Papua Terancam Merdeka, TNI Berguguran, Presiden Diminta Berlakukan UU TNI

Jakarta, FNN - Analis politik senior Dr.Rahman Sabon Nama (RSN) mengingatkan pemerintahan Joko Widodo bahwa  situasi keamanan di Papua semakin mencekam, prajurit TNI semakin banyak gugur akibat gempuran KKB. Kini jaminan keamanan rakyat menjadi langka dan kedaulatan negara terancam.

Rahman mengingatkan pada pemerintah bahwa   penyandaraan Pilot Susi Air Mr.Philip Mark Merthenz dijadikan sebagai instrumen dan.komoditas politik oleh gembong KKB Egianus Kagoya untuk mendapatkan dukungan politik Internasional atas kemerdekaan Papua. 

Dari laporan yang diketahinya bahwa paska penyandraan Pilot Susi Air  kelompok separatis KKB pada 15 April 2023 kembali melakukan penyandaraan pada  masyarakt di distrik Mugi dan Distrik Paru dengan ancaman di bawah todongan senjata dengan tuntutan untuk melakukan Referendum  jejak pendapat  rakyat oleh gembong teroris separatis KKB  Egianus  Kagoya.

Menyikapi situasi terbaru di Papua tersebut  alumnus Lemhanas RI yang juga menjabat Ketua Umum Partai Daulat Kerajaan Nusantara (PDKN,)  mendesak Presiden Joko Widodo selaku Panglima Tertinggi TNI/Polri  untuk bersikap tegas agar operasi penegakan hukum  oleh polisi diganti dengan operasi militer untuk melindungi rakyat dan menjaga keutuhan wilayah kedaulatan RI.

Rahman menegaskan sebagai payung hukum untuk melakukan operasi militer maka  perlu segera  ada keputusan politik antara pemerintah,/presiden dan DPR untuk memberlakukan UU TNI No.34 tahun 2004.

Terkait tuntutan Refetendum Rahman  meminta pemerintah untuk tidak memberikan toleransi apapun  oleh karena itu  Menkopolhukam Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan dan Panglima TNI untuk melakukan pencegahan dari dukungan internasional atas tuntutan  Referendum dengan memberikan penjelasan pada seluruh kedutaan besar Indonesia di seluruh dunia untuk lakukan sosialisasi bahwa Referendum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA)  Papua (Act of Free Choice) sudah dilakukan lewat Resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa PBB  No.2504.

Bahwa Penentuan Pendapat Rakyat Papua  PEPERA sudah dilaksanakan sesuai dengan Amanat New York Agreement yang mengamanatkan agar pelaksanaan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua harus dilaksanakan  sebelum tahun 1969.

Maka pada tgl 22 Agustus 1968 Sekjen PBB mengutus seorang wakilnya yaitu Dr.Fernando Ortiz Sans  asak Bolivia datang ke Papua /Irian Barat untuk merealisasikan apa yang tertuang dalam pasal XX New York Agreement yaitu pelaksanaan PEPERA. 

Ketika pelaksanaan dilakukan  PEPERA / jejak pendapat penentuan nasib sendiri penduduk Irian Barat/Papua  diperkirakan jumlah penduduk Paoua  800.000 jiwa, maka setiap 750 jiwa memiliki satu wakil dalam Dewan Musyawarah PEPERA di 8 kabupaten.

Pada 24 July 1969 kabupaten Marauke ditunjuk menjadi tempat pertama pelaksanaan PEPERA dan berakhir di Kabupaten Jayapura pada 2 Agustus 1969.

Rincian pelaksanaan diselenggarakan  PEPERA  adalah  Kab.Wamena dan Jayawijaya 16 Juli 1969, Kabupaten Nabire dan Paniai 19 July 1969, Kabupaten Fak-Fak 29 Juli 1969, Kabupaten Sorong 26 Juli 1969, Kabupaten Manokwari  29 July 1969 dan Biak, Kabupaten Teluk Cendrawasih 31 July 1969.

Rahman menegaskan bahwa menurut informasi langsung dari Papua bahwa masyarakat distrik Mugi, dan sebagian dari distrik Paru, dan kampung - kampung sekitarnya, dimobilisasi dengan ancaman todongan senjata untuk menyerang 36 pasukan prajurit TNI dari Kostrad dan Kopasus yang ditempatkan di pos keamanan distrik Mugi.

Rahman minta Menkopolhukam, Menteri Pertahanan dan Panglima TNI segera melakukan kordinasi untuk menyelamatkan  masyarakat sipil Mugi dan sekitarnya, terutama perempuan dan anak-anak  dikerahkan bergerak dari berbagai sisi untuk menyerang aparat keamanan .

Menurut catatan bahwa perkiraan  masyarakat sipil yang tertembek sudah mencapai kebih kurang angka 500 - 1000 jiwa, apabila  ada ratusan /ribuan masyarakat sipil dijadikan tameng KKB dikwatirkan akan tertembak oleh aparat TNI.

Rahman meminta agar pemerintah segera mencegah keterlibatan negara asing yaitu China Tiongkok, Kanada , Selandia Baru, Australia, Inggris, Israel dan  Amerika Serikat, yang selalu memainkan  isu Papua di Pasifik, dengan mendesak Dewan Keamanan PBB untuk menegakkan prinsip hukum internasional Responsibility to Protect, dalam bentuk intervensi kemanusian di Papua jelas pria asal pulau Adonara NTT itu. (sof)

896

Related Post