saatnya-kita-mandiri

Saatnya Kita Mandiri dengan Platform Digital Model Sendiri (3)

Oleh: Agus M Maksum PRINSIP utamanya adalah aplikasi harus dimiliki oleh komunitas, bukan komunitas diakuisisi user dan potensinya oleh pembuat aplikasi. Al Quran Surat Al Hasyr 59 : 7 memberikan perintah dengan tegas: Agar Ekonomi diatur Supaya Harta/Aset tidak berputar di miliki oleh orang-orang kaya saja. Inilah prinsip utama model Bisnis Syariah yang akan kita jadikan pijakan yakni Distribusi Modal/Aset dan Sharing Ekonomi, Model Bisnis ini juga implementasi dari Prinsip Ekonomi Konstitusi Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau kepemilikan anggauta-anggauta masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala orang. Sebab itu monopoli dagang korporat asing harus di imbangi oleh kesadaran community yg di dorong oleh pemimpin lokal yg punya visi yang kuat, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai secara bersama. Kalau tidak, maka tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang bisa juga berbentuk korporat asing yg powerful modal dan berkuasa dan rakyat yang banyak akan ditindasnya. Platform digital 4.0 berbasis Ekonomi Untuk kesejahteraan bersama. Distribusi artinya kepemilikan Alat-alat produksi berupa Platform Digital/ Aplikasi harus terdistribusi pada stake holder umat, bukan terpusat pada para pemilik modal atau pemilik aplikasi, di sini harus di pikirkan adanya alat-alat produksi bisa di miliki secara bersama oleh stake holder umat, dan alat produksi tersebut bisa di gunakan oleh stake holder umat secara murah terjangkau. Sharing Ekonomi artinya profit yang dihasilkan dari putaran ekonomi terbagi kepada umat juga, tidak mengalir terpusat pada pemilik modal yang memiliki dan menguasai alat-alat produksi. Siapakah stake holder umat yang secara bersama-sama akan memiliki aset berupa alat produksi dalam hal ini Platform Digital/Aplikasi tersebut. Stake Holder yang dimaksud dalam kajian dan diskusi di Musyawarah Ulama dan Tokoh Umat (MUTU) di Bandung adalah Komunitas. Mengapa Komunitas, ya karena komunitas ini adalah modal sosial kita, umat yang besar ini akan sulit dikonsolidasi karena tidak adanya leader yang bisa mengkomando umat secara nasional. Oleh karena itu untuk mengkonsolidasi harus dicari unit terkecil umat, di mana di sana ada leader yang bisa mengomando, menggerakkan dan mengkonsolidasi umat, di sinilah setiap komunitas pasti ada leader-nya masing-masing. Misalnya, sekolah Islam Kepala Sekolah adalah leader, Pondok Pesantren Kyai adalah leader-nya, Masjid ada takmir, khotib dan penceramah kajan rutin sebagai leader penggerak komunitas. Sekarang marilah kita pikirkan Model menurut Ekonomi Pancasila dan Model Bisnis syariahnya, bagaimana agar setiap komunitas bisa memiliki alat produksi berupa Platform Teknologi Digital untuk komunitasnya secara murah terjangkau atau bahkan gratis. Kemudian, putaran ekonomi dalam komunitas akan menghasilkan sharing ekonomi berupa akses pasar dan modal serta profit sharing lainnya pada semua stake holder yang terlibat. Sebelum kita masuk pada Platform aplikasi digitalnya marilah kita buat gambaran konsepnya dulu. Dari Gambaran ini sudah terlihat bahwa tidak terjadi pemusatan putaran ekonomi pada para pemilik modal. Konkretnya bagaimana? Untuk bisa menghasilkan alat produksi, dalam konteks Ekonomi digital di perlukan Platform Digital yang canggih dan terus update teknologinya, dan untuk ini kita harus memiliki Pusat Pengembangan Teknologi Digital milik umat, seperti Silicon Valley. Sebab bila setiap komunitas/stake holder harus membuat sendiri biayanya akan mahal bisa puluhan sampai ratusan milyar bisa tidak terjangkau, serta platform digital juga harus memiliki tenaga IT Programmer/Developer sendiri tidak boleh hanya membayar programmer lepasan akan sangat mahal dan tidak aman. Jadi, Pusat Pengembangan Teknologi Umat akan merekrut anak-anak terbaik di bidang IT untuk mengembangkan Platform Digital untuk umat. Lalu Platform Digital bisa dipakai oleh masing-masing stake holder/ komunitas secara murah terjangkau bahkan kalau mungkin gratis antar komunitas. Bila semua stake holder memakai platform digital yang sama maka nantinya akan memudahkan integrasi untuk sinergi antar komunitas, karena platform-nya sama. Lebih konkret lagi bagaimana? Lebih konkret lagi Pokja Ekonomi MUTU telah membuat cikal bakal pusat pengembangan Teknologi umat tersebut dan telah menghasilkan sebuah Platform Teknologi Digital untuk bisa dipakai oleh masing-masing stake holder/komunitas untuk melakukan konsolidasi Uang dan Pasar di masing-masing komunitas. Platform dan Pusat Pengembangan Teknologi umat tersebut harus tidak boleh di miliki oleh segelintir orang, agar tidak terjadi pemusatan ekonomi, juga agar platform tersebut di miliki bersama oleh umat dari berbagai unsur dan latar belakang, sehingga nantinya tidak ada pertanyaan Platform/Aplikasi ini milik siapa? Jawabnya jelas milik umat milik bersama. Lalu Plaform dipakai secara bersama pada semua stake holder/komunitas untuk konsolidasi uang dan pasar di masing-masing komunitas. (Bersambung) Penulis Adalah Pokja Ekonomi MUTU

