yudicial-review-ke-mk
Dewan Perwakilan Daerah Ajak Rakyat Tolak Ambang Batas Calon Presiden 20 Persen
Jakarta, FNN – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI terus berjuang menghapuskan sistem ambang batas presidensial atau presidential threshold (PT) 20 persen menjadi nol persen. Semua pihak diajak melakukan perlawanan dan menolak secara beramai-ramai sistem yang telah menyebabkan terbelahnya rakyat itu. Pemberlakuannya telah menyebabkan munculnya masalah dalam kepemimpin nasional. “Presidential Threshold telah menimbulkan pembelahan dan mencederai demokrasi,” kata Ketua Kelompok DPD di MPR, Tamsil Linrung kepada FNN. Perbincangan tersebut bisa ditonton di FNN TV YouTube Channel. Ia meyebutkan, PT telah menyebabkan masyarakat terbelah. Hingga sekarang, hal itu (terbelah) masih terasa, meskipun kubu 02 (Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno) sudah masuk ke kabinet Jowo Widodo- Ma’ruf Amin. PT itu dimaksudkan agar mereka yang akan maju menjadi calon presiden harus ada batasannya. Padahal, yang diinginkan, setiap orang yang ingin maju menjadi calon presiden sudah benar, tetapi dengan pembatasan melalui kriteria tertentu, bukan membatasi lewat persentasi. Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah 4 kali diamandemen, akhirnya membatasi. Pasal 6 (a) benar menyebutkan, calon presiden dan calon wakil presiden diusulkan oleh partai atau gabungan partai peserta pemilihan umum (Pemilu). Kemudian, dibuat satu undang-undang yang menetapkan ambang batas presidensial. UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur tentang syarat partai atau gabungan partai yang boleh mengusung pasangan capres dan capres harus memiliki 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 25 persen suara sah di tingkat nasional. Menyikapi hal itu, DPD berusaha sekuat tenaga agar PT itu menjadi nol (0) persen. Seluruh elemen masyarakat diminta turut menolak PT 20 persen dan 25 persen. Semestinya, partai-partai peserta pemilu pempersoalkan pembatasan 20 persen atau 25 persen. “Kalau pembatasannya dibuat 60 persen bagaimana? Pembatasan itu menyebabkan terbelahnya masyarakat dan juga di parlemen. Pembelahan tersebut lebih parah dengan pembatasan yang hanya dua pasangan capres dan cawapres. Fenomenanya sekarang terlihat jelas dan masih terasa,” katanya. Sekarang koalisinya sudah kelihatan terbelah. Ada tujuh partai yang dipersilahkan sebagai koalisi istana. Secara keseluruhan tujuh partai itu suaranya 82%. Berarti yang tersisa adalah 18% berarti. Pembelahan itu mengakibatkan yang 18% tidak akan mungkin bisa mengajukan calon karena tidak mencukupi, yaitu Demokrat dan PKS. Terkait dengan PT itu, pihaknya juga sudah siap melakukan uji materi atau yudicial review ke Mahkamah Konstitisi. Ada suara yang menyebutkan tidak memiliki legal standing, karena DPD adalah bagian dari pembuat undang-undang. Terhadap suara sumbang itu, mereka sudah berkonsultasi dengan Hamdan Zoelva, mantan Ketua MK. Intinya, DPD bisa mengajukan uji materi, karena selama ini senator tidak ikut menyetujui UU yang mengatur ambang batas itu. DPD hanya tidak ikut dalam perdebatan sebuah undang-undang, tetapi hanya sebatas mengusulkan dan hanya mempertimbangkan. Jadi, katanya hanya masuk dalam lingkup memperhatikan. “Apakah mungkin diperhatikannya bagaimana? Dilihat amplopnya (usulannya) atau tidak dilihat isinya...” katanya berseloroh. DPD berharap supaya MK betul-betul meninggalkan legesi untuk kehidupan demokrasi yang lebih baik. Berharap seperti itu karena nanti, saya kira ketika datang para guru besar datang mantan ketua MK yang sama-sama mendorong yudicial review. Dalam perkiraannya, dorongan penghapusan terhadap PT itu kian membesar. Apalagi, di dalam MK sudah ada yang sependapat dengan DPD. Misalnya, Saldi Isra setuju dengan pendapat mereka. Ada lagi yang masih setengah hati mendukung. Jika empat dari 9 anggota MK sependapat dengan penghapusan PT, maka tinggal satu lagi diharapkan berbalik (menjadi pro DPD). Bahkan, saya pikir, kalau jernih sekali membaca apa yang menjadi dasar pikiran Saldi Isra (mendukung uji materi) itu, mestinya pimpinan MK dan semua anggotanya lainnya mengikuti. Tamsil juga menjelaskan rencana lembaganya yang akan menyelenggarakan simposium kebangsaan yang berkaitan dengan wacana amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Melalui simposium tersebut diharapkan bisa diperoleh konstitusi negara yang ideal, sehingga Indonesia ke depan betul-betul bisa menjalankan demokrasi dengan baik. “Seluruh anggota DPD akan bergerak menyerap aspirasi masyarakat mengenai amandemen tersebut. Kami ingin kalibrasi atau meluruskan kiblat bangsa, sehingga tepat,” kata Tamsil Linrung. (MD/M.Anwar Ibrahim-Job).