdakwa Fikri Ramadhan dan M. Yusmin Ohorella justru dijadikan forum dan wahana untuk membenarkan tindakan pembunuhan yang dilakukan aparat negara terhadap enam pengawal HRS. “Peradilan di PN Jakarta Selatan ini berlangsung tanpa adanya bukti saksi. Semua saksi-saksi yang dihadirkan adalah justru saksi-saksi a de charge (saksi-saksi yang menguntungkan terdakwa) dan saksi-saksi yang membela Pelanggar HAM Berat,” tegas Abdullah Hehamahua. Ia mengatakan, TP3 telah mewawancarai enam pengawal HRS yang selamat dari upaya pembunuhan di Km 50. Kesaksian mereka membuktikan benar telah terjadi pelangaran HAM Berat karena dilakukan secara terencana dan sistimatis melibatkan kekuatan aparat negara yang bersenjata. Kesaksian enam pengawal HRS yang selamat ini tak mungkin bisa diajukan sebagai saksi di PN Jakarta Selatan karena memang tidak dikehendaki oleh rezim. “Mereka hanya mungkin bersaksi di Pengadilan HAM,” tegasnya. Namun, setelah setahun berlalu, langkah awal untuk bergulirnya Pengadilan HAM tidak pernah bisa terlaksana karena Komnas HAM tidak pernah melakukan Penyelidikan atas dasar UU Nomor 26 Tahun 2000. Abdullah Hehamahua mengingatkan, TP3 adalah Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan enam pengawal HRS. Jadi fungsi lembaga ad hoc ini adalah mengawal proses penanganan pembunuhan enam pengawal HRS dimulai dari penyelidikan, penyidikan, pengadilan sampai putusan hakim. “TP3 berkewajiban untuk mengawasi proses penanganan tersebut agar bersifat terbuka, jujur, dan berjiwa besar sesuai dengan UUD 1945, UU Nomor 26 Tahun 2000 dan peraturan terkait yang berlaku,” lanjutnya. TP3 atas nama keluarga korban dan telah menyerap aspirasi masyrakat berkeadaban menggunakan hak-hak sipilnya dalam mengawal proses penanganan kasus pembunuhan sadis ini. Sebab, pemilik republik ini adalah rakyat, sehingga setiap saat mengawal mereka yang diberi mandat untuk mengelola manajemen pemerintahan termasuk aspek penegakan hukum. TP3 dalam pengawalannya meyakini telah terjadi intervensi yang tidak fair terhadap Komnas HAM dari pihak tertentu yang saat ini berkuasa, agar pembunuhan tak beradab tersebut tidak terkategori sebagai pelanggaran HAM Berat. Hasilnya, terbitlah laporan sarat rekayasa oleh Komnas HAM, diberi judul Laporan Hasil Penyelidikan, yang pada dasarnya hanyalah Laporan Hasil Pemantauan! Dalam hal ini Komnas HAM telah mengkhianati rakyat yang mendukung keberadaannya, sekaligus mengkhianati amanat reformasi. Perkara pembunuhan atas enam pengawal HRS hanya bisa tuntas secara adil dan beradab bila diselesaikan Pengadilan HAM yang digelar sesuai UU Nomor 26 Tahun 2000. “Oleh karena itu Komnas HAM harus melakukan Penyelidikan Pro Yustisia sesuai UU Nomor 26 Tahun 2000 tersebut. Hanya dengan Pengadilan HAM lah pelanggaran HAM Berat dapat terungkap,” kata Abdullah Hehamahua. Sejalan dengan itu, TP3 juga menuntut agar Presiden Jokowi, sesuai janji yang pernah dinyatakan saat bertemu TP3 pada 9 Maret 2021, di Istana Merdeka, ikut bertanggung jawab untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat ini secara adil, transparan dan dapat diterima publik. Untuk itu, “Presiden Jokowi perlu pula meminta Komnas HAM untuk segera melakukan penyelidikan Pro Yustisia tersebut,” tambahnya. (mth)