terhadap-kepemimpinan

Keserakahan di Tengah Pandemi (2): Tinjauan Kritis Terhadap Kepemimpinan Otoriter dan Oligarki di Indonesia

Oleh: Gde Siriana *) UTANG Pemerintah pada Oktober 2014 tercatat Rp2.601 triliun (25,6% PDB) sedangkan pada Oktober 2019, Rp4.756,13 triliun (29,87% PDB). Itu berarti, ada penambahan utang Pemerintah sebesar Rp2.156 triliun selama periode pertama kepresidenan Jokowi. Berdasarkan data Kementerian Keuangan per September 2021, utang Pemerintah tercatat sebesar Rp6.711,52 triliun atau 41,38% dari PDB. Pada akhir 2022, utang pemerintah diproyeksikan mendekati Rp8.000 triliun atau sekitar 50% dari PDB. Meskipun UU menetapkan batas utang aman di bawah rasio 60% dari PDB bukan berarti pemerintah menjadi mudah menambah utang tanpa mempertimbangkan indikator lainnya. Rasio utang terhadap PDB di bawah 30% bukan berarti aman apabila rasio pajak terus rendah. Akumulasi utang dan pendapatan rendah sebagai dampak pandemi akan membawa Indonesia terjebak dalam perangkap utang. Rasio penerimaan pajak yang rendah mencerminkan juga potensi utang terus “berkelanjutan”, di mana jumlah utang baru hampir selalu lebih besar cicilan utang. Kemampuan bayar utang juga dapat dilihat dari rasio ekspor. Jika melihat data sebelum pandemi, 2017-2018, rasio pajak dan rasio ekspor Indonesia adalah yang terendah dibandingkan dengan Singapura, Thailand, Malaysia dan Filipina. Bahkan dalam rasio ekspor Indonesia sangat tertinggal, Malaysia lebih tinggi 4 kali lipat sedangkan Singapura lebih tinggi hampir 7 kali lipat. Wajar jika Malaysia dan Singapura memiliki rasio utang di atas Indonesia. Secara berurutan, beban bunga baru yang diakibatkan pembiayaan defisit APBN sejak 2020 hingga 2022 masing-masing sebesar Rp 38,2 triliun, Rp 49,6 triliun, dan Rp 45,3 triliun. Membengkaknya hutang berkonsekuensi terhadap membesarnya biaya bunga yang harus dibayar. Pada 2021 ini, APBN harus mengalokasikan biaya bunga sebesar Rp366,2 triliun. Bahkan pada 2022, pemerintah memperkirakan total bunga utang mencapai Rp417,4 triliun. Beban utang Pemerintah dan BUMN kemungkinan akan bertambah karena pemerintah ngotot meneruskan proyek membangun ibukota baru di saat pandemi Covid-19 belum reda. Sumber dana proyek ibukota baru di Kalimantan Timur itu sebagian besar berasal dari utang yang dibungkus dengan program kerjasama. Per 20 Oktober 2014, atau hari pertama Jokowi menjabat sebagai Presiden RI, nilai rupiah terhadap Dolar AS berdasarkan kurs tengah BI berada di posisi Rp12.041 per Dolar AS. Pada akhir November 2021, nilai rupiah berada di posisi Rp14.310 - Rp14.320 per Dolar AS. Pandemi juga telah mengkonfirmasi bahwa ketimpangan yang ditunjukkan oleh Rasio Gini dan bertambahnya jumlah aset orang-orang kaya secara signifikan selama pandemi menunjukkan, pemerintahan Jokowi gagal menjaga keadilan ekonomi. Kondisi ini diperkuat dengan meningkatnya jumlah orang miskin dan pengangguran. Credit Suisse, Januari 2017: ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk yang paling buruk di dunia, hanya lebih baik dibanding Rusia, India, dan Thailand. Hasil survei mengatakan 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 75,7 persen kekayaan nasional di mana satu persen orang terkaya menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Rasio Gini Indonesia pada Maret 2019 berada di level 0,382. Setelah ada pandemi, Rasio Gini per September 2020 adalah 0,385. Credit Suisse, 2020: Jumlah orang kaya dan super kaya di Indonesia justru menanjak di tengah gempuran wabah virus corona. Jumlah penduduk di Indonesia dengan kekayaan bersih 1 juta dollar AS atau lebih mencapai 171.740 pada tahun 2020. Angka tersebut melonjak hingga 61,69 persen year on year (yoy) dari jumlah pada 2019. Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang sangat kaya, memiliki kekayaan lebih dari 100 juta dollar AS, pada tahun 2020 mencapai 417 orang, naik 22,29 persen dari tahun 2019. Ketimpangan yang ditunjukkan oleh Rasio Gini bukan semata-mata soal kekayaan, melainkan juga akses terhadap pendidikan dan kesehatan karena kedua hal itu saling berkaitan. KPK pada September 2021 merilis data bahwa 70,3 persen pejabat negara harta kekayaannya naik selama setahun terakhir atau di masa pandemi Covid-19. Laporan itu berdasarkan analisis terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) pada periode 2019-2020. Kenaikan paling banyak terlihat pada harta kekayaan pejabat di instansi kementerian dan DPR yang angkanya mencapai lebih dari Rp1 miliar. Sedangkan, di tingkat legislatif dan eksekutif daerah, penambahannya masih di bawah Rp1 miliar. Tingkat kemiskinan pada Maret 2019 adalah sebesar 9,41% atau 25,14 juta orang. Pada masa pandemi, September 2020 jumlah orang miskin di Indonesia adalah 27,55 juta (10,19%), dan Maret 2021, jumlah orang miskin sedikit berkurang menjadi 27,54 juta (10,14%). Tingkat pengangguran Indonesia tahun 2019 adalah 5,01% (Februari 2019), kurang lebih setara dengan Filipina, dimana keduanya menjadi dua negara di ASEAN dengan tingkat pengangguran tertinggi. Per 16 April 2020 atau hanya 44 hari sejak Presiden Jokowi mengumumkan kasus Covid-19 pertama di Indonesia pada 2 Maret 2020, pekerja yang dirumahkan dan terkena PHK sudah mencapai 1.943.916. Jumlah itu terdiri dari 1.500.156 pekerja sektor formal dan 443.760 pekerja sektor informal. Pada Agustus 2020, jumlah pengangguran terbuka (TPT) tercatat sebesar 9,77 juta orang (7,07% angkatan kerja). Ini merupakan TPT tertinggi selama pemerintahan Presiden Jokowi sejak 2014. (Bersambung) *) Penulis Buku “Keserakahan di Tengah Pandemi”