Ngeri, Provokasi pada Jokowi untuk Melawan Rakyat Sendiri, Copot Kepala BP2MI!
Jakarta, FNN - Saat ini, video dari Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia BP2MI viral di dunia maya. Video itu berisi perbincangan antara Benny Rhamdani ketika bertemu dengan Presiden Jokowi di GBK dalam acara Nusantara Bersatu Sabtu, 26 November lalu. Video tersebut banyak diunggah di media sosial, dan salah satunya diunggah di akun Twitter Andi Sinulingga. Andi Sinulingga adalah aktivis Kolaborasi Warga Jakarta. Untuk membahas hal ini lebih jauh, Hersubeno Point edisi Selasa (29/11/22) menghadirkan Andi Sinulingga.
Apakah negara dalam kondisi darurat? “Ya, kalau terus seperti yang terjadi di GBK, menurut saya rekonstruksi mereka bahwa keadaan ini darurat. Jadi, yang di elit ini merekonstruksi seolah-olah Indonesia ini mau hancur,” ujar Andi Sinulingga.
Jadi, menurut Sinulingga, direkonstruksi seolah-olah yang mengkritisi pemerintah, misalnya kasus PSSI – Kanjuruhan, soal penanganan gempa Cianjur, dan sebagainya. Padahal, yang namanya civilian society itu sudah pasti cerewet, di manapun. Makanya dalam civil sosiety ada yang namanya Watchdog, media yang membuat para pejabat itu memang tidak boleh hidup tenang, harus kerja. Lihat saja bagaimana mereka melakukan hal yang sama terhadap Anies Baswedan, tapi bedanya circlenya Anies tidak membangun framing bahwa seolah-olah Jakarta itu darurat.
Menurut Sinulingga, orang mengkritik itu banyak modelnya, dari mulai yang paling santun sampai yang paling kasar. Tapi, apapun itu, semua adalah kritik yang dialamatkan kepada pemerintah. Tapi kalau persoalan di tengah-tengah masyarakat itu, menurutnya, sederhana: pangan terjangkau, daya beli masyarakat cukup kuat menggapai harga-harga, lapangan pekerjaan itu mudah diakses, layanan kesehatan, pendidikan yang baik untuk anak-anak, keamanan di jalan-jalan, dan orang hidup aman. Ini sebenarnya basic-nya publik. Tetapi, coba diperhatikan apa yang disajikan oleh elit: negara ini mau hancurlah, ada kelompok-kelompok intoleranlah, ada khilafahlah, ada kelompok yang tidak NKRI-lah, suatu hal yang semuanya debatable, yang sangat ilusif, sementara yang dibutuhkan riil.
Mereka tidak bisa masuk ke yang riil sehingga dibangunlah framing-praming yang menyesatkan. “Biasanya orang-orang yang kayak begini terjadi pada perilaku-perilaku sindrom megalomania. Orang-orang yang megalomania itu merasa paling kuasa, merasa hebat, takut kehilangan kekuasaan, dan suka sekali mendeskripsikan sesuatu yang sebenarnya tidak begitu,” ujarnya. Kalau kita tidak mau menggunakan istilah ‘bohong’, jadi menggambarkan sebuah ketakutan di tengah-tengah masyarakat bahwa seolah-olah hanya dialah yang bisa mengawal negeri ini dan kalau ikut dia negeri ini aman. Semacam membangun politik-politik ketakutan terus-menerus yang sebenarnya problem dasarnya tidak seperti itu.
“Saya melihat gejala ke arah sana itu sudah tampak bahwa ini seolah-olah mau dibikin pertempuran. Jadi pertempuran itu pertempuran pro- dan kontra-. Ini dibikin semacam colosseum, masing-masing punya gladiator dan kemudian tepuk tangan, sehingga kerja-kerja pemerintah yang harusnya lebih konkret itu tidak lagi dilihat oleh masyarakat,” tandas Sinulingga. Kalau sudah terbelah seperti ini, biasanya kelompok-kelompok rasional itu yang di tengah dan jumlahnya sedikit.
Menurut Sinulingga, kalau kita lihat, semua hasil survei dari mulai trend di DKI itu pro- dan kontra- itu, itu yang di tengah itu paling 15 - 20%. Jadi, kelompok-kelompok rasional, yang well educated, tidak berani bersikap, karena takut dianggap ada kecenderungan dalam bersikap. Jadi akhirnya mereka tidak mau hidup dalam pro- dan kontra- itu sehingga mereka diam. Akhirnya, yang mendominasi adalah kutub-kutub yang sebenarnya tidak menjawab kehidupan bermasyarakat kita. Ini biasanya dirawat oleh kekuasaan. “Menurut saya, pertemuan di GBK itu murni pertunjukan politik, bukan kepentingan negara. Tidak ada kepentingan negara di situ, murni kepentingan politik, pertunjukan politik, untuk mempertahankan eksistensi Pak Jokowi. Tentu kalau Pak Jokowi selamat yang di belakang-belakangnya juga selamat. Budaya politik begini menurutnya, tidak boleh dibiarkan. Harus direm, harus diingatkan,” tegasnya.
Secara umum, video tersebut berisi provokasi terhadap Pak Jokowi untuk memerangi rakyatnya sendiri. Atau pilihannya, jika Pak Jokowi tidak membiarkan kita bertempur di lapangan, Pak Jokowi harus menggunakan instrumen hukumnya untuk menindak secara tegas. Pak Jokowi meresponsnya dengan “dikencengin ya”. Apa tafsiran ada terhadap video itu? “Arogan. Arogansi yang muncul dari kekhawatiran bahwa pasca Pak Jokowi, kalau yang mereka persepsikan lawan-lawan politik itu dibiarkan terus membesar, kemudian menjadi pemenang Pilpres, ini sudah pasti dihantui dengan perasaan tidak enak, post power syndrome,” jawabnya. (ida)