PROFIL

Rumah Asri Filsuf Rocky Gerung Mau Digusur Sentul City

Terkait kasus rumahnya, Roger mengaku siap melawan mereka yang berlaku sewenang-wenang. Sudah terlalu lama persoalan tanah menjadi masalah bangsa ini. Ancaman untuk menggusur dari pihak Sentul City terlihat jelas dengan adanya beberapa eksavator yang sedang membersihkan lahan yang tidak jauh dari kediaman sang pengamat kehidupan itu. Oleh Nina Bahri Bogor FNN - Aktivis yang juga pengamat politik kenamaan, Rocky Gerung dibuat meradang. Betapa tidak, rumahnya di daerah Bojong Koneng Sentul, Kabupatan Bogor yang dibeli dan ditempatinya sejak 2009 silam kini terancam kena gusur. Yang mau menggusur adalah PT Sentul City Tbk. Tak hanya Rocky, sebanyak 60 Kepala Keluarga (KK) di wilayah ini juga sontak kaget karena bakalan menghadapi ancaman yang sama. Kasusnya bermula dari somasi yang dilayangkan PT Sentul City. Jika Rocky dan puluhan KK di wilayah yang diklaim menempati lahan pengembang tersebut. Tak urung, akibat somasi tersebut, kasusnya pun menjadi topik hangat di media nasional menyusul protes yang dilontarkan Rocky bersama warga Bojong Koneng. Rocky sendiri menempati areal tak lebih sekitar 800 meter persegi, yang pada awalnya banyak orang tak berminat menempatinya lokasi itu karena dekat, bahkan sangat jurang dan gersang, karena masih berupa tanah kosong. Tingkat kecuramannya pun mendekati 60 derajat. Namun, dengan penataan yang apik, bak seorang arsitek, Rocky yang dibantu asistennya berhasil menata dan menjadikan tempat tinggalnya terlihat asri, nyaman serta aman. Daerah yang curampun nyaris tak terlihat. Karena kondisi itu pula, bangunan rumahnya dibuat tak terlalu besar, alias sangat minimalis dan bergaya retro. Tak kurang dari lima tahun Rocky dan asistennya itu melakukan penataan sana-sini, hingga benar-benar menjadi asri, indah dan rimbun pohon-pohonnya. Lebih seribu pohon yang telah ditanam sang filsuf. Ada lebih dari 300 jenis bunga pun tumbuh subur di lahan tersebut. Sebut saja bunga aglonema yang lagi trend, aneka krisan, caladium, mawar, suplir terlihat cantik di pinggir undakan jalan menuju rumah dosen Universitas Indonesia itu. Bunga-bunga nan cantik itu dibeli Oyan, sang asisten. Uangnya tentu saja dari sang majikan. Oyan bertugas membeli sejumlah kebutuhan atas selera pilihannya. Dan Rocky yang menatanya. Di sudut lainnya terlihat banyak pohon Cemara yang sudah tumbuh tinggi dan kokoh. Beberapa tanaman buah seperti jeruk, lengkeng pun nampak menghiasi areal sekitar rumahnya. Setelah 10 meter sebelum menuju rumahnya, kita mesti melewati tiga undakan tangga ke bawah terlihat sebuah saung beratap rumbia. Isinya dipenuhi buku dan poster Marthin Luther King, pejuang HAM (Ham Azasi Manusia) dari Amerika Serikat. Bagi Rocky, tokoh-tokoh pejuang HAM adalah idolanya. Ada dua saung dibangun untuk para tamu yang ingin menikmati alam sekitar rumah. Bukan hanya mengoleksi ribuan buku tentang HAM, lingkungan hidup, agama serta koleksi buku tentang perempuan. Tetapi, koleksi tenun dan benda-benda antik dari berbagai daerah juga diatur dengan apik di berbagai sudut dan meja. Membaca suatu kewajiban baginya. Alquran yang berisi 114 surah dan 6.666 ayat pun tidak luput dipelajari sang filsuf. Beberapa surah yang penting di Alquran bersampul kuning itu diberi catatan stabilo. Makanya, jangan heran sang filsuf bisa bicara sambil menyebutkan dalilnya dari hukum, politik, sosial, budaya hingga agama dengan sangat lancar. Sambil memegang tafsir Alquran Rocky berkata, “Saya membaca banyak. Baca Quran, Bible, Weda dan segala macam. Di dalamnya saya temukan ada satu dimensi yang tersembunyi, yaitu kalau kita bisa gali keadilan. Kita paham tentang alam semesta. Kita juga paham ketaklukan manusia kepada yang Maha Kuasa,” ujarnya. Semua segi kehidupan bisa diulas tanpa berpikir lama. Untuk orang seperti itu, disebut kamus berjalan. Lukisan tentang perempuan dengan keindahan nampak memenuhi beberapa sudut sang pengamat politik itu. Buat Rocky wanita adalah makhluk terindah. Indah dan tidak wajib untuk dimiliki. Mungkin ada yang khusus tentang wanita di benak sang dosen, sehingga hingga kini masih betah melajang. Selain lukisan, di teras rumah sang kritikus ini juga dipenuhi aneka belasan koleksi bunga, terutama bunga Angrek. Padahal, bunga anggrek termasuk tanaman yang sulit untuk dipelihara. Tetapi bisa hidup dengan cantik berkat tangan dingin Rocky yang lebih sering dipanggil Roger. Selain bunga, ada yang unik yakni di beberapa sudut rumah Rocky, yaitu digantung pisang setandan. Pisang yang khas, jika ada hajatan di daerah Bogor dan sekitarnya. Pisang itu menurut tuan rumah, untuk makanan monyet yang sekarang kesulitan mencari makan akibat di sekitarnya telah banyak menjadi rumah. "Sebagai pencinta lingkungan, saya memang membuat lahan ini bukan hanya bisa dinikmati saya sendiri. Tetapi juga makhluk Tuhan lainnya" kata dosen terbang di berbagai universitas ini. Monyet yang sering muncul pagi hari itu telah lama menjadi tamu tak diundang. Selain monyet, kelelawar pun banyak berterbangan di kala subuh. Begitu juga lebah yang puas menikmati putik sari di ratusan bunga di sekitar rumahnya. Beberapa pohon yang telah mati pun tetap indah di mata Roger dengan tetap dibiarkan berdiri dan indah oleh tanaman merambat. Sang asisten Oyan mengaku majikannya merupakan pria yang simpel. Hari-harinya kalau di rumah, selain membaca dan mengurus tanamannya kesenangan, Rocky rutin mengurus tanaman jika tidak pergi ke luar untuk mengajar atau memenuhi undangan. Terkait kasus rumahnya, Roger mengaku siap melawan mereka yang berlaku sewenang-wenang. Sudah terlalu lama persoalan tanah menjadi masalah bangsa ini. Ancaman untuk menggusur dari pihak Sentul City terlihat jelas dengan adanya beberapa eksavator yang sedang membersihkan lahan yang tidak jauh dari kediaman sang pengamat kehidupan itu. Ancaman dari pengembang membuat Rocky sekarang banjir dukungan. Bukan hanya dari masyarakat. Tetapi berbagai lembaga baik aktifis Lingkungan hidup, hingga aktifis kemanusian turut menyambangi rumah pria berasal dari Manado, Sulawesi Utara itu. Beberapa tokoh politik dan Hak Asasi Manusia (HAK) datang ke rumah Rocky Gerung, Rabu sore 15 September 2021 kemarin. Di antaranya mantan Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM Prof. Dr. Hafis Abbas, mantan Menteri Sosial Bachtiar Hamzah, Anggota Dewan Pertimbangan Daerah (DPD) Tamsil Linrung, mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dr. Muhammad Said Didu yang biasa disapa dengan sebutan “Mosad”, tokoh perburuhan Dr. Syahganda Nainggolan, pengacara dan politisi Dr. Ahmad Yani, Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedillah Badrun, mantan Juru Bicara Presiden Gus Dur Adhi Massardi. Dari kalangan wartawan, datang Pemimpin Redaksi Forum News Network (FNN) Mangarahon Dongoran, Ketua Sidang Redaksi Majalah FORUM Keadilan Tony Hasyim dan sejumlah wartawan senior, diantaranya Tjahja Gunawan, Edy Mulyadi, Hersubeno Arief, Rahmi Aries Nova, Selamat Ginting, Sri Widodo Soetadjowijono dan Kisman Latumakulita . Hafis Abbas menyatakan saat menjabat Ketua Komnas HAM, dari puluhan ribu aduan yang masuk, sekitar 90 persen pengaduan masyarakat terkait kasus-kasus tanah. Komnas HAM memiliki data jika 50 juta hektar tanah dimiliki hanya segelintir orang. Upaya penggusuran menjadi alternatif walau tidak sesuai hukum. Penggusuran itu yang sangat disesali. Hafis menegaskan, dalam piagam PBB penggusuran termasuk pelanggaran HAM berat. Dan harusnya para pelaku bisa dituntut. Berkaitan dengan itu, pihak Sentul City bisa saja diduga melakukan pelanggaran HAM berat terkait rencana penggusuran terhadap Rocky Gerung dan 60 KK masyarakat Bojong Koneng, Kabupaten Bogor. Mengutip dari laman Detik.com, PT Sentul City Tbk. menuding bahwa Rocky Gerung membeli dari mantan terpidana kasus pemalsuan surat. Pengembang ini menyatakan terbitnya sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 2411 dan 2412 oleh BPN Kabupaten Bogor melalui proses yang legal. Selain penyuka seni, sikap tegas menjadi ciri khas dari Rocky Gerung. Sehingga, jika datang tanpa janji lebih dulu, termasuk media asing semisal Al-Jazeera, Rocky tidak segan-segan menolak mereka. Penulis adalah Wartawan Senior FNN. co.id.