Saatnya Kita Mandiri dengan Platform Digital Model Sendiri (1)

Oleh: Agus Maksum DALAM rangka mensosalisasikan hasil kajian Pokja Ekonomi Musyawarah Ulama dan Tokoh Umat (MUTU) kami kirimkan tulisan singkat ini untuk dijadikan bahan renungan dan pemahaman, juga memahamkan umat dan masyarakat terhadap situasi yang terkait dengan Ekonomi Keuangan dan Teknologi Digital. Era Industri Digital 4.0 telah menjadi lifestyle kita, baik tua (kaum baby bomers) maupun mudanya (kaum milenial) apalagi generasi Z yang lahir setelah tahun 2000-an. Bahkan trend ini segera akan menciptakan sebuah masyarakat yang di sebut society 5.0, sebuah masyarakat yang kehidupannya sangat bergantung pada teknkologi digital. Sementara sebenarnya Industri 4.0 yang sekarang kita nikmati ini masih pada fase semu yang menipu Ekonomi di-drive oleh perusahaan StartUp Digital raksasa, namun perusahaan tersebut masih dalam masa bakar uang, masih belum mendapatkan profit. Artinya besarnya perusahaan-perusahaan raksasa Digital tersebut masih ditopang oleh masuknya uang dari Investor untuk di bakar mempertahankan user bukan dari profit. Ketika mereka akan sampai pada strategi exit-nya maka menjadi pertanyaan apakah mereka masih akan eksis, apakah mereka masih akan memberikan discount, harga murah, free ongkir dan berbagai kemudahan lainnya, atau justru mereka akan terjebak pada layanan yang menjadi mahal dan mencekik karena mereka harus mengembalikan uang triliunan rupiah yang dibakar. Berita terakhir yang kita baca misalnya Gojek Decacorn dengan valuasi Rp 140 Triliun merger dengan Tokopedia valuasi Rp 100 Triliun, setelah merger mereka segera akan IPO dengan target memperoleh uang Rp 580 Triliun dari pasar modal. Sangat mudah dibaca bahwa investor akan mencari untung dari profitaki di saham, bukan dari profit putaran bisnis. Saya khawatir target IPO Rp 580 Triliun adalah strategi exit para mafia investor untuk mengembalikan uang yang telah dibakar dari dua raksasa digital Gojek dan Tokopedia sebanyak Rp 240 Triliun yang telah meluluh lantakkan bisnis UMKM kita. Uang yang dibakar sebanyak Rp 240 Triliun itulah yang telah menjadi narkoba yang menjadikan kelompok milenial addict/kecanduan berbagai layanan Gojek dan Tokopedia mulai dari cashback, discount, harga murah, iklan gratis, free ongkir dan lain-lain dan itu semua memakan uang untuk dibakar Rp 240 Triliun, startup yang seperti inilah yang dibanggakan oleh negara dengan sebutan DECACORN. Lalu dari mana investor balik modal, mereka merger menjadi GOTO lalu segera akan IPO di bursa saham dan mentarget penjualan saham Rp 580 Triliun. Kalau itu tercapai maka investor akan mendapatkan untung Rp 340 Triliun dari IPO. Sementara valuasi perusahaan digital adalah jumlah user, loyalitas user tergantung pada discount, free ongkir, cashback, subsisdi dan lain-lain selama discount dan harga murah serta free ongkir masih ada user akan pakai aplikasi itu, tapi begitu hilang maka mereka segera akan berpindah ke lain aplikasi, sebagaimana user BBM berpindah ke WhatsApp lalu user BBM habis dan bangkrutlah persahaan RIM pemilik BBM, selabil itulah user pelanggan Aplikasi, karena sesungguhnya mereka bukah butuh tapi dimanja oleh berbagai layanan murah mudah praktis tapi layanan itu dibiayayai oleh para mafia Investor dengan bakar uang. Pertanyaan besarnya, apakah keuntungan Rp 340 Triliun dari IPO akankah dibakar lagi untuk mempertahankan user yang menjadi valuasi perusahaan? Silakan dipikir sendiri...? Bukankah ini potensial menjadi Buble Ekonomi seperti diperingatkan oleh Menteri Keuangan kita Sri Mulyani, Digital Power Concentration akan mengarah pada Buble ekonomi yang siap memicu krisis ekonomi. Lalu Bagaimana kita mempersiapkan diri menghadapi strategi exit para pemain raksasa digital, bila memang mereka exit. (Bersambung) Penulis Adalah Pokja Ekonomi Musyawarah Ulama dan Tokoh Umat (MUTU)