Fanatisme Relawan Makin Berbahaya, Kekuatan Oligarki Jadi Pemicunya
Jakarta, FNN - Jika kita mengamati dinamika politik kita, terutama dari sisi para pendukung calon presiden, selalu menarik untuk dibicarakan. Dalam sebuah forum, misalnya, Rocky Gerung pernah “dihujat” oleh pendukung Anies Baswedan karena beliau menyebutkan bahwa yang paling cocok jadi wapresnya Anies adalah LBP. Bukan hanya pendukung Anies yang marah, tapi banyak sekali orang yang marah kepada Rocky. “Saya mengamati banyak sekali orang yang sebenarnya tidak menyimak gagasan Rocky, tapi kemudian mendapat potongan-potongan video dan mereka langsung marah ketika Rocky dianggap menyerang calon presiden mereka. Sebaliknya, mereka lupa ketika Rocky Gerung meng-endorse calon presidennya,” ujar Hersubeno Arif, wartawan senior FNN dalam Kanal Youtube Rocky Gerung Official edisi Kamis (01/12/22). Oleh karena itu pula, fenomena menarik tentang fanatisme relawan ini dibahasnya bersama Rocky Gerung.
Menanggapi hal tersbut, Rocky Gerung mengatakan, “Ya, fanatisme itu bagian dari antropologi kita yang sering saya terangkan bahwa Indonesia atau bangsa ini hidup dengan antropologi keyakinan. Jadi nggak bisa dipisahkan antara kemampuan untuk mengukur potensi seseorang dan dorongan emosi supaya dia jadi, padahal itu dua hal yang berbeda.” Menurut Rocky, dalam keadaan sekarang, orang menganggap bahwa tidak penting lagi siapa Anies, yang penting ketahuan bahwa Pak Jokowi buruk. Begitu kira-kira. Jadi, kalau kita ingatkan bahaya itu, orang akan bilang bahwa kalian pro- Jokowi dan anti- Anis. Secara tidak terucap, kalau kita kritik Anies, lalu mereka anggap bahwa kita pro- Jokowi. Ini bahayanya.
“Padahal, kita mau tuntun bangsa ini untuk memulihkan akal sehat, supaya tidak terjadi seperti 2019. Semua bergerombol di sekitar Prabowo, lalu Prabowo pergi ke kekuasaan marah semua,” lanjut Rocky. Menurut Rocky, semua menjadi tidak lengkap atau tidak jelas proposisinya kalau orang tidak eksplisitkan. Jadi fanatisme seperti ini yang bahaya. Kalau soal kita mau pastikan bahwa ada seseorang yang harus dihasilkan dari diskusi yang bersih, jangan fanatik. Jadi, jangan anggap bahwa Anies itu sudah pasti jadi presiden. Sebetulnya tidak ada soal jika ada anggapan itu, tapi justru FNN mau memberi tahu kalau bahwa Anies jadi presiden dan gagal untuk memenuhi kriteria yang dibuat publik, justru berbahaya, karena kita bisa frustrasi lagi. Anies pasti akan memenuhi keinginan Nasdem, tapi belum tentu keinginan Nasdem sama dengan keinginan rakyat.
“Jadi, kita wanti-wanti justru supaya Anies mendengarkan relawan, jangan mendengarkan partai politik. Nah, kalau kita bilang begitu nanti orang marah, padahal kita lagi mau menyelamatkan Anies sebetulnya,” ungkap Rocky. Jadi, menurut Rocky, belum sempurna cara kita berpolitik dan Pak Jokowi gagal untuk membuat politik jadi rasional. Karena Jokowi sendiri yang membiasakan memelihara relawan, memelihara buzzer, dan berlaku sebagai patron yang menganggap bahwa yang dia tunjuk itu yang harus jadi presiden. “Jadi, satu keadaan di bangsa kita bahwa fanatisme itu masih sangat kuat dan fanatisme berbahaya,” tegasnya.
Dalam demokrasi, kata Rocky, menjadi fanatik tidak ada gunanya. Sebab anything goes possibilities, dimungkinkan dari awal kita periksa. Kita tidak bisa mengatakan bahwa Anies sudah bersih padahal kita tidak periksa sama sekali apakah Anies mampu untuk mengucapkan sesuatu atau memimpin dengan kemampuan dia sendiri, atau dia akhirnya tergadai juga pada kekuatan oligarki. Jadi harus waspada dari awal, bukan fanatis dari awal.(sof)