Anggota DPR RI Termuda Percha Leanpuri Meninggal Dunia

Jakarta, FNN - Anggota DPR RI Komisi IX fraksi Nasdem Percha Leanpuri yang juga anak Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengalami kondisi yang tak stabil usai melahirkan, sebelum diumumkan meninggal dunia Kamis (19/8). Mendiang diketahui sempat terpapar Covid-19 dan dirawat hingga pulih serta dinyatakan negatif sebelum melahirkan anak kembar di RSUP Dr Mohammad Hosein Palembang. Namun setelah melahirkan secara operasi caesar, kondisi Percha tak menentu. "Setelah melahirkan kondisinya naik-turun, kadang stabil kadang tidak stabil. Sempat kritis beberapa hari hingga akhirnya Allah berkehendak lain," ujar Pelaksana Harian Sekretaris Daerah Sumatera Selatan, Akhmad Najib, dikutip CNN Indonesia, Kamis (19/8). Wakil Sekretaris Fraksi Partai Nasdem DPR RI Charles Meikyansah menyampaikan Percha Leanpuri menginggal dalam usia 35 tahun sekitar pukul 17.45 WIB di Sumatera Selatan, 10 hari pasca-melahirkan anak kembar. "Almarhumah meninggal dunia 10 hari setelah melahirkan dua anak kembarnya. Dari informasi yang kami terima, beliau menjalani operasi caesar pada 9 Agustus lalu," ungkap Charles dalam keterangannya, Kamis (19/8/2021) malam. Kabag Humas Pemprov Sumsel Septriandi Setia Permana, sempat mengabarkan kondisi Percha sempat membaik. Hj Percha Leanpuri, B.Bus.,MBA, lahir di Belitang, OKU Timur pada 24 Juni 1986. Percha adalah Anggota DPR RI termuda dari Fraksi Partai Nasdem Dapil Sumatera Selatan II. Ia pula merupakan Duta Literasi Sumatera Selatan sejak 2018 lalu. Almarhumah adalah lulusan Victoria University dan University Of Ballarat Malaysia. Dia dikenal berprestasi termasuk di bidang seni dan modeling. Almarhumah pernah menjadi The best catwalk supermodel YAPMI Sumsel di 2001 dan pernah mewakili Indonesia sebagai penari di Floriade 2001, Amsterdam, Belanda. Pada 2009-2014 lalu, Percha tercatat sebagai Anggota DPD RI. Suaminya bernama Syamsudin Isaac Suryamanggala. Sebelum meninggal ia baru saja melahirkan anak kembar pada 9 Agustus 2021 melalui operasi caesar. Dikutip dari Tribunnews.com, arti nama Percha Leanpuri dari sang ayah Herman Deru. Percha Leanpuri adalah beberapa akronim. "Itu kan artinya Percha (Percampuran), sedangkan Leanpuri (Lematang, Ogan, Way Umpu, dan Komering)," jelasnya. Mencirikan Sumatera bagian Selatan. Jadi kalau orang tua saya dan saya pun selalu bikin nama anak begitu yang mengingatkan sesuatu," ujar Herman Deru yang lahir di Belitang, Ogan Komering Ulu Timur, 17 November 1967. Keseharian Percha Leanpuri juga ditunjuk sebagai Duta Literasi Sumsel. Duta Literasi Sumsel, menurut Percha saat ini memang harus keterampilan dalam menyikapi perkembangan dunia digital dengan dibarengi untuk gemar membaca dan menulis. "Dengan perkembangan media sosial sekarang ini, sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang positif. Sehingga tidak melanggar etika dan budaya sehingga bisa bersifat positif. Dengan kemajuan dunia digital juga, bisa dimanfaatkan untuk tetap membaca maupun menulis," ungkapnya. Percha Leanpuri terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Persatuan Boling Indonesia (PBI) periode 2019-2023 dalam Musyawarah Nasional 2018 di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan, Jumat (7/12/2018). Percha mendapat 10 suara dari 16 perwakilan pengurus provinsi (pengprov). Sebelumnya, ada tiga calon yang bersaing dalam Ketua PBI 2019-2023. Dua lainnya yaitu, Hermawan Irawan dan David Purnomo. Percha pun jadi wanita pertama yang memimpin PBI. "Terima kasih atas dukungan rekan-rekan Pengprov di Tanah Air. Juga untuk media yang selama ini aktif memberitakan boling," kata Percha dalam sambutannya. "Saya punya visi dan misi yang akan dijalankan bersama pengurus lainnya. Pertama, demi menjadikan boling Indonesia semakin berprestasi. Sekaligus, digemari masyarakat," ungkapnya. Selain itu, Percha bakal menyelenggarakan pembinaan atlet yang berkualitas, berjenjang dan terintegrasi. Juga, meningkatkan prestasi atlet dengan pendekatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek). Percha juga menegaskan untuk boling sebagai olahraga yang mampu meraih prestasi dalam setiap kejuaraan lntemasional. Salah satunya, dengan mengajukan sebagai tuan rumah AMF Bowling World Cup 2019. "Kami akan mendorong pembangunan Bowling Center di setiap provinsi. Melakukan konsolidasi pengrov PBI dalam rangka penambahan penguatan dan Kemandirian," ungkapnya "Juga menyosilisasikan olahraga boling ke media cetak online dan elektronik," tutur Percha. Percha memimpin induk organisasi boling di Tanah Air mendapat sambutan hangat banyak pihak.Termasuk, Wakil Ketua Pengprov PBI Sumsel Nirmala Dewi. "Menurut kami, Percha merupakan sosok yang tepat. Beliau masih muda, energik, berkomitmen, dan memiliki inisiatif," jelas Nirmala. Meski berasal dari Sumsel, Percha bakal fair kepada pengprov lainnya. Baik itu yang ada di pulau Jawa dan lainnya. Percha bakal merangkul semua pihak. Termasuk, generasi milenial yang bersama PBI memajukan boling Indonesia. Ada kisah di balik kehamilan Percha Leanpuri. Beberapa waktu lalu, Percha pernah bercerita kepada Tribun Sumsel terkait kehamilan keduanya itu. "Allah menggerakan hati Percha dan suami melalui Danis," kata Percha saat diwawancarai secara khusus oleh tim Tribun Sumsel di Griya Agung beberapa waktu lalu. Percha yang didampingi sang suami Syamsuddin Isaac Suryamanggala, Sp.OG atau yang sering disapa Koko mengatakan, jaraknya dengan Muhammad Mandala Sultan Persya, dengan nama panggilan Danis, 7 tahun. "Sebenarnya sudah dari akhir tahun lalu, Danis mintak adek. Danis tiba-tiba mintaknya, karena selama ini nggak pernah pengen adek," ceritanya. Ia pun melanjutkan, selama ini Percha dan suami juga nggak kepikiran untuk menambah lagi. Sebab sudah banyak kesibukan yang dijalani. Alhamdulillah juga udah punya Danis. Ternyata Allah punya rencana lain, Allah menggerakan hati Percha dan suami melalui Danis. Dimana dalam perjalanan suatu ketika saat di Kapal dari Jakarta ke Palembang Danis sambil tiduran di paha saya bilang, mami kapan diperutnya mami ada adek. Lalu pernah juga waktu di jalan mau ke Danau Shuji, mami tahun berapa Danis bakal punya adek? "Sampai bilang begitu, jadi sampai saya meneteskan air mata pada saat itu. Ternyata saya dan suami saja belum ada kepikiran itu, tapi Danis yang baru umur 7 tahun uda berpikir kesitu," katanya. Dari situ akhirnya tergeraklah hati Percha dan Koko untuk program. Ia pun mulai makan, makanan yang sehat-sehat. "Kalau sebelumnya kan asal comot aja kalau lapar, tapi kini makannya yang sehat-sehat. Tapi ini sekaligus melatih diri sendiri," ungkapnya. Menurutnya, ia serius untuk program kehamilan sejak tahun 2021. Alhamdulillah langsung dilancarkan oleh Allah. Sekali menjalankan program langsung jadi dan kembar. "Awalnya sempat shock, karena ada salah satu calon baby nya itu yang kata dokter, ya udahlah nggak usah diharapkannya yang satunya. Yang penting uda jadi yang satu ya, uda digituin," katanya. Tetapi ia tidak putus asa, dan terus berdoa meminta pada Allah supaya dua-duanya jadi. Alhamdulillah ternyata yang tadinya kecil jadi nyusul jadi besar. "Alhamdulillah kondisinya baik-baik saja dan sehat. Waktu USG di 16 Minggu uda kelihatan jenis kelaminnya cowok dan cewek," katanya. Menurut Percha ia memang uda biasa membaca Al-Qur'an. Apapun yang terjadi didalam tubuh ini dari Allah, maka ketika dikasih titipan lagi dalam perut ini semakin bertambah bersyukur dan ingin dekat dengan Allah. Saat hamil Danis hatam lima kali Al-Qur'an, dan harapannya saat hamil ini juga bisa seperti itu. Semoga sempat lebih dari itu. Sebelum Ramadan tadi uda khatam satu kali dan ini sedang berjalan hampir setengah. (Dari berbagai sumber).

Arief Munandar, Intelektual Profetik Telah Berpulang

Oleh Ubedilah Badrun Bang Arief, sapaan akrab Arief Munandar telah berpulang, meninggalkan kehidupan fana ini menuju alam keabadian.Alam dimana setiap individu akan menjumpai, ujung perjalanan sesungguhnya. Terhenyak hati ini, berduka mendalam.Berjam-jam saya terdiam dalam perjalanan, ini berita duka kesekian kalinya dalam sepekan menerpa orang-orang terdekat dalam perjalanan intelektual dan spiritual saya. Ya, saya kehilangan kawan berdiskusi yang menyenangkan dan selalu mengajukan pertanyaan yang membuat nalar bekerja optimal. Tiga pekan lalu handphone berdering, "Kang, ngobrol lagi yuuk untuk Bang Arief Chanel?" Suara renyah bang Arief terdengar dari ujung telfon. "Tentang apa Bang Arief?" tanyaku. " Tentang pernyataan Kang Ubed "jawabnya. " yang mana ya?" tanyaku lagi. "Itu kang, tentang yang Akang bilang Kaum Intelektual Dicuekin Jokowi, Indonesia Dalam Bahaya" Jawab Bang Arief. " Oh, oke Siip Bang Arief". Saya akhirnya menyetujui tapi dengan syarat online. Bang Arief setuju meski ia berharap saya datang di studio podcast nya di Depok seperti biasanya. Ketajaman Bang Arief mengambil tema untuk podcast ini luar biasa, hanya dalam hitungan jam puluhan ribu orang telah menonton diskusi renyah namun tajam itu. Bahkan kini sudah ditonton lebih dari 66 ribu kali. Ya, ketajaman pada cara mengambil isu dan kedalaman pertanyaan untuk menggali nalar otentik lawan bicaranya berhasil Bang Arief lakukan. Keterampilan itu hanya mungkin dimiliki oleh seseorang yang oleh Bung Hatta disebut sebagai kaum intelegensia, kaum intelektual. Tidak Sekedar Intelektual Organik Ya, Bang Arief bukan sekedar youtuber, bukan sekedar jurnalis. Ia seorang intelektual. Respon yang tinggi pada persoalan masyarakat luas (tanggungjawab sosial) kata Bung Hatta adalah ciri kaum intelegensia (1957). Saya mengetahui nama Bang Arief sudah lama, tetapi mulai mengenalnya lebih dekat sekitar 8 tahun lalu saat sering bertemu di sebuah forum cendekiawan mendiskusikan berbagai soal tentang kebangsaan. Dari pertemuan berkali kali tak terhitung itu Bang Arief makin terlihat sebagai sosok yang sangat kritis namun selalu disertai argumen kokoh, data-data yang valid dan berani bersuara lantang. Ia bukan seorang terpelajar yang oleh Noam Chomsky dalam bukunya Who Rules The World (2016) disebut sebagai teknokratif yang sangat administratif dan diam seribu bahasa terhadap ketidakadilan dan penindasan. Suatu malam sekitar satu tahun lalu lebih Bang Arief telfon saya "Kang Ubed, moga sehat selalu kang. Mau konsul nih Kang?" tanyanya renyah. "Alhamdulillah sehat Bang Arief, ada apa nih kok konsul?" "Begini kang, ada orang tua mahasiswa binaan saya namanya pak Kisman ngajak bergabung di FNN (Forum News Network), bagaimana nih Kang?" tanyanya. Saya jawab dengan tertawa kecil dan sambil senyum "Hehe saya di FNN juga Bang Arief sudah sekitar 4 bulan sering meeting bersama, ini media perjuangan" jawab saya. "Hah? Serius kang? Kalau begitu saya terima tawaran ini karena media perjuangan, bersama kang Ubed, bismillah" demikian tutup Bang Arief. Begitulah intelektual organik, ia tidak tinggal diam, begitu cepat responnya pada perjuangan. Apalagi melihat ketidakadilan. Dengan kesadaran dan pengetahuannya mengambil langkah untuk membangkitkan kesadaran kritis. Dengan kesadaran dan sumber-sumber kekuatan yang dimiliki, baik itu pengetahuan maupun basis massa, mengambil langkah untuk membangkitkan kesadaran masyarakat (Antonio Gramsci,1891-1937). Bahkan dalam terminologi agama, lebih dari intelektual organik karena ada misi profetik dalam diri Bang Arief, ia layak diposisikan sebagai Ulul Albab, intelektual profetik. Ia tidak sekedar membangun kesadaran tetapi juga menyiapkan generasi yang peduli pada persoalan bangsa dan ummat, bahkan peradaban. Hal itu terlihat melalui Shafa Community yang ia inisiasi, komunitas sosial-keagamaan yang fokus mengembangkan SDM pemuda yang tangguh, cerdas dan profesional melalui berbagai aktivitas pemberdayaan. Salah satunya, Program Beasiswa Rumah Peradaban, beasiswa kepemimpinan yang didedikasikan untuk melejitkan potensi mahasiswa-mahasiswa terbaik dari Universitas Indonesia. Bang Arief adalah Doktor Sosiologi, dengan spesialisasi sosiologi politik dan sosiologi organisasi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) yang diakhir perjalananya memilih jalan bersuara lantang tentang kebenaran melalui Chanel youtube Bang Arief dalam rumah media Forum News Network (FNN). Intelektual yang tidak hanya bertengger dipunggung gelarnya, tetapi ia sangat organik dan profetik. Ubedilah Badrun sahabat Bang Arief, Analis Sosial Politii UNJ.

Dr Arief Moenandar, Pejuang Lawan Kezaliman Yang Ikut Gugur

By Asyari Usman Medan, FNN - Wawancaranya dengan mantan panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo (GN), membuat sejumlah media mainstream merasa kecolongan. Mereka pun memburu Pak GN. Untuk diwawancara. Kenapa? Karena ada pernyataan GN yang keluar dalam wawancara dengan Dr Arief Moenandar (kami di FNN memanggil beliau Bang Arief, sering disingkat “BA” saja) belum pernah disampaikan ke media. Sangat eksklusif. Tentang manuver politik yang sedang viral waktu itu. Pernyataan yang menggelegarkan itu belum disampaikan bukan karena GN sulit dihubungi oleh media. Tetapi, karena BA paham apa yang harus ditanyakan kepada GN. Setelah wawancara itu, jagad politik seluruh Indonesia gempar. “Gatot Nurmantyo pernah ditawari mengambil alih Partai Demokrat lewat KLB,” beginilah lebih-kurang berita utama di hampir semua stasiun TV, media online, dan media cetak. Wawancara itu dilakukan oleh BA pada 5 Maret 2021. Bersaman dengan KLB Demokrat di Sibolangit, Sumatera Utara. KLB menetapkan Moeldoko sebagai ketua umum. Wawancara ini ditayangkan di kanal Youtube Bang Arief pada 6 Maret 2021. Kemenkumham menolak memberikan pengesahan kepada Moeldoko. Malam tadi (13 Juli 2021), pukul 19.46 WIB, Bang Arief dipanggil Allah SWT. Beliau adalah salah seorang dari jutaan yang dinyatakan tertular Covid-19. Terakhir, BA dirawat di RS Pasar Minggu, Jakarta. In-sya Allah beliau husnul khatimah dan syahid dalam wabah penyakit. BA sudah lama aktif mengeritik penguasa lewat kanal YouTube-nya, “Bang Arief”. Beliau adalah seorang ilmuwan sosiologi lulusan Universitas Indonesia. Tetapi, BA bisa menjadi jurnalis meskipun beliau mengaku tidak punya latar belakang jurnalistik. Boleh dikatakan jurnalis otodidak. Belakangan ini, Bang Arief menunjukkan kerisauannya melihat kezaliman dan kebobrokan para penguasa. Beliau seperti kehabisan kesabaran. Ingin segera terjadi perubahan besar. Selain aktif sebagai pengeritik kebijakan publik, BA sejak lama melakukan prakarsa pembinaan anak-anak muda yang hendak beliau siapkan sebagai para calon pemimpin. Inilah sekaligus yang dijadikan Bang Arief ladang dakwah. Bang Afief juga menyenangi profesi konsultasi tentang sumber daya manusia (SDM). Ini bukti bahwa BA mendambakan Indonesia yang memiliki kualitas SDM terbaik. Beliau belah dua rumahnya. Satu bagian untuk 12 orang mahasiswa yang beliau didik langsung. Mereka diberi beasiswa. Perhatian BA terhadap lingkungan sosial sangat besar. Tiap ‘idul qurban seperti sekarang ini, Bang Arief selalu menyembelih dua sapi limosin yang harganya ratusan juta. Semoga Allah SWT melimpahkan kebaikan yang berlipat-lipat untuk Bang Arief dan menyediakan surga untuknya. Kami mohon doa dari teman-teman semua untuk almarhum dan keluarga yang beliau tinggalkan. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Selamat Jalan, Bro.[]

LaNyalla: Rachmawati Berjasa di Bidang Politik dan Pendidikan Indonesia

Jakarta, FNN - Diah Pramana Rachmawati Soekarno atau yang populer dengan nama Rachmawati Soekarnoputri memiliki jasa bagi kemajuan politik dan pendidikan di Indonesia, kata Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti di Jakarta, Sabtu. “Sebagai politikus, beliau kerap memberi kritikan dan masukan. Namun, jangan lupakan juga kiprahnya di dunia pendidikan dengan mendirikan Universitas Bung Karno. Bagaimana pun, Ibu Rachmawati Soekarnoputri telah mengambil perannya di negara ini,” kata LaNyalla mengenang sosok Rachmawati yang wafat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Sabtu. Dalam keterangan tertulisnya, LaNyalla pun menyampaikan ucapan bela sungkawa dan duka kepada keluarga Rachmawati. “Duka cita yang mendalam saya sampaikan kepada keluarga besar mantan Presiden Soekarno atas berpulangnya Rachmawati Soekarnoputri. Semoga semua amal ibadahnya diterina Allah SWT dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan,” sebut LaNyalla. Di samping LaNyalla, sejumlah politisi dan pejabat publik juga turut menyampaikan ucapan duka cita atas wafatnya Rachmawati Soekarnoputri. Ucapan duka citta diberikan antara lain oleh Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra, Juru Bicara Presiden RI Fadjroel Rachman, dan Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid. Rachmawati Soekarnoputri, adik kandung Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri, wafat pada usia 70 tahun setelah almarhumah dikabarkan positif COVID-19 pada 26 Juni 2021. Rachmawati merupakan anak ketiga dari Presiden RI Pertama Soekarno dan Fatmawati. Di samping Megawati, Rachmawati juga bersaudara kandung dengan Guntur Soekarnoputra, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra. Di dunia pendidikan, Rachmawati merupakan pendiri Universitas Bung Karno. Sementara itu di dunia politik, Rachmawati merupakan pendiri Partai Pelopor. Semasa hidupnya, Rachmawati pernah menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) periode 2007-2009. Ia juga menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Jokowi Akui Pernah Dicap Plonga Plongo

Jakarta, FNN - Presiden RI Joko Widodo menilai kritik yang dilayangkan mahasiswa kepada dirinya belakangan ini merupakan sebuah hal yang biasa pada era demokrasi sebagai bentuk ekspresi mahasiswa. Hal tersebut disampaikan Presiden dalam sesi wawancara di Istana Merdeka, Jakarta, yang ditayangkan melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden di Jakarta, Selasa. "Ya, itu 'kan sudah sejak lama, ya. Dulu ada yang bilang saya ini klemar-klemer, ada yang bilang juga saya itu plonga-plongo, kemudian ganti lagi ada yang bilang saya ini otoriter. Kemudian ada juga yang ngomong saya ini 'bebek lumpuh' dan baru-baru ini, saya ini bapak bipang, dan terakhir ada yang menyampaikan the king of lip service," ujar Presiden. Presiden mengatakan bahwa hal itu bentuk ekspresi mahasiswa, dan di negara demokrasi hal tersebut boleh dilakukan. "Saya kira ini bentuk ekspresi mahasiswa dan ini negara demokrasi. Jadi, kritik itu, ya, boleh-boleh saja dan universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi," kata Kepala Negara. Meski demikian, Presiden mengingatkan bahwa bangsa Indonesia memiliki budaya tata krama dan kesopansantunan. "Tapi ingat kita ini memiliki budaya tata krama, memiliki budaya kesopansantunan. Ya, saya kira biasa saja, mungkin mereka sedang belajar mengekspresiakan pendapat. Tapi yang saat ini penting kita semuanya memang bersama-sama fokus untuk penanganan pandemi COVID-19," kata Presiden. (sws)

Almarhum Pak Salikin Idolaku

by Awalil Rizky Jakarta, FNN - Pak Solikin almarhum merupakan seorang tokoh pejuang dari dusun Piyaman, Wonosari. Meninggal pada tahun 2016, foto bersama mas Saat Suharto ini diambil 3 bulan sebelumnya. Rumah almarhum dipakai untuk Kongres HMI (MPO) tahun 1988 selama seminggu, ketika pertanggungjawaban era Eggie dan terpilihnya Tamsil. Aku ketua panitia ketika itu dan Saat salah satu panitia inti. Beberapa hari setelah Kongres usai, pihak aparat rezim marah besar karena kecolongan dan telah mengawasi dengan ketat aktivitas kader HMI cabang Jogja. Aparat kemudian menghukum penduduk dewasa, laki dan perempuan, satu dusun lokasi acara, untuk apel di lapangan seharian. Semua juga diinterogasi untuk memperoleh informasi. Pak Solikin yang merupakan kepala dusun kemudian menjadi tahanan kota tidak resmi selama 3 bulan. Hampir tiap hari, almarhum wajib lapor ke Korem kala itu. Apa kata beliau, lebih dari 27 tahun kemudian, ketika berjumpa Saat dan berfoto di atas. “Pada waktu kalian selesai acara dan pamitan. Aku katakan aku relakan kalian pulang, berpencaran menjadi peluru-peluru perjuangan. Ketahuilah hingga kini harapan itu masih tetap aku panjatkan.” Farid dan keluarga besar HMI yang takziyah, diceritakan tentang berapa hal oleh bu Salikin. Perempuan yang juga luar biasa ini bercerita dengan bangga, "Bapak dipukuli sama tentara dan polisi, tapi tidak terasa, istighfar aja pokoknya.” Dilanjutkan lagi oleh beliau tentang kata-kata almarhum, “Saya bangga dengan anak2 HMI itu. Saya tak tahu apa yang mereka kerjakan selain memberi tempat. Saya hanya tahu mereka berjuang.” Sebagai tambahan informasi, rumah almarhum ini memang sering dipakai LK I dan LK II sebelum kongres itu. Setelahnya tidak bisa lagi dipergunakan, selalu ada aparat yang rutin memeriksa. Bahkan sempat beberapa lama, ada aparat yang ditempatkan di dusun tersebut untuk mengawasi selama alamrhum menjadi “tahanan kota”. Pejuang seperti beliau ini lah yang membuat harapan perbaikan negeri tidak pernah berakhir. Dari desa tanpa penerangan listrik waktu itu, secara sadar membantu anak-anak mahasiswa mengkader diri, dan itu penuh risiko karena “melawan” kebijakan rezim Soeharto. Semoga harapan beliau pada kami yang berkongres kala itu tak sia-sia. HMI (MPO) berutang besar yang hanya bisa dibayar dengan memenuhi harapannya. Beliau ini pula yang menjadi salah satu alasanku untuk tetap berupaya istiqomah. Penulis adalah Citizen Journalism.

IN MEMORIAM: Kompas Tidak Bisa Dipisahkan dari Jakob Oetama - 2 (habis)

by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Selasa (29/09). Pasca wafatnya Jakob Oetama (88), selain bertemu Bu Mien Uno saya juga berkesempatan bersilaturahmi dengan wartawan tiga zaman Jus Soema di Pradja. Bu Mien adalah seorang pendidik, ahli masalah etika yang juga sahabat Pa JO. Kebetulan rumah mereka juga bertetangga di Kawasan Kebayoran Baru Jakarta. Sedangkan Bung Jus Soema di Pradja adalah wartawan tiga zaman yang pernah menjadi wartawan Kompas selama dua tàhun, dari tàhun 1976 hingga 1978. Bung Jus adalah mantan wartawan Harian Indonesia Raya pimpinan tokoh dan pejuang pers Mochtar Lubis. Setelah koran Indonesia Raya dibredel rezim Orde Baru, Bung Jus kemudian menjadi wartawan Kompas. Namun dia hanya bertahan dua tàhun. "Saya mengajukan mengundurkan diri dari Kompas tanggal 13 Februari 1978 karena saya tidak setuju dengan langkah yang dilakukan tujuh pemimpin redaksi surat kabar termasuk Pemred Kompas Jakob Oetama yang melakukan kompromi dengan rezim Orde Baru," kata Bung Jus sambil memperlihatkan dokumen tertulisnya. Pada awal 1978, tujuh surat kabar termasuk Harian Kompas sempat dilarang terbit oleh Pemerintah Orde Baru melalui Kopkamtib sebagai buntut dari pemberitaan aksi mahasiswa yang menolak kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Namun setelah para pemimpin redaksi tersebut mengajukan surat kepada Presiden Soeharto, tujuh surat kabar tersebut akhirnya bisa terbit kembali. Atas dasar pertimbangan peran dan idealisme pers, pada waktu itu Bung Jus Soema di Pradja memilih keluar dari Kompas. Pa JO sempat menerima informasi yang salah tentang Bung Jus. Ketika itu Pa JO mendapat masukan dari orang-orang di sekitarnya bahwa Jus Soema di Pradja keluar dari Kompas karena dia berasal dari keluarga orang kaya. "Padahal tidak seperti itu keadaannya. Justru waktu saya mengajukan resign dari Kompas, anak-anak saya masih kecil. Saya tinggal di Perumnas Depok dari dulu sampai sekarang. Jadi saya keluar dari Kompas murni karena masalah idealisme. Saya tidak setuju Kompas berkompromi dengan rezim Orde Baru," kata Bung Jus berapi-api. Meski dia berpeda pendapat dengan Pa JO soal idealisme pers, namun beberapa tàhun kemudian keduanya bisa menjalin komunikasi kembali. "Bahkan pada tàhun 1990 saya sempat dirangkul Pa Jakob. Saya ditanya selama ini kemana saja? Saya butuh Anda untuk teman ngobrol bung," ujar Bung Jus menirukan Jakob Oetama. Singkat cerita, keduanya kerap bertemu apalagi pada akhir tàhun 1990, Pa Jakob dihadapkan pada persoalan besar yakni penutupan Tabloid Monitor, media hiburan di bawah Grup Kompas Gramedia yang dikelo Arswendo Atmowiloto. Monitor terpaksa ditutup menyusul gelombang protes dari umat Islam karena telah mempublikasikan hasil survei Tabloid Monitor yang menempatkan Nabi Muhammad SAW di urutan nomor 11 sebagai tokoh yang dikagumi pembaca. Ketika itu, kata Jus, JO merasa tertekan sehingga perlu ada teman yang bisa diajak ngobrol. Nah, dirinya sebagai orang yang sudah tidak lagi bekerja di Kompas bisa leluasa menyampaikan kritik dan masukan kepada Jakob Oetama. Pasca penutupan Monitor, JO dihantui berbagai kekhawatiran. Oleh karena itu Majalah Senang yang juga berada di bawah Kelompok Kompas Gramedia ditutup sendiri oleh Pa Jakob selaku pimpinan tertinggi di Grup KG karena ada indikasi karikatur yang ada di majalah tersebut mengandung unsur SARA (suku agama ras dan antar golongan). "Padahal saya secara pribadi tidak setuju kalau itu ditutup. Saya sudah kemukakan langsung ke Jakob tetapi dia tetap pada pendiriannya untuk menutup Majalah Senang. Kemudian Jakob berangkat ke Menpen Harmoko untuk menyerahkan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Majalah Senang. Tadinya saya mau menemani beliau pergi menemui Harmoko, tapi dilarang sama Jakob," ungkap Jus Soema di Praja tergelak. Pa JO mungkin mengetahui karakter Jus sebagai orang yang keras dan teguh pada prinsip, sehingga kurang pas kalau diajak bertemu Menpen. Pada saat pemakaman Jakob Oetama, Kamis 10 September 2020, Jus Soema di Praja memaksakan diri datang ke TMP Kalibata Jakarta. "Walaupun cuma dua tàhun jadi wartawan Kompas, bagaimanapun saya kan pernah mendapat upah dari Pa Jakob," tamba Jus yang kini sudah berusia di atas 70 tàhun. Terlepas dari berbagai perbedaan yang ada, banyak pihak yang kehilangan Jakob Oetama. Dia bukan hanya milik Kompas Gramedia, tetapi almarhun merupakan salah satu tokoh dan aset bangsa. Oleh karena itu wajar kalau kemudian banyak pertanyaan menyangkut kelangsungan Harian Kompas pasca wafatnya Pa JO. Bagaimanapun juga keberadaan Kompas tidak bisa dilepaskan dari sosok Jakob Oetama. Demikian pula sebaliknya. Selama ini konten Kompas dipersepsikan sebagai representasi dari pemikiran, ide dan harapan serta obsesi Pa JO. Bahkan sebelumnya sistem yang berlaku di Kompas adalah identik dengan Pa JO. Sebaliknya Pa JO identik dengan sistem di Kompas. Itu tidak hanya menyangkut isi Kompas, tetapi juga berkaitan dengan kebijakan sumber daya manusia, sistem penggajian dan remunerasi. Wartawan Diistimewakan Sepanjang pengalaman saya bekerja di Kompas, Pa JO memang seperti mengistimewakan para karyawan Kompas terutama wartawannya. Sehingga wajar kalau karyawan unit usaha lain di lingkungan KG jadi cemburu. Adakalanya mereka menjuluki karyawan Kompas sebagai karyawan premium. Oleh karena itu sejumlah insentif yang diberikan kepada wartawan sengaja tidak diumumkan secara terbuka. Kecuali uang makan, mulai dari pimpinan tertinggi seperti Pa JO sampai office boy besarannya sama. Saya banyak mengetahui soal kebijakan remunerasi dan masalah SDM karena pernah dipercaya menjadi Ketua Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK). Keberadaan PKK ini untuk menjembatani aspirasi karyawan dan wartawan Kompas dengan pihak manajemen. Dalam setiap perumusan peraturan perusahaan, PKK selalu dilibatkan dan diajak diskusi berbagai hal yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan PT Kompas Media Nusantara, nama perusahaan yang menerbitkan Harian Kompas. Sebelumnya ketika jumlah karyawan dan wartawan Kompas masih sedikit, hampir semua hal di bawah kendali dan kontrol Pa JO termasuk soal kenaikan gaji wartawan. Namun seiring dengan perkembangan Kompas waktu itu, jumlah karyawan dan wartawan pun terus bertambah sehingga perlu dibuat sistem tersendiri. Kembali kepada keberlangsungan Koran Kompas pasca wafatnya Pa JO. Sebagian wartawan senior yang ikut sejak awal berdirinya Kompas, memperkirakan Harian Kompas akan tetap ada selama Pa Jakob masih ada. "Tapi begitu Pa Jakob sudah tidak ada nanti, Kompas pun perlahan akan ikut mati," begitu ungkapan seorang wartawan senior yang disampaikan dalam diskusi kecil pada tahun 2000-an. Pada waktu itu, saya tidak terlalu percaya dengan ungkapan tersebut karena saat itu Agung Adiprasetyo selaku CEO Kompas Gramedia sedang merancang sistem yang bersifat baku dan menyeluruh yang berlaku bagi semua unit di lingkungan KG. Bahkan waktu itu dia terlihat kompak bekerjasama dan saling melengkapi dengan Suryopratomo (Mas Tomy) yang waktu itu sebagai Pemred Kompas merangkap Wakil CEO KG. Namun rupanya upaya tersebut tidak mudah untuk diwujudkan karena adanya resistensi dari sebagian karyawan dan wartawan senior. Penolakan itu umumnya terkait dengan kebijakan pemangkasan fasilitas dan pemberian insentif berlebihan yang selama ini diberikan kepada wartawan Kompas. Sebelum saya pensiun dini tàhun 2016, kondisi kesehatan Pa JO sudah menurun. Ketika saya menemui beliau di ruang kerjanya untuk berpamitan, Pa JO sering berbicara diulang-ulang. Bahkan menanyakan nama lawan bicaranya berkali-kali. Meski begitu, hampir setiap hari beliau datang ke kantor. Sepanjang pengamatan saya, kondisi kesehatan Pa JO sudah menurun sejak akhir 2013. Pada waktu itu, Pa JO sudah jarang turun ke ruang redaksi untuk ikut rapat pagi bersama para editor dan wartawan. Biasanya dalam setiap rapat, Pa Jakob memberikan wawasan, ide serta kerangka berpikir dalam melihat setiap fakta yang hendak diberitakan Kompas. Dalam kesempatan tersebut, biasanya masing-masing editor menyampaikan fakta dan berbagai peristiwa penting yang terjadi di masyarakat. Walaupun Kompas merupakan koran umum, namun titik berat perhatian Kompas waktu itu lebih ke masalah-masalah di bidang politik dan ekonomi. Pa JO selalu mengarahkan Kompas agar mampu melihat persoalan atau fakta dari sisi lain terutama aspek kemanusiaan. Dalam masalah politik, Pa JO selalu menekankan bahwa politik itu tidak hitam putih. Walaupun secara pribadi Pa JO tidak ikut terlibat dalam kegitan politik praktis, namun beliau senantiasa mengetahui dan paham story behind dari setiap peristiwa politik yang terjadi di negeri ini. Itu karena Pa JO memiliki banyak sahabat dan jaringan informasi. Setiap saat Pa JO selalu berpesan agar pemberitaan Kompas harus selalu disertai duduk perkara dari setiap persoalan yang ada. Jika dielaborasi dalam pola kerja jurnalistik, setiap wartawan harus selalu tanggap dan cepat mengetahui setiap peristiwa penting, langsung dari lapangan atau dari sumber berita pertama. Penurunan kondisi kesehatan Pa JO kebetulan berbarengan dengan penurunan kinerja Kompas. Namun penurunan tersebut lebih disebabkan bisnis media-media konvensional secara keseluruhan juga mengalami penurunan. Ini tidak bisa dihindari karena seiring dengan kemajuan teknologi, platform media pun ikut bergeser dari printing (media cetak) ke dalam format media digital (online). Apalagi kalangang generasi muda terutama kelompok milenial, banyak mengkonsumsi informasi melalui internet. Akhirnya, Koran Kompas pun diidentikan sebagai surat kabar milik para orang tua. Kondisi tersebut berimplikasi pada penurunan jumlah oplah dan iklan di Harian Kompas. Kalau dulu perusahaan-perusahaan harus antri untuk bisa pasang iklan di Kompas, maka ketika siklus bisnis berubah akhirnya mereka yang bertugas di bagian iklan pun harus pro aktif menjemput bola mencari iklan. Sekarang industri media sudah mengalami perubahan drastis, media surat kabar sudah menjadi bagian dari masa lalu. Sejarah dan kejayaan Kompas tinggal cerita dan kenangan di masa lampau. Saat ini Kompas harus berjibaku menghadapi multi persoalan sepeninggal Jakob Oetama. Setiap zaman melahirkan generasi berbeda serta persoalan dan tantangan yang berbeda. Kondisi media sekarang dan di masa yang akan datang, lebih bayak ditentukan oleh perkembangan teknologi dan infrastruktur telekomunikasi. Ini merupakan tantangan bagi generasi penerus Pa Jakob Oetama. Akankah brand Kompas akan tetap berkibar pasca wafatnya Pa JO ? Wallohu a'lam bhisawab. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id. & Wartawan Kompas 1990-2016

IN MEMORIAM, Jakob Oetama, Presiden Indonesia Mini - 1

by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Minggu (27/09). Hari ini, Minggu 27 September 2020, seharusnya Jakob Oetama merayakan ulang tahunnya yang ke 89 tàhun. Namun dia harus menerima takdir Tuhan Yang Maha Esa. Pak JO, meninggal sebelum sempat merayakan hari jadinya. Beliau wafat Hari Rabu 9 September 2020 di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta pukul 13.05 WIB. Pada pagi harinya, saya mendapat informasi dari seorang sahabat yang masih bekerja di Grup Usaha Kompas Gramedia. "Pa JO kritis, sudah dengar kang ?," demikian isi WA dari sahabat saya tersebut. Kemudian beberapa jam kemudian saya dikabari bahwa Pendiri Kompas Gramedia tersebut wafat. Saya segera berkirim ucapan bela sungkawa kepada Irwan Oetama, anak pertama Pa JO. Saya justru kenal lebih dekat dengan Pak Irwan karena kebetulan memiliki hoby yang sama yakni sepedaan. Saya kerap melihat sosok Pa JO pada pribadi Pa Irwan, terutama dalam hal kebaikannya. Sifat dasarnya selalu ingin menyenangkan semua orang sehingga tidak heran kalau teman-teman Pa Irwan sangat banyak walaupun mungkin ada satu dua orang yang berusaha memanfaatkannya. Demikian pula Pa JO, dikenal sekaligus disegani banyak orang dan termasuk orang yang ringan tangan. Misalnya, ketika ada mantan wartawan Kompas yang mengirim lukisan kepadanya, Pa JO seolah paham dengan kode tersebut dan segera mengirim sejumlah uang ke sang wartawan tersebut. Juga banyak cerita lain dari pengalaman beberapa wartawan Kompas yang sedang bertugas ke luar negeri yang secara kebetulan bertemu dengan Pa JO. Lalu otomatis Pa JO memberikan "uang jajan". Tidak hanya itu, sejumlah penulis muda Kompas juga ada yang pernah mendapat biaya sekolah ke luar negeri. Dalam suatu rapat pagi di Redaksi Kompas, Pa JO menyebut seseorang yang pernah dibantunya. Saya sendiri mendengar dari orang lain, ada bekas aktivis mahasiswa sekaligus kolumnis Kompas yang sekarang memimpin sebuah lembaga survey, pernah mendapat bantuan dari Jakob Oetama. Nampaknya Pa JO kalau sudah kagum dengan orang muda yang cerdas dan memiliki visi maka dia akan mudah memberikan bantuan pada anak muda tersebut tanpa syarat apapun. Respek dengan Jusuf Kalla Kemudian dalam percaturan politik, walaupun Pa JO bukan seorang politisi tapi adakalanya dia memberikan endorsement kepada orang tertentu untuk memimpin negeri ini. Tentu orang yang diendorse tersebut memiliki kapabilitas, kompetensi dan pengalaman serta visi untuk memajukan Indonesia. Misalnya, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Pa JO terlihat senang ketika SBY berduet bersama Jusuf Kalla memimpin Indonesia pada tàhun 2004. Oleh karena itu, pada periode kedua, Pa JO sebenarnya masih menginginkan SBY berpasangan dengan JK untuk melanjutkan pembangunan. Tapi realitas politik ternyata tidak seperti yang diharapkan Pa JO. Pada periode kedua sebagai Presiden RI, Pa SBY lebih memilih berpasangan dengan mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono. Kembali kepada tradisi ulang tàhun Pa JO di lingkungan Kompas, biasanya selalu dirayakan secara sederhana di Kantor Kompas Jl Palmerah Selatan Jakarta. Kalau jatuh pada hari libur seperti sekarang, maka perayaan ulang tàhun Pa JO dilaksanakan sehari kemudian di hari kerja. Yang hadir biasanya bukan hanya unsur pimpinan, karyawan dan sejumlah wartawan di lingkungan Kompas, tapi sejumlah sahabat Pa JO biasanya juga ikut merayakan ulang tàhun Pa JO di Kantor Kompas. Diantara "out sider" yang selalu hadir pada setiap ulang tàhun Pa JO adalah tokoh pertelevisian Ishadi SK dan pendidik sekaligus pakar soal etika Mien Uno. Bu Mien merasa kehilangan dengan wafatnya Pa Jakob. "Saya sangat sedih dan kehilangan dengan sosok orang yang sederhana. Pa JO merupakan sosok guru yang terus mendidik bangsa. Beliau selalu menginspirasi saya dan tidak pernah lelah memotivasi saya untuk terus menjadi pendidik," kata Bu Mien Uno. Saat berbincang dengan penulis di rumahnya yang asri dan kebetulan bertetangga dengan Pa JO di Kawasan Kebayoran Baru, Bu Mien juga mengoleksi buku-buku tentang Pa Jakob Oetama. Pada perayaan ulang tàhun Pa JO tàhun lalu, Bu Mien Uno juga menyempatkan diri untuk datang ke Kantor Kompas ikut merayakan ulang tàhun Pa JO. Walaupun Jakob Oetama dikenal sebagai wartawan, tapi Bu Mien merasa memiliki chemistry dengan beliau sebagai sesama guru. Mien Uno tidak salah karena Jakob Oetama memang mengawali karirnya pertama kali menjadi seorang guru. Namun, dia kemudian memilih jalan sebagai wartawan hingga kemudian mendirikan jaringan media terbesar, Kompas Gramedia bersama rekannya, PK Ojong. Meski demikian, Jakob Oetama lebih senang disebut sebagai wartawan ketimbang sebagai pengusaha. Masyarakat pada umumnya mengenal Jakob Oetama sebagai pribadi yang santun dan bersahaja. Dalam suatu kesempatan rapat redaksi Kompas pagi, Pa JO pernah bercerita sepintas tentang pengalamannya menjadi guru sejarah di kawasan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. "Waktu itu, saya sering naik sepeda kalau ngajar sejarah," kata Pa JO singkat. Saya yang waktu itu kebetulan ikut rapat pagi, langsung membayangkan kontur jalan di Cipanas yang menanjak. Dalam hati saya hanya bisa bergumam, ternyata masa mudanya Pa JO ini cukup tangguh juga fisiknya. Dalam hal menjaga kesehatan, Pa JO memang sangat disiplin. Di saat masih sehat, dia termasuk salah satu orang yang rutin menjalani joging di Kawasan Gelora Bung Karno (GBK). Salah satu teman joggingnya adalah mantan Menkeu alamarhum Mar'ie Muhammad. Pernah pada tàhun 2009, Harian Kompas menyelenggarakan acara Fun Bike. Sebagai Ketua Panitia, waktu itu saya memang meminta Pa JO melalui sekretarisnya Mbak Ety, untuk datang membuka acara goes yang pertamakali diadakan tersebut. Namun sebenarnya saya tidak terlalu berharap Pa Jakob datang karena acaranya pagi jam 6. Namun pada saat pelaksanaannya, Pa JO ternyata datang lebih awal bahkan bersedia menunggu beberapa saat. Kejutan Hadiah Pa JO Momen ulang tàhun Pa JO juga sering ditunggu-tunggu para wartawan dan karyawan Kompas karena disana ada harapan mendapat hadiah kejutan dari Pa JO berupa tambahan gaji sebulan penuh. Namun, uang kejutan itu biasanya diberikan pada hari ulang tàhun Pa JO di angka-angka yang genap. Misalnya ulang tàhun ke 80 atau 85. Bahkan hadiah kejutan tersebut tidak hanya diberikan kepada seluruh wartawan dan karyawan Kompas tetapi juga diberikan kepada seluruh karyawan Kompas Gramedia. Sifat altruistik yang dipunyai Pa JO tersebut juga tercermin pada salah satu putranya, Irwan Oetama. Setiap buka puasa menjelang Lebaran, beliau kerap mengundang teman-temannya yang punya hoby sama di dunia sepedaan. Lalu dibuat acara di tempat khusus dengan mengundang da'i yang memberikan ceramah menjalang buka puasa. Setelah itu, dilanjutkan dengan pemberian santunan kepada anak-anak yatim yang juga diundang secara khusus ke acara tersebut. Kebiasaan berbagi dengan orang lain adalah warisan nilai kehidulan dari Pa JO yang sangat berharga disamping pemikiran dan idei-denya soal kebangsaan dan kemanusiaan. Nilai-nilai kehidupan yang diwariskan Pa JO menjadi relevan di zaman seperti sekarang ketika masyarakat dan para pemimpin serta elite politik kita sedang berada di persimpangan jalan. Pa Jakob sendiri menurut saya adalah pribadi yang selalu gelisah dengan persoalan kebangsaan dan masa depan Indonesia. Dia termasuk salah satu tokoh masyarakat yang kerap diminta pendapatnya oleh para elite politik khususnya para pemimpin di negeri ini. Meski begitu, JO termasuk sosok yang rendah hati, santun dan bijaksana. Pasca tumbangnya Orde Baru tàhun 1998 terutama setiap menjelang Pemilu terutama Pilpres, setiap elite politik yang akan berkompetisi dalam Pemilu senantiasa sowan ke Pa JO, bersilaturahmi sekaligus bertukar pikiran dan gagasan untuk Indonesia yang lebih baik. Begitulah Pa JO, dia mampu berdiri di atas semua golongan dan kepentingan. Serta bisa merangkul semua kalangan yang berbeda latar belakang agama dan budaya. Oleh karena itu, dalam berbagai kesempatan Pa JO selalu mengibaratkan lingkungan Kompas termasuk di dalamnya Grup Usaha Kompas Gramedia seperti Indonesia Mini. Dia selalu berpesan kepada para pimpinan dan para karyawan di lingkungan Kompas Gramedia agar bisa menjaga keberagaman dan kebhinekaan. Sebagai pendiri Kompas Gramedia bersama PK Ojong, tentu tidak mudah untuk bisa mewujudkan Indonesia Mini. Apalagi jika melihat sejarahnya, Kompas didirikan tàhun 1965 oleh Partai Katolik dengan Ketuanya Frans Seda. Namun dalam perjalanannya, Kompas mampu timbuh dan berkembang dengan menitikberatkan pada nilai-nilai kemanusiaan. Rasanya tidak berlebihan kalau Jakob Oetama saya juluki sebagai Presiden Indonesia Mini. (Bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id & Mantan Wartawan Kompas 1990-2016.

Prof. Malik Fadjar, M.Sc. Berpulang, Selamat Jalan

by Imam Abdan Tegal FNN - Senin (07/09). KETUA Badan Pembina Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof. Dr. (H.C.) Drs. H. Abdul Malik Fadjar, M.Sc. berpulang di usia 81 tahun. Rektor UMM periode 1983-2000 ini menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 19.00 WIB di Rumah Sakit Mayapada, Kuningan, Jakarta Selatan. Kabar meninggalnya Prof. Malik Fadjar itu dibenarkan pihak UMM pada Senin (7/9) malam melalui siaran resminya. Abdul Malik Fadjar lahir di Yogyakarta pada 22 Februari 1939. Ia dikenal sebagai tokoh bangsa yang sangat peduli pada dunia pendidikan. Sebagai anak seorang guru yang juga aktivis Muhammadiyah, Malik Fadjar adalah sosok yang mewarisi jiwa aktivisme dan kepemimpinan ayahnya, Fadjar Martodiharjo yang di kalangan Muhammadiyah dikenal sebagai tokoh yang bijaksana dan mengayomi. Darah guru terbukti menancap kuat dalam dirinya, terutama sejak ia menjadi guru agama di daerah terpencil di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 1959, yaitu Sekolah Rakyat Negeri (SRN) Taliwang. Selanjutnya, perjalanan hidupnya tak pernah lepas dari dunia pengajaran dan pendidikan. Selepas dari SRN Taliwang, ia berturut-turut kemudian mengajar di Sekolah Guru Bantu (SGB) Negeri dan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Sumbawa Besar NTB pada rentang 1960-1963, dosen Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Malang pada 1972, dosen dan dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) hingga 1983, dan kemudian menjadi rektor di dua kampus, yaitu di UMM pada 1983-2000 dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada 1994-1995. Selama puluhan tahun menjadi guru di Muhammadiyah, ia tak sekadar menjadi seorang pendidik, tapi juga berkontribusi besar membangun sekolah-sekolah Muhammadiyah dan perpustakaan desa di daerah Yogyakarta dan Magelang. Kesuksesannya dalam mengembangkan pendidikan, terutama pendidikan Islam, membuat namanya kian disegani dalam dunia pendidikan Indonesia. Terlebih, ia mampu membawa UMM yang semula tak begitu dipandang menjadi kampus yang amat disegani dalam konteks nasional bahkan internasional. Hal itu membuatnya dipercaya sebagai Menteri Agama di era Presiden BJ Habibie pada 1998-1999 dan Menteri Pendidikan Nasional di era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri 2001-2004. Bahkan, ia juga sempat menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) ad-interim menggantikan Jusuf Kalla yang ketika itu mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada Pemilu 2004. Di samping itu, Malik juga aktif di Ikatan Cendekiwan Muslim Indonesia (ICMI) dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS). Jati diri Malik Fadjar sebagai seorang pendidik, begitu pula karakter kepemimpinannya yang memiliki pengaruh demikian besar itu tidak terjadi begitu saja. Dari riwayat pendidikannya, terlihat bahwa ia memang memiliki passion yang amat besar untuk menjadi seorang guru. Malik memulai pendidikannya di SRN Pangenan Kertoyudan, Magelang, Jawa Tengah pada 1947. Ia selanjutnya bersekolah di Pendidikan Guru Agama Pertama Negeri (PGAPN) Magelang pada 1953 dan Pendidikan Guru Agama Atas Negeri (PGAAN) Yogyakarta pada 1957. Ia kemudian kuliah di IAIN Sunan Ampel Malang pada 1963 dan meraih gelar Sarjana Pendidikan Kemasyarakatan Islam pada 1972. Tujuh tahun setelahnya, yaitu pada 1979, ia melanjutkan studinya di Florida State University, Amerika Serikat, dan meraih gelar Master of Science di bidang pengembangan pendidikan pada 1981. Kepakarannya di bidang pendidikan kian lengkap setelah Malik dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel pada 1995. Kemudian pada 2001, Malik mendapat gelar kehormatan Doktor Honoris Causa di bidang kependidikan Islam dari Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak perlu diragukan lagi, pada diri tokoh pendidikan yang tak pernah berhenti berkarya ini, mengalir darah guru dan darah Muhammadiyah, demikian ungkap Anwar Hudijono, penulis perjalanan hidup Malik Fadjar. Sungguh lengkap kiprah Malik Fadjar, mulai dari praktisi pendidikan paling dasar, birokrat pendidikan, hingga cendekiawan Muslim yang senantiasa berpikir soal kemajuan bangsanya. Ibarat pena, Malik Fadjar adalah tinta yang tak pernah habis. Guru adalah jiwanya. Penghayatan terhadap filosofi guru menjadikannya seorang guru yang sebenar-benarnya guru, hingga menjadi Menteri para Guru (Mendiknas). Gugur lagi bunga persyarikatan ke bumi. Baunya semerbak mewangi, Aromanya menebar ke pelosok negeri Semua tersentak, merasa kehilangan, bunga yang satu ini. Sumbangan pemikiran & ilmunya tak diragukan lagi, Kiprahnya di dunia pendidikan patut diteladani, Selamat jalan Prof. Abdul Malik Fajar, Do'a tulus dari kami, Semoga Allah Rabbul Izati mengampuni & menerima amal sholeh yang menetes sepanjang hayatmu. Penulis adalah Guru SMA di Tegal